Topswara.com -- "Mari kita bangun kembali masa kejayaan keilmuan Islam, seperti pada masa Baitul Hikmah di Baghdad, kebangkitan ini haruslah dimulai dari lingkungan pesantren,” ajak Menag membuka acara MQK Internasional di Pesantren As'adiyah Wajo, Kamis (02/10/25) (Kemenag.go.id ).
Menag RI Nasaruddin Umar: Musabaqah Qiraatil Kutub (MQK) Nasional dan Internasional dapat menjadi anak tangga pertama menuju kembalinya The Golden Age of Islamic Civilization (Zaman Keemasan Peradaban Islam), dan ini harus dimulai dari pesantren sebagai benteng paling kuatnya Indonesia.
Perlu ada integrasi dan “perkawinan” antara Iqra’ (kitab putih/ Ilmu umum) dan Bismirabbik (kitab kuning/ kitab turats) adalah kunci lahirnya insan kamil.
Untuk menuju The Golden Age of Islamic Civilization dapat dimulai dari Indonesia selama pesantren mempertahankan lima unsur sejatinya: masjid, kiai, santri, kuat membaca kitab turats, memelihara habit pesantren.
Staf Khusus Menteri Agama Bidang Kebijakan Publik, Media/Hubungan Masyarakat, dan Pengembangan SDM, Ismail Cawidu menegaskan bahwa seluruh rangkaian Hari Santri 2025 disiapkan secara terpadu untuk menggambarkan tiga peran utama santri masa kini. Yaitu sebagai duta budaya, agen perubahan sosial, dan motor kemandirian ekonomi (rri.co.id, 10 -10-2025).
Bu Hj. Dini Rahmania, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, menyampaikan pandangan strategisnya bahwa pesantren memiliki potensi besar untuk menjadi pusat pertumbuhan ekonomi berbasis komunitas.
“Pesantren bukan hanya tempat menuntut ilmu agama, tapi juga bisa menjadi pusat inkubasi bisnis. Santri harus dibekali keterampilan kewirausahaan agar mereka mampu mandiri secara ekonomi ketika kembali ke masyarakat. Pemerintah, dalam hal ini DPR, terus mendorong regulasi dan program yang mendukung pengembangan ekonomi pesantren” (jatimsatu.news, 11/10/2025).
Sepintas dengan adanya penetapan tema besar Hari Santri 2025 “Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia” memberi harapan bahwa keemasan peradaban Islam bisa diraih kembali. Namun dalam kehidupan sekulerisme liberal seperti saat ini, arah penetapan tema tersebut butuh dicermati dengan kaca mata syariat.
Terdapat upaya memperkuat paham sekulerisme di lingkungan pesantren dengan cara menggeser makna dan peran strategis pesantren sebagai pusat lahirnya ulama serta pemimpin peradaban Islam.
Fokus santri pun dialihkan, seolah-olah mereka cukup berperan sebagai duta budaya dan penggerak kemandirian ekonomi—arah yang justru bertentangan dengan hakikat peran santri sebagai calon warasatul anbiya’ (pewaris para nabi).
Membelokkan arah perjuangan santri menjadi agen perdamaian dan perubahan sosial versi sekulerisme, serta mengarahkan santri sebagai duta Islam moderat (wasathiyah) yang jelas-jelas bertentangan dengan Islam.
Mewujudkan kembali peradaban Islam adalah kewajiban setiap mukmin, bukan sekedar narasi dan seruan semata.
Maka dari itu, penting untuk didetili bagaimana Islam membangun peradaban Islam.
Peradaban Islam dibangun dari asasnya,
miqyas amal (standar perbuatan), dan makna kebahagiaan dalam Islam. Asas Islam ditegakkan atas dasar hukum Islam dalam semua aspek kehidupan sosial, politik, ekonomi, hukum, pemerintahan, dan lain-lain.
Penetapan standar aktivitas (miqyasul amal) dalam kehidupan peradaban Islam bergantung pada cara pandang seseorang terhadap kehidupan itu sendiri.
Gambaran hidup yang dimiliki seseorang akan menjadi dasar dalam menentukan tindakan yang ia lakukan. Sebab, dari gambaran tersebutlah lahir pandangan hidup yang ia pegang.
Dengan demikian, cara seseorang memandang kehidupan akan bersifat khas, sesuai dengan persepsi dan pemahamannya tentang kehidupan itu.
Pandangan seorang Muslim dalam peradaban Islam, kehidupan bukanlah kemanfaatan. Kalau ia memandangnya sebagai kemanfaatan, konsekuensinya ia akan membatasi pandangan hidupnya dengan kemanfaatan. Tentu juga bukan kemaslahatan. Kalau ia memandangnya sebagai kemaslahatan, ia akan membatasi pandangan hidupnya dengan kemaslahatan tersebut.
Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah sarana untuk ke akhirat. Manusia hanya akan mengarungi kehidupan dunia untuk beribadah kepada Allah Taala.
Mampukah pesantren menjadi pelopor peradaban Islam sementara pandangan hidupnya masih sekuler yang meletakkan makna kebahagiaan pada ekonomi dan wasathiyah, duta moderasi yang mendistorsi peran pesantren dalam kebangkitan peradaban Islam.
Dalam pandangan Islam makna kebahagiaan itu ketika bisa menjalankan seluruh perintah Allah dan meraih ridha-Nya.
Pesantren hanyalah salah satu komponen yang berperan dalam mewujudkan kembali peradaban Islam, namun butuh perjuangan dakwah politik Islam yang terarah pada hadirnya peradaban Islam yang hakiki. Peradaban Islam sejati hanya akan terwujud dalam sistem khilafah. []
Oleh: dr. Bina Srimaharani
(Pimpinan Klinik Ponpes Al Ihsan)
0 Komentar