Topswara.com -- Ada orang kalau udah masuk usia senja, dikit-dikit bilang, “Ya beginilah, udah tua. Hidup tinggal nunggu giliran.”
Eh, kayak lagi ngantri bakso aja ya tinggal nunggu dipanggil. Padahal Sob, senja itu bukan redup. Senja itu cahaya yang udah matang, lembut, dan bijak.
Kalau pagi masih panas-panasnya, siang terik menyengat, nah senja itu udah adem menenangkan.
Syaikh Ibnu ‘Atha’illah pernah mengatakan dalam al-Hikam, "Bukanlah cahaya itu yang hilang, tapi yang hilang adalah mata hati yang tak mampu melihat cahaya-Nya."
Jleb! Dalam banget kan. Artinya, bukan umur yang bikin redup, tetapi kalau hati udah gelap, umur berapa pun jadi buram. Sebaliknya, kalau hati terang karena ngaji kaffah, zikrullah dan dakwah. Meski uban banyak, wajah mulai keriput, tetapi tetap berseri.
Nah, kalau udah masuk senja kehidupan, fokusnya bukan lagi ngejar skincare termahal biar glowing 24 jam, ngejar suami atau istri orang eee atau maksa ikut tren joget TikTok padahal dengkul udah protes, kepala kena panas dikit vertigo, nafas udah Senin-Kamis. Tetapi fokuslah pada tujuan hidup.
Fokus di Ujung Usia: Mau Jadi Senja yang Indah atau Tenggelam?
Allah udah kasih clue tujuan hidup kita dalam Al-Qur’an surah Adz-Dzariyat ayat 56,
ÙˆَÙ…َا Ø®َÙ„َÙ‚ْتُ الْجِÙ†َّ ÙˆَالْØ¥ِÙ†ْسَ Ø¥ِÙ„َّا Ù„ِÙŠَعْبُدُونِ
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku.”
Jadi sob, hidup itu bukan sekadar eksis, tapi harus jelas arah. Makanya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani selalu menekankan, manusia itu harus punya tujuan yang fixed, yaitu ridha Allah, ibadah kaffah, menegakkan syariat. Kalau enggak, umur panjang tapi jalannya muter-muter, kayak kucing ngejar ekornya sendiri. Capek iya, hasilnya nol besar.
Senja kehidupan itu ibarat lari marathon. Kalau udah tinggal 10 meter terakhir, masa iya malah melipir beli es teh dulu? Artinya, makin tua harusnya makin serius ngejar amal terbaik, bukan malah tepi-tepi alias tebar pesona sana sini sok muda padahal udah karatan semua. Lupa kalau body sudah difase maintenance hospital.
Seharusnya senja itu bijak karena sudah kenyang pengalaman. Pernah jatuh, pernah salah, pernah nangis, pernah ketawa. Semua jadi modal untuk makin yakin arah hidup. Tinggal kita pilih, mau jadi senja yang tenggelam perlahan tanpa arti, atau senja yang memantulkan cahaya indah sebelum hilang.
Ingat ya sob, tua itu pasti. Tetapi menua dengan bermartabat, istiqamah, dan orientasi akhirat itu pilihan. Jadi jangan minder sama uban atau keriput, karena yang bikin keren bukan mulusnya kulit, tetapi beningnya hati.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani selalu ingetin, hidup harus diorientasikan pada perjuangan besar menegakkan Islam kaffah.
Nah, senja adalah waktu paling pas buat upgrade niat. Kalau masih muda aja bisa semangat ikut kajian, masa senja malah kendor? Harusnya makin kuat.
Senja itu bukan sekadar menutup hari, tetapi juga jadi cahaya penuntun buat generasi setelahnya.
Coba lihat orang tua yang hidupnya penuh hikmah. Anak-anaknya, cucu-cucunya, bahkan murid-muridnya, semua merasa dapat cahaya dari mereka. Itulah senja yang bijak, bukan sekadar tenggelam, tapi meninggalkan warna indah.
Rasulullah SAW bersabda, "Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia" (HR. Ahmad).
Jadi ukurannya bukan berapa lama kita hidup, tetapi berapa dalam arti yang kita tinggalkan. Oleh karena itu, senja bukan redup, tetapi cahaya yang bijak. Kalau pagi dan siang identik dengan semangat, senja identik dengan ketenangan.
Maka, mari jadikan senja kita bukan tanda lemah, tetapi tanda matang. Bukan tanda berhenti, tapi tanda siap pulang dengan husnul khatimah.
Karena hidup bukan soal panjang umur, tapi soal apakah di ujungnya kita bisa bilang, “Ya Allah, aku sudah berjuang, sudah menanam amal, dan siap kembali kepada-Mu.” []
Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)
0 Komentar