Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Kapitalisme Mengubah Iba Jadi Trauma


Topswara.com -- “Suami saya sakit, air susu saya tidak keluar. Butuh tambahan susu formula, Bu.”

“Anak saya tidak bisa ambil rapor, uangnya kurang 300 ribu…”

“Maaf Bu, sebenarnya saya malu, belum bayar listrik 3 bulan..."

Dulu, kalimat seperti ini membuat hati saya tergugah. Rasanya tak tega untuk tidak membantu.

Tetapi kini, jujur saja, saya takut menolong. Bukan karena saya pelit, tetapi karena saya sudah terlalu sering ditipu oleh empati saya sendiri.

Sekali membantu, hari-hari berikutnya seperti dikejar-kejar. Mereka datang lagi, dan lagi, seolah punya hak untuk terus saya bantu.

Ada juga yang caranya lebih manis, sopan, perhatian, seolah tulus berteman. Tetapi suatu hari, saat mereka meminjam uang dan saya tak bisa memberi, semua keramahan itu hilang seketika. Seolah kebaikan mereka hanyalah “investasi sosial” agar suatu saat bisa ditagih dalam bentuk materi.

Inilah wajah masyarakat di bawah sistem kapitalis, di mana ukuran hubungan bukan lagi iman dan kasih sayang, melainkan manfaat dan uang. Selama kita bisa memberi, kita dicintai. Tetapi begitu berhenti memberi, kita dilupakan bahkan dibenci.

Padahal Islam telah menanamkan nilai yang sangat mulia tentang tolong-menolong. Bukan hanya memberi, tapi juga menjaga izzah (kemuliaan diri).

Rasulullah SAW bersabda: “Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah” (HR. Bukhari dan Muslim).

Artinya, Islam tidak hanya memerintahkan kita untuk memberi, tetapi juga mendorong setiap Muslim agar berusaha, bekerja, dan tidak bergantung.

Sayangnya, di tengah sistem kapitalis, banyak yang hanya mengambil separuh ajaran Islam tentang sedekah, pinjaman, dan berbagi tanpa mau menunaikan bagian yang menuntut kemandirian. Akibatnya, banyak orang yang justru menyalahgunakan empati.

Lebih dari itu, sistem kapitalis telah menciptakan kemiskinan sistemis. Hidup sejahtera makin sulit dijangkau. Maka, banyak orang yang menempuh segala cara untuk mendapatkan uang. Bahkan dengan memanfaatkan rasa iba.

Sungguh, kita bukan kehilangan empati, tapi kehilangan rasa aman untuk berempati. Karena di tengah sistem kapitalisme, kebaikan sering dianggap kesempatan untuk dimanfaatkan.

Sudah saatnya kita kembali kepada sistem yang melahirkan ketulusan sejati yakni sistem Islam. Sebuah sistem yang menanamkan rasa tanggung jawab, harga diri, dan kasih sayang yang berpijak pada iman, bukan pada hitung-hitungan materi.[]


Oleh: Sitha Soehaimi 
(Aktivis Muslimah)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar