Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Rezeki Tak Pernah Salah Alamat: Ketika Hati Lapang, Langit Pun Turut Menurunkan Berkah


Topswara.com -- Kadang kita terlalu sibuk mengejar rezeki, sampai lupa bahwa yang paling penting bukan seberapa cepat kaki berlari, tapi seberapa lapang hati menerima dan bersyukur. 

Rezeki, kata orang bijak, bukan cuma urusan dompet, tapi juga urusan dada. Karena sesempit apa pun dompetmu, kalau hatimu lapang, maka hidupmu akan terasa cukup. 

Lihat saja orang-orang yang hatinya sempit. Dikit-dikit ngeluh, dikit-dikit iri, dikit-dikit bandingkan hidup. Padahal, kata Imam Ibnu Attoillah as-Sakandari dalam Al-Hikam-nya yang fenomenal,

“Istirahatkan dirimu dari upaya mengatur (rezekimu), sebab apa yang telah dijamin oleh Allah untukmu, tak akan diambil oleh selainmu.”

Kalimat ini dalam sekali, ya. Artinya, ketika kita berlapang hati terhadap takdir Allah, maka kita sedang menempuh jalan tenang menuju rezeki. Allah sudah menulis bagian kita masing-masing, jadi mengeluh atau iri hanya akan mempersempit dada dan menjauhkan kita dari ketenangan.

Tetapi bukan berarti kita pasrah tanpa usaha. Justru, lapang hati itu muncul dari iman bahwa setiap langkah kerja kita dilihat Allah, dihitung Allah, dan akan diganjar sesuai kadar tawakalnya. Kita kerja bukan karena panik takut miskin, tetapi karena taat pada perintah-Nya untuk berikhtiar.

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani pendiri Hizb ut-Tahrir dan seorang pemikir Islam yang sangat tajam pernah menjelaskan bahwa rezeki itu hakikatnya pemberian Allah, bukan hasil usaha manusia semata. Usaha hanyalah sebab, bukan sumber. Dalam An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, beliau menulis,

“Manusia bekerja hanyalah untuk mendapatkan sebab-sebab rezeki, bukan untuk menciptakan rezeki itu sendiri. Sebab yang menciptakan dan mendistribusikan rezeki hanyalah Allah Ta’ala.”

Masyaallah. Di sini kita belajar, bahwa lapang hati bukan berarti malas, tetapi paham peran. Kita bekerja karena itu kewajiban, tapi hati tetap tenang karena tahu hasilnya sudah dijamin oleh Ar-Razzaq (Maha Pemberi Rezeki).

Dan sering kali, justru saat hati sedang tenang dan ridha itulah pintu-pintu rezeki terbuka lebar. Kenapa? Karena hati yang lapang itu seperti wadah yang luas. Semakin luas wadahnya, semakin banyak pula berkah yang bisa ditampung.

Pernah dengar pepatah Arab? "Ar-ridha bi al-qadar yufarrighu al-qalb."

Ridha terhadap takdir membuat hati menjadi lapang

Mungkin inilah rahasianya bahwa orang yang lapang hati lebih cepat menemukan solusi. Saat yang lain sibuk panik, ia sibuk bersyukur. Saat yang lain merasa rugi, ia melihat hikmah. Maka tak heran, rezeki seperti magnet bagi orang yang hatinya lapang. Karena ia memantulkan ketenangan dan menarik keberkahan.

Kalau dipikir-pikir, rezeki itu bukan cuma gaji dan uang. Rezeki itu anak yang sehat, pasangan yang sabar, teman yang setia, bahkan nafas yang bisa kita hirup tanpa bayar. Tetapi kadang manusia baru merasa “beruntung” kalau saldo bertambah, padahal nikmat terbesar sering datang dalam bentuk yang tak bisa diukur angka.

Ibnu Attoillah juga pernah berkata, “barang siapa tidak ridha dengan pembagian Allah, maka ia takkan merasakan manisnya ibadah.”

Nah, itu dia. Kalau hati sempit, semua terasa kurang. Mau makan enak pun rasanya hambar, karena pikirannya sibuk membandingkan dengan milik orang lain. Tetapi kalau hati lapang, makan ditemani sambal terasi dan ikan asin pun bisa terasa seperti hidangan surga. 

Dalam konteks sosial, lapang hati juga berpengaruh pada cara kita menatap hidup. Orang yang lapang hati tak mudah dengki melihat keberhasilan orang lain. 

Ia justru ikut bahagia, karena percaya bahwa rezeki orang lain bukan mengurangi jatahnya. Ini penting banget di zaman sekarang, di mana media sosial sering bikin kita lupa bersyukur dan sibuk merasa tertinggal.

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani mengingatkan bahwa dalam sistem Islam, rezeki sejati datang dari distribusi yang adil berdasarkan syariat, bukan karena siapa yang paling kaya atau punya koneksi.

Negara dalam sistem Islam diwajibkan memastikan bahwa setiap rakyat punya akses terhadap kebutuhan hidup tanpa harus menunggu belas kasihan.

Artinya, lapang hati bukan cuma urusan individu, tapi juga harus ditopang oleh sistem yang adil. Namun kembali ke diri kita, lapang hati itu bukan bawaan lahir, tapi hasil latihan iman. Setiap kali kita diuji, seperti kehilangan pekerjaan, rezeki seret, atau rencana gagal, maka di situlah Allah sedang melatih dada kita agar kuat dan lapang.

Maka ketika yang lain sibuk mengejar nominal, kita belajar mengejar ketenangan. Karena ketenangan itu rezeki paling mewah, dan hanya bisa didapat oleh hati yang lapang.

Dan kelapangan hati itu bukan berarti nggak pernah sedih. Tetapi ia tahu, sedihnya nggak akan lama karena Allah selalu bersama hamba yang bersabar. 

Jadi, kalau kamu merasa hidupmu belum cukup, coba bukan dompetmu yang dibuka, tapi hatimu. Mungkin yang perlu diperluas bukan penghasilan, tetapi keikhlasan. Karena semakin lapang hatimu, semakin deras aliran rezekimu bukan hanya berupa harta, tetapi juga berupa bahagia hakiki yang tak bisa dibeli. []


Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar