Topswara.com -- Kadang jadi orang tua zaman sekarang itu kayak main game level dewa. Baru mau ngomel dikit, anak langsung bilang, “enggak boleh jadi orang tua toxic” tetapi kalau kita coba lembut, ngajak bicara pakai nada penuh kasih, malah dibales, “iya, Mik, aku paham kok," tetapi tangannya tetap nempel di HP dari tadi. Lah, pahamnya bagian mana, Nak?
Ya begitulah Gen Z, generasi yang tumbuh dengan jempol super aktif tetapi daya fokus sering lowbat. Mereka lahir di tengah hujan notifikasi, tumbuh dengan TikTok dan Google sebagai guru pertama. Maka jangan heran kalau pola pikirnya pun beda banget dengan zaman kita dulu yang masih sabar nunggu jam tayang Si Unyil.
Tetapi di balik semua itu, Gen Z bukan generasi rusak. Mereka cuma butuh cara dididik yang nyambung sinyalnya. Karena faktanya, keras salah, lembut salah, marah dibilang galak, diam dikira cuek. Nah lho, terus harus gimana? Begini nih tipsnya,
Pertama, jangan mendidik dengan ego, tapi dengan hikmah. Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata, “Didiklah anak-anakmu berbeda dengan cara engkau dididik, karena mereka diciptakan untuk zaman yang bukan zamanmu.”
Kalimat ini bukan sekadar mutiara indah, tapi peta bagi para orang tua masa kini. Artinya, jangan mendidik anak zaman 5G dengan gaya zaman radio tabung. Kalau dulu orang tua bisa menegur dengan bentakan, sekarang itu bisa membuat anak menutup diri dan kehilangan kepercayaan diri. Tetapi bukan berarti harus lembek kayak puding, ya. Kuncinya, hikmah.
Hikmah itu tahu kapan harus tegas, kapan harus lembut, dan kapan harus diam supaya omongan kita enggak sia-sia. Anak Gen Z bisa dibilang alergi terhadap otoritas buta, tetapi mereka sangat menghargai keteladanan. Jadi kalau mau anak disiplin, bukan cuma suruh shalat, tapi shalatlah bersama. Kalau mau mereka sopan, tunjukkan sopanmu pada mereka.
Kedua, pendidikan bukan sekadar “ngajarin”, tetapi “numbuhin”. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam Nizham al-Ijtima’i fil Islam menjelaskan bahwa pendidikan dalam Islam bukan hanya transfer ilmu, tetapi gharsul fikr wal nafs menanamkan pola pikir dan pola jiwa Islam. Tujuannya bukan sekadar anak hafal ayat, tetapi paham makna dan semangatnya.
Artinya, anak enggak cukup diajari “ini haram, itu halal”, tetapi harus ditumbuhkan kesadarannya kenapa Allah menetapkan demikian. Jadi kalau mereka patuh, bukan karena takut dimarahi, tetapi karena cinta pada Allah. Di sinilah peran orang tua sebagai murabbi, bukan cuma pengatur jadwal.
Syaikh Taqiyuddin juga menegaskan, pendidikan yang benar hanya bisa tegak di bawah sistem Islam yang menjadikan akidah sebagai asas seluruh kurikulum. Karena kalau sistemnya sekuler, ya hasilnya generasi bingung, ngaji iya, tetapi mindset tetap liberal. Mereka tahu ayat, tetapi enggak paham arah hidup.
Ketiga, jangan saingi anak, dampingilah mereka. Kadang orang tua zaman sekarang tuh suka kompetitif terselubung. Anak cerita, “Mik, aku dapat juara dua” Eh, dibalas, “Mama dulu juara satu terus loh waktu SMA.” Lah, Mik… siapa yang lomba sekarang?
Padahal anak Gen Z tuh enggak butuh pembanding, mereka butuh pendamping. Mereka tumbuh di dunia yang penuh tekanan sosial dan perbandingan digital. Jadi kalau di rumah juga disuguhi “kompetisi tak berkesudahan”, ya wajar kalau mereka tumbuh insecure.
