Topswara.com -- Ada jenis laki-laki yang ketika hidup masih di fase perjuangan setia dengan istrinya, meminta istri selalu bersabar atas kekurangannya bahkan istri sukarela ikut bekerja serabutan demi membantu perekonomian keluarga hingga lupa merawat dirinya sendiri dan saat berangkat kerja suami selalu minta didoakan, “Doakan ya, semoga lolos P3K.”
Di fase ini, istri setia menjadi teman makan lauk seadanya, sabar tidak pernah diajak jalan-jalan, sabar saat ditagih utang di sana sini, bertahan saat diremehkan tetangga dan saudara. Dalam kondisi sulit pun sang istri tetap berusaha menjadi penyemangat ujian, dan tempat bersandar saat gagal tes.
Tetapi begitu surat SK datang dan gaji terasa lebih manis dari zikir, sebagian dari mereka berubah, bukan makin salih, tetapi makin sombong. Dari yang dulu menunduk saat berdoa, kini menengadah karena merasa “sudah ada harga diri baru”.
Masalahnya, kesuksesan dunia tanpa fondasi agama ibarat rumah di atas pasir yang terlihat mewah sebentar, lalu ambruk karena tak punya tiang keimanan. Maka tak heran, ada yang baru sebentar menikmati status P3K, tetapi sudah tergoda meninggalkan istri perjuangan demi imajinasi hidup baru yang lebih “bahagia”.
Ia mengira naik jabatan artinya naik derajat. Padahal yang naik hanya slip gaji, sementara akhlaknya jatuh bebas tanpa parasut iman. Dan Allah, yang Maha Melihat, justru mencabut jabatannya sebelum kesombongan itu membesar. Alhasil, ia bukan hanya gagal jadi qawam (pemimpin keluarga), tapi malah jadi headline: “Naik P3K, Turun Akhlak, Berujung Pemecatan.”
Suami dalam Pandangan Islam
Dalam Islam, suami bukan hanya pencari nafkah. Ia pemegang amanah. Allah SWT menegaskan, “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita” (QS. An-Nisa: 34).
Tetapi jadi pemimpin tidak cukup hanya modal SK atau nama di database PPPK. Pemimpin sejati punya iman yang kokoh, bukan gaya baru setelah gaji cair. Jika seorang suami hanya mencintai istri saat susah, tetapi melepasnya saat rezeki datang, maka ia sedang membuktikan bahwa yang ia cintai bukan istrinya tapi kenyamanan ego pribadinya.
Fenomena ini lahir dari pola pikir sekuler yang mengukur nilai manusia dari status sosial dan harta, bukan dari ketakwaan. Sistem hidup sekuler membentuk laki-laki yang merasa boleh “upgrade pasangan” ketika status meningkat.
Dalam cara pandang ini, istri bukan amanah, tetapi aset yang bisa diganti. Padahal cinta yang tidak diletakkan di atas iman akan bergeser saat dunia menawarkan lebih banyak ilusi dan ternyata yang baru pun tidak lebih baik dari istri yang ditinggalkan. Nah kan, penyesalan selalu datang terlambat dan Jin Dasim pun tertawa riang.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan, manusia yang tidak hidup dalam naungan syariat akan menjadikan hawa nafsu sebagai kompas. Tanpa kontrol iman dan sistem Islam, laki-laki akan mudah tergelincir, meninggalkan tanggung jawab demi ambisi. Inilah produk sekularisme: laki-laki kehilangan ruh kepemimpinan, tetapi merasa diri hebat hanya karena punya status pekerjaan.
Ironisnya, ada laki-laki yang sibuk mengejar pengakuan dunia, tapi lupa bahwa ia bisa dipecat oleh Allah SWT kapan saja dan ketika jabatan itu benar-benar dicabut, ia menyadari bahwa yang hilang bukan hanya pekerjaan, tetapi juga harga diri, kepercayaan, dan doa istri yang dulu diam-diam menopangnya.
Untuk para perempuan yang pernah ditemani lalu ditinggalkan, bersabarlah karena Allah sedang memuliakan dan mengangkat derajatmu. Ketahuilah kamu bukan gagal. Kamu pernah jadi rumah mewah bagi seseorang, tetapi dia lebih memilih pindah ke tenda sobek penuh tambalan yang rapuh.
Sedangkan untuk laki-laki yang merasa “bebas” setelah naik pangkat, lalu puas mengejar syahwat dan meninggalkan amanah, maka dengarkan, "jangan bangga terlalu cepat." Mungkin dunia sempat mengangkatmu sebentar, hanya untuk dijatuhkan lebih keras sebagai pelajaran bahwa rezeki tanpa iman adalah jebakan, bukan kemenangan.
Pada akhirnya, kesuksesan bukan ketika namamu terdaftar sebagai pegawai pemerintah, tetapi ketika namamu terdaftar di sisi Allah sebagai hamba yang amanah. Karena gaji bisa hilang, jabatan bisa dicabut, istri bisa pergi, tetapi dosa meninggalkan amanah akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah yang Maha Adil.
Jadi, naik pangkatlah, tetapi jangan turun syariat. Jadilah suami yang qawam, bukan hanya “lulusan tes ASN”. Sebab ujian terberat bukan saat miskin, tapi saat Allah menguji apakah kamu akan tetap tunduk sebagai hamba, atau berubah menjadi tuan atas nafsumu sendiri.
Dan kalau kesombongan sudah membawamu pada pemecatan dunia, semoga engkau segera sadar, agar tidak mengalami pemecatan yang lebih mengerikan, yaitu dihapus dari barisan hamba-hamba yang dirahmati Allah Ta’ala, na'udzubillah. []
Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)

0 Komentar