Topswara.com -- Kabar dunia pendidikan seperti tak ada habisnya jadi perbincangan. Dua ASN guru di SMAN 1 Masamba, Luwu Utara (Lutra), Sulawesi Selatan (Sulsel), Abdul Muis dan Rasnal disanksi Pemecatan Tidak Dengan Hormat (PTDH) buntut pungutan Rp 20 ribu terhadap orang tua siswa dengan dalih membantu guru honorer yang telah 10 bulan tak gajian.
"Kesepakatan itu dibuat oleh orang tua siswa bersama Ketua Komite Sekolah dalam rapat resmi yang diundang secara formal. Semua keputusan yang dihasilkan murni merupakan pertimbangan dari orang tua siswa," kata Abdul Muis kepada wartawan, usai mengikuti RDP.
Berdasarkan situs resmi PN Makassar, keduanya sempat divonis bebas alias tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi di PN Makassar. Namun, putusan itu dianulir Mahkamah Agung (MA) pada tingkat kasasi yang mana keduanya dihukum pidana penjara selama 3 bulan dan denda sebesar Rp 50 juta. (detiksulsel 12/11)
Seolah menjadi potret suram bagaimana keadilan di negeri ini bekerja. Mereka bukan koruptor yang merampok uang rakyat, melainkan seorang pendidik yang hatinya tergerak menolong rekan sejawatnya.
Hukum yang Kehilangan Nurani
Sudah terlalu sering kita mendengar ungkapan: tumpul ke atas, tajam ke bawah. Dan kasus ini menegaskan kembali dengan getir. Seolah nurani tak punya tempat dalam prosedur birokrasi.
Aparatur negara yang beritikad baik justru diseret keluar dari ruang pengabdian, sementara mereka yang memeras, menggelapkan, dan mencuri dengan jas rapi dan berdasi masih bisa tersenyum dalam konferensi.
Pemecatan itu bukan hanya mencederai satu individu, tapi juga meruntuhkan marwah profesi guru. Sosok yang seharusnya dijaga dan dimuliakan karena perannya menyalakan obor peradaban, ini malah disanksi sedemikian kejam dan dipermalukan.
Ketika Ilmu Tak Lagi Dimuliakan
Ironisnya, di negeri ini profesi pendidik justru hidup dalam keterbatasan. Sementara layar gawai kita penuh dengan wajah-wajah yang sibuk menari, bertindak konyol, atau memamerkan harta, dan mereka dipuja serta diguyur cuan berlimpah.
Guru yang menanamkan moral dan ilmu sering kali harus menahan malu, menahan lapar, menambal hidup dengan dedikasi. Negara yang seharusnya menegakkan keadilan justru mendewakan popularitas dan menelantarkan akal sehat.
Selama hukum masih berpihak pada kuasa, bukan pada kebenaran, maka tragedi semacam ini akan terus berulang. Keadilan sejati tak mungkin lahir dari sistem yang cacat dan materialistis.
Ia hanya bisa tumbuh dari sistem yang menempatkan moral dan kemanusiaan di atas kepentingan, sistem yang menjadikan keadilan sebagai perintah Ilahi, bukan produk pesanan kekuasaan.
Guru Sejahtera dalam Islam
Islam menempatkan pendidik pada kemuliaan. Penghargaan pemerintahan Islam terhadap aktivitas belajar sebenarnya sudah tampak sejak Umar bin Al-Khattab ra memegang tampuk kekhalifahan.
Namun, gaji fantastis terhadap para pengajar dicurahkan pada masa Daulah Abbasiyyah. Gaji para pengajar di masa itu sama dengan gaji para muazin, yakni 1.000 dinar/tahun. Dengan nilai 1 dinar sama dengan 4,25 gram emas.
Sedangkan para ulama yang sibuk dengan Al-Qur’an, mengajar ilmu Al-Qur’an, dan mengurusi para penuntut ilmu diberikan gaji sekitar 2.000 dinar/tahun.
Ulama dengan kemampuan khusus yang menekuni ilmu-ilmu Al-Qur’an, mengumpulkan riwayat hadis, dan ahli dalam fikih memperoleh gaji 4.000 dinar/tahun.
Begitu tinggi Islam memuliakan ilmu dan para pengajarnya. Namun, seiring berjalannya waktu, penghargaan itu perlahan pudar, tergantikan oleh sistem yang tak lagi berpihak pada nilai dan nurani.
Hari ini, yang dihukum bukan hanya seorang guru, tetapi juga hati nurani kita bersama. Dan sebelum semuanya benar-benar mati, masihkah kita berani bertanya: apakah kita rela terus hidup di bawah sistem yang menistakan kebaikan dan menertawakan keadilan?
Wallahu'alam bishawab.
Irna Purnamasari
(Aktivis Muslimah)

0 Komentar