Mulailah dengan mendengarkan, bukan menghakimi. Kadang anak cuma butuh telinga, bukan ceramah. Kalau dia lagi salah, jangan langsung tembak dengan kata “durhaka!” tetapi ajak dia berpikir, “Menurutmu, kalau Rasulullah di posisi kamu, beliau bakal gimana, ya?”
Itu bukan kalimat lembek, tapi cara elegan menanamkan kesadaran iman tanpa bikin anak defensif.
Keempat, tegas boleh, tetapi jangan tega. Tegas itu bagian dari kasih sayang. Rasulullah Saw bersabda, “Tidaklah seorang ayah memberikan sesuatu yang lebih baik kepada anaknya daripada akhlak yang baik.” (HR. Tirmidzi)
Jadi, akhlak itu bukan lahir dari ketakutan, tapi dari keteladanan yang penuh cinta. Kalau anak salah, tegurlah dengan niat memperbaiki, bukan melampiaskan emosi. Jangan pula semua hal diatur sampai mereka gak punya ruang berpikir sendiri nanti pas dewasa malah bingung ambil keputusan tanpa “izin orang tua”.
Ingat, tegas itu mengajarkan batas, bukan menanamkan trauma.
Kelima, jangan lepaskan pendidikan ruhiyah. Kita sering sibuk nyekolahin anak di tempat bagus, les ini itu, tetapi lupa menguatkan ruhiyahnya. Padahal, kata Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, pendidikan Islam sejati dimulai dari penanaman akidah yang kokoh. Kalau akidahnya kuat, maka seluruh perilakunya akan terarah mulai dari cara berpikir sampai memilih teman.
Anak yang mengenal Allah dengan benar tidak akan mudah hanyut dalam tren aneh. Mereka bisa main gadget, tapi gak jadi budak dunia digital. Mereka paham batasan, bukan karena diawasi, tetapi karena hatinya diawasi oleh iman.
Keenam, jadi sahabat, bukan pengendali. Anak Gen Z itu enggak suka digurui, tetapi senang diajak ngobrol. Maka ubahlah pendekatan, dari “aku orang tuamu, harus nurut!” jadi “aku teman perjalananmu, ayo kita belajar bareng.” Percaya deh, kalau hati mereka sudah tersentuh, satu kalimat lembut bisa lebih mengena dari seribu nasihat keras.
Dan jangan lupa, doakan mereka. Karena sehebat apapun kita mendidik, hidayah tetap milik Allah. Kadang yang paling keras kepala hari ini, bisa jadi yang paling lembut hatinya besok.
Jadi, pendidikan itu bukan drama, tetapi dakwah. Mendidik Gen Z memang enggak gampang, tetapi juga enggak seharusnya jadi drama Korea. Mereka bukan musuh, tetapi amanah. Mereka bukan generasi gagal, tetapi generasi yang menunggu dibimbing dengan sabar dan cerdas.
Kalau semua cara sudah dicoba dan masih belum berubah, jangan putus asa. Bukan berarti gagal, mungkin Allah lagi ngajari kita versi baru dari sabar. Karena sejatinya, mendidik anak adalah bentuk dakwah paling sunyi tapi paling agung tempat Allah menilai siapa yang benar-benar ikhlas.
Dan ingat, kata Ali bin Abi Thalib, “Hati anak itu seperti tanah kosong, apa pun yang ditanamkan di dalamnya, itulah yang tumbuh.”
Maka tanamkan iman, siram dengan kasih, dan biarkan mereka tumbuh jadi generasi yang mencintai Allah, bukan sekadar takut pada manusia. Keras salah, lembut salah? Enggak juga. Asal semuanya dibingkai dengan iman, kasih, dan hikmah insya Allah, hasilnya tetap benar. []
Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)

0 Komentar