Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

MBG sebagai Komoditas Politik


Topswara.com -- Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah salah satu program unggulan presiden Prabowo saat kampanye Pemilu lalu. Untuk mewujudkan program ini, presiden pun langsung membentuk tim khusus yang dikepalai oleh Dadan Hindayana selaku Kepala Badan Gizi Nasional (BGN). 

Dana pun langsung diluncurkan dan telah menjangkau 38 provinsi, 502 kabupaten, dan 4.770 kecamatan yang mana ini dilayani oleh SPPG (Satuan Layanan Pemenuhan Gizi). 

SPPG ini melibatkan TNI, Polri, BIN, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Kadin, APJI (Asosiasi Pengusaha Jasaboga Indonesia), hingga pelaku usaha di berbagai daerah dan telah mencapai 5.103 usaha.

MBG sebagai Komoditas Politik
Beberapa program pelayanan sosial hakikatnya tidak ditujukan pada masyarakat secara mutlak. Namun digunakan sebagai alat politik.

Alih-alih solutif, program sosial ini dijadikan sebagai alat kampanye untuk menarik perhatian publik. Lebih dari itu, program senada ini digunakan sebagai alat peredam amarah publik. 

James C. Scott dalam bukunya Weapons of the weeks menjelaskan bagaimana kelas penguasa melakukan berbagai cara, termasuk pemberian bersyarat, untuk mempertahankan hegemoni dan mencegah perlawanan terbuka dari rakyat miskin. 

Maka pemberian bansos disebut sebagai pemberian Jokowi, MBG sebagai pemberian Prabowo yang mana semua menggunakan APBN negara. 

Sungguh ironi, memakai uang rakyat dikembalikan kepada rakyat dengan mengemas popularitas jabatan.

BGN telah memby-pass birokrasi membentuk tim sendiri. SPPI (Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia) dibentuk dengan diberi pelatihan militer. Jajaran kepemimpinannya pun bagian dari militer dan orang kepercayaan presiden, jauh dari kata ahli dibidang gizi dan kesehatan. 

Jadi birokrasi yang independen ini memungkinkan lubang korupsi. Menguntung sekelompok hingga mustahil untuk ditutup. Solusi asuransi bisa bisa jadi menambah keran korupsi.

Ketergantungan

Program ini MBG ini jelas membuat rakyat ketergantungan terhadap bantuan. Efek ini sangat buruk karena tidak memunculkan kemandirian bagi tiap keluarga. Setiap keluarga diharapkan mengetahui permasalahan gizi dengan baik. 

Mengolah keuangan sesuai dengan kebutuhan gizi yang tersedia ditiap wilayah. Sebab Indonesia merupakan wilayah yang sangat luas, pegunungan, lautan dann daratan. Masing-masing memiliki ciri khas makanan sehat.

Lebih lagi, negara terlalu ikut campur dalam urusan dapur. Seharusnya perhatian negara lebih besar dan struktural. Seperti memperhatikan ketersediaan dan distribusi pangan. 

Memperhatikan lapangan pekerjaan, pendapatan bahkan jumlah penduduk yang sehat dan tidak sehat secara peran. Kemudian dapat memberikan solusi konkret atas masalah-masalah inti.

Termasuk para pejabat tinggi, meski mereka tidak hidup dalam sistem islam namun perlakuannya terhadap amanah haruslah seolah-seolah Allah mengawasinya tanpa jeda. 

Artinya ia bertanggung jawab, bijaksana dan mengurusi urusan sesuai dengan syariat islam. Sebagaimana rasulullah bertanya kepada para gubernurnya ketika menerima jabatan, “Dengan apa kalian memimpin umat ini?”. Dijawab oleh mereka dengan Al Qur’an dan petunjuk darimu (hadis rasulullah). “Jika kamu tidak menemukannya, apa yang akan kamu lakukan?”, dijawab lagi oleh mereka, dengan berijtihat (menggali hukum) dengan tidak menyalahimu (yang sudah tertera jelas di Qur’an dan Sunnah). Dialog persisnya bisa didapati pada kita Daulah Islam karangan Syaikh Taqiyuddin An Nabhani.

Ini juga senada dengan nasihat Imam Ghazali pada kitab karangannya Al Iqtishad fi al i’tiqad, yang menyatakan bahwa;

 Ø§Ù„دِّينُ ÙˆَالسُّÙ„ْØ·َانُ تَÙˆْØ£َÙ…َانِ، الد

(Agama dan kekuasaan adalah saudara kembar; agama adalah pondasinya, dan kekuasaan adalah penjaganya. Sesuatu yang tanpa pondasi akan runtuh, dan sesuatu yang tanpa penjaga akan hilang.)

Pemimpin yang bertakwa tidak lahir dari sistem yang rusak. Islam adalah ideologi sekaligus agama. Islam bukan sekedar mengatur rumah ibadah namun kumpulan rumah yang dinaungi negara. 

Bahkan Islam adalah idelogi yang mengubah wajah dunia dengan peradaban adil dan sejahtera.

Hal ini menunjukkan bahwa meski ia nabi sekalipun, jika anaknya bermaksiat maka hukum Allah ditegakkan. 

Artinya Islam sebagai ideologi bukanlah hukum yang tanpa dasar yang jelas melainkan kejelasan dan batasannya begitu gamblang sehingga tidak akan membentuk perselisihan apalagi hukum berkaki dua sebagaimana hukum buatan manusia.

Program MBG adalah salah satu alat pencitraan dan rantai korupsi. Namun demokrasi dengan mekanisme regulasi yang tumpang tindih tidak akan berhasil mengoreksi kebijkan ini. 

Alih-alih sibuk mengkritik MBG, maka fokuslah pada akar masalah bahwa sistem ini melahirkan jiwa-jiwa korup dan lemah. Tidak akan usai jika kesadaran akan pentingnya penerapan ideologi Islam urung diterapkan.


Oleh: Siti Wahyuni, S.Pd.
Aktivis Muslimah 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar