Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Fenomena Fatherless: Buah Kehidupan Sekuler Kapitalisme


Topswara.com -- Data yang dirilis oleh Kompas pada 8 Oktober 2025 mengungkap fakta mengejutkan: sekitar 20,1 persen anak Indonesia, atau setara dengan 15,9 juta anak, tumbuh tanpa kehadiran dan pengasuhan ayah, suatu kondisi yang dikenal dengan istilah fatherless (tagar.co, 08/10/2025).

Isu tentang fatherless juga sempat ramai diperbincangkan di media sosial, setelah muncul hasil penelitian yang menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat ketiga tertinggi di dunia dalam hal angka ketiadaan peran ayah (voi.id, 11/10/2025).

Fenomena fatherless atau ketiadaan peran ayah, baik secara fisik maupun psikis, kini menjadi isu sosial serius di Indonesia. Jutaan anak tumbuh tanpa figur ayah yang hadir mendampingi, menuntun, dan memberi teladan. Seringkali kehadiran secara fisik ada, namun absen secara emosional dalam peran pengasuhan.

Survei juga mengungkap bahwa banyak ayah bekerja lebih dari 60 jam setiap minggu, sehingga waktu mereka untuk berinteraksi dengan anak sangat terbatas. Sementara itu, ada pula anak-anak yang kehilangan sosok ayah sepenuhnya akibat perceraian atau kematian (tagar.co, 11/10/2025).

Fenomena ini tidak lahir dari ruang hampa. Ia adalah buah dari sistem kehidupan kapitalistik sekuler yang menempatkan nilai materi di atas nilai keluarga dan spiritualitas.

Akar Masalah Fatherless

Banyak kalangan menyoroti fatherless sebagai akibat dari perceraian, migrasi kerja, atau pola asuh modern yang keliru. Namun jika ditelusuri lebih dalam, akar utamanya adalah sistem kapitalisme sekuler yang mendominasi kehidupan saat ini. 

Sistem ini memaksa ayah bekerja keras tanpa batas waktu demi memenuhi kebutuhan hidup yang terus meningkat. Akibatnya, peran ayah sebagai pendidik dan teladan di rumah tergeser oleh kesibukan mencari nafkah.

Di bawah tekanan ekonomi dan gaya hidup konsumtif, sosok ayah kehilangan fungsi qawam pemimpin, pelindung, dan penanggung jawab keluarga. Anak-anak pun kehilangan figur panutan yang seharusnya menanamkan nilai, karakter, dan arah hidup. 

Ketidakhadiran ini bukan hanya fisik, tetapi juga emosional dan spiritual. Akibatnya anak-anak tumbuh dengan rasa kehilangan, kesepian, bahkan mengalami gangguan perkembangan emosi dan moral.

Kapitalisme dan Krisis Keluarga

Sistem kapitalisme telah menciptakan manusia yang diukur dari produktivitas dan materi. Ayah yang bekerja keras dianggap berhasil, meskipun kehilangan kedekatan dengan anak-anaknya. 

Padahal, keberhasilan sejati bukan hanya dalam pencapaian ekonomi, tetapi dalam keberhasilan membangun generasi berkarakter. Kapitalisme menuntut manusia menjadi “mesin ekonomi”, bukan pendidik keluarga. 

Di sisi lain, sekularisme memisahkan agama dari kehidupan, sehingga nilai-nilai spiritual dan tanggung jawab moral seorang ayah kian memudar.

Akibatnya, keluarga kehilangan pondasi kokoh. Ketika ayah tak lagi hadir secara fungsional, anak mencari figur lain di dunia digital, media sosial, atau pergaulan bebas. Fenomena ini kini melahirkan generasi rapuh, mudah stres, dan kehilangan arah hidup.

Solusi Islam: Menyembuhkan Krisis Fatherless

Islam memandang keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat yang harus dijaga dengan sistem yang adil dan kokoh. Dalam Islam, ayah dan ibu memiliki peran yang saling melengkapi. 

Ayah bukan hanya pencari nafkah, tetapi juga pemimpin (qawam) yang mendidik, melindungi, dan menanamkan nilai-nilai keimanan pada anak-anaknya seperti dicontohkan dalam kisah Luqman yang penuh hikmah dan nasihat kepada anaknya. Sementara ibu berperan dalam pengasuhan, penyusuan, dan pendidikan awal kehidupan.

Sistem Islam pun tidak membiarkan ayah tertekan oleh beban ekonomi yang berlebihan. Negara dalam sistem Islam bertanggung jawab memastikan kesejahteraan warganya melalui penyediaan lapangan kerja layak dan jaminan kehidupan dasar. 

Dengan demikian, ayah memiliki waktu cukup untuk membersamai keluarga dan menunaikan fungsi kepemimpinannya secara utuh.

Selain itu, Islam juga memiliki sistem perwalian yang menjamin setiap anak memiliki figur ayah atau wali yang akan mendampingi, melindungi, dan mengarahkan. Tak ada ruang bagi anak tumbuh tanpa bimbingan dan keteladanan.

Fenomena fatherless bukan sekadar masalah sosial, melainkan tanda kerusakan mendasar akibat sistem kapitalistik sekuler yang menafikan nilai-nilai spiritual dan keluarga. Untuk menyembuhkan kondisi ini, solusi tambal sulam seperti pelatihan parenting atau kampanye ayah hadir tak cukup.

Diperlukan perubahan sistemis menuju tatanan hidup yang menempatkan keluarga sebagai pusat peradaban yakni sistem Islam yang menjadikan peran ayah dan ibu mulia, terlindungi, dan berdaya dalam menjalankan amanah pendidikan generasi. []


Oleh: apt. Yuchyil Firdausi, S.Farm. 
(Aktivis Muslimah)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar