Topswara.com -- Aksi Global Sumud Flotilla kembali membuka mata dunia tentang kebiadaban zionis Israel. Kapal-kapal kemanusiaan yang membawa obat, makanan, dan harapan untuk rakyat Gaza justru dicegat secara brutal di perairan internasional.
Sebanyak 42 kapal dilaporkan diserang dan 462 aktivis diculik oleh pasukan Israel antara 1 hingga 3 Oktober 2025. (Global Sumud Flotilla, 3 Oktober 2025)
Kejadian ini memicu gelombang solidaritas di berbagai negara. Di Indonesia, komunitas Students for Justice in Palestine (SJP) Bandung bersama masyarakat menggelar aksi protes bertajuk “Solidaritas untuk Global Sumud Flotilla” di depan Gedung Sate. Mereka menuntut pembebasan para aktivis flotilla dan mengecam tindakan biadab Israel (Jabar Ekspres, 2/10/2025).
Tak hanya di Indonesia, dunia pun bergolak. Masyarakat di London, Paris, Roma, dan Brussel turun ke jalan menuntut agar blokade Gaza segera diakhiri.
Di Maroko, ratusan pemuda Gen Z menggelar aksi menentang pencegatan flotilla tersebut sebagai bentuk solidaritas terhadap rakyat Palestina yang terus tertindas (kompas.com, 4/10/2025).
Namun di balik gelombang kemarahan dunia ini, masih banyak yang belum menyadari bahwa problem Palestina tidak akan pernah selesai dengan diplomasi buatan manusia, termasuk two state solution yang selama ini digaungkan oleh Barat dan lembaga internasional.
Gen Z: Antara Kepedulian dan Kesadaran Ideologis
Patut diapresiasi kepedulian Gen Z terhadap penderitaan rakyat Palestina. Mereka tidak tinggal diam di tengah derasnya arus informasi dan propaganda global.
Aksi solidaritas yang mereka lakukan mencerminkan kesadaran kemanusiaan dan keimanan bahwa penderitaan umat Islam di satu tempat adalah penderitaan umat Islam di seluruh dunia.
Namun, kepedulian tanpa pemahaman ideologis mudah diarahkan ke jalan yang keliru. Jika dukungan untuk Palestina hanya berhenti pada slogan “bebaskan Gaza” tanpa memahami akar sistemik penjajahan itu, maka perjuangan akan terus berputar di lingkaran yang sama.
Gen Z harus melangkah lebih jauh: memahami bahwa akar konflik Palestina adalah penjajahan yang dilegitimasi oleh sistem kapitalisme global dan dilanggengkan lewat solusi palsu seperti two state solution.
Israel Tak Paham Bahasa Damai
Pencegatan flotilla kemanusiaan adalah bukti nyata bahwa Israel tidak menginginkan perdamaian, melainkan dominasi. Mereka tidak mengenal bahasa diplomasi, kecuali bahasa kekuatan dan perang.
Perjanjian demi perjanjian yang ditandatangani sebelumnya,nseperti Oslo Accord, terbukti hanya menjadi alat bagi Israel untuk memperluas wilayah jajahan dan menekan rakyat Palestina agar tunduk secara politik. Diplomasi “damai” ala Barat ternyata hanyalah selubung yang menutupi perampokan tanah dan kehormatan umat Islam.
Maka, siapa pun yang masih meyakini two state solution sebagai jalan keluar sejatinya sedang menutup mata terhadap fakta sejarah. Ia bukan solusi, melainkan jebakan politik yang melanggengkan penjajahan dan menipu umat agar percaya bahwa keadilan bisa lahir dari sistem yang menindas.
Islam Menawarkan Solusi Hakiki: Jihad dan Khilafah
Dalam pandangan Islam, Palestina bukan sekadar tanah sengketa, melainkan bagian dari Darul Islam yang wajib dibebaskan dari penjajahan. Tidak ada ruang kompromi untuk penjajah dalam Islam. Allah ï·» berfirman: "Dan perangilah mereka sampai tidak ada lagi fitnah (kekufuran dan penindasan), dan agama itu hanya milik Allah semata." (QS. Al-Baqarah [2]: 193).
Ayat ini menunjukkan bahwa jihad adalah mekanisme ilahiah untuk menegakkan keadilan dan menghapus penjajahan. Inilah yang tidak dimiliki oleh sistem sekuler Barat: motivasi spiritual dan tanggung jawab akidah dalam membela yang tertindas.
Islam tidak mengenal diplomasi dengan penjajah, karena penjajahan adalah kezaliman yang harus dihapus, bukan dinegosiasikan.
Oleh karena itu, solusi hakiki bagi Palestina bukanlah two state solution, melainkan penegakan sistem Islam kaffah dalam bingkai khilafah yang akan menyatukan kekuatan umat, mengerahkan potensi militer dan politik, serta mengirimkan bala bantuan sebagaimana dilakukan para khalifah terdahulu dalam membela tanah suci.
Rasulullah ï·º bersabda: “Imam (khalifah) itu laksana perisai, di belakangnya umat berperang dan dengannya mereka berlindung.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menegaskan bahwa hanya dengan adanya khilafah, jihad dan pembelaan terhadap umat bisa terorganisir secara global. Tanpa kepemimpinan tunggal, umat Islam akan terus tercerai-berai dan tidak mampu melawan penjajahan yang terstruktur secara politik dan militer.
Membangun Kesadaran Politik Umat
Generasi muda muslim, terutama Gen Z, perlu memahami bahwa perjuangan untuk Palestina bukan semata urusan kemanusiaan, tetapi urusan akidah dan politik Islam.
Palestina adalah simbol ujian bagi umat Islam: apakah mereka masih memiliki izzah (kemuliaan) dan kesetiaan terhadap hukum Allah, ataukah sudah tunduk pada narasi palsu buatan penjajah.
Solidaritas tanpa ideologi akan mudah dikooptasi oleh kepentingan global. Maka, kesadaran ideologis harus menjadi dasar setiap aksi. Penolakan terhadap two state solution bukanlah penolakan terhadap perdamaian, melainkan bentuk ketegasan bahwa perdamaian sejati hanya lahir dari penerapan hukum Allah di muka bumi.
Jika umat Islam benar-benar ingin melihat Palestina merdeka, maka perjuangan harus diarahkan pada upaya menegakkan khilafah dan mempersiapkan jihad sebagai jalan pembebasan yang diridhai Allah.
Dengan itu, bumi Palestina akan kembali berada di bawah naungan Islam, dan umat akan kembali menjadi pelindung kemanusiaan, bukan korban politik global.
Hanya dengan itu, Palestina akan benar-benar bebas, dan kehormatan umat Islam kembali tegak di bawah panji Laa ilaha illallah Muhammadur Rasulullah. []
Oleh: Mahrita Julia Hapsari
(Aktivis Muslimah Banua)
0 Komentar