Topswara.com -- “Genosida Gaza oleh Israel telah merenggut ratusan ribu nyawa, tak hanya orang dewasa, lansia dan anak-anak turut menjadi korban”. Begitulah yang disampaikan para jurnalis disana.
Namun fakta baru menunjukkan mereka yang setia mengabarkan para saudara kita di Gaza kini tak luput dari kebrutalan Zionis Israel, mereka semua ikut diburu dan dihabisi demi menjalankan misi.
Dilansir dari berita Bersatu.com, serangan udara Israel merenggut nyawa setidaknya 15 orang 4 diantaranya jurnalis. Hatem Khaled dari Reuters menjadi salah satu korban tewas pada serangan kedua setelah para relawan dan jurnalis serta warga mendatangi lokasi serangan pertama, dan rekaman siaran langsung Reuters tiba-tiba terputus saat serangan itu terjadi, hal itu diungkapkan oleh juru bicara Reuters secara resmi.
Selain Hatem Khaled petugas kesehatan Palestina pun mengatakan ada tiga orang jurnalis yang juga tewas dalam serangan tersebut yaitu: Mariam Abu Dagga, Mohamed Salama, dan Moaz Abu Taha. (25/08/2025)
Dunia Bungkam Atas Gugurnya Para Jurnalis
Fakta yang terjadi di Gaza saat ini sungguh menyayat hati untuk dilihat, seakan air mata tidak akan pernah ada habisnya untuk Gaza, makin hari perang Israel-Gaza semakin brutal, tidak seharusnya jurnalis turut dijadikan sasaran perang.
Sebagai saudara sesama muslim tentu kita merasakan penderitaan saudara kita di Gaza, namun sekedar rasa iba saja tidak cukup untuk membebaskan Gaza dari kebrutalan Israel. Mereka butuh bantuan yang real dari umat di dunia ini.
Namun sayangnya saat ini kita terpisah oleh sekat nasionalisme yang menjadikan umat Islam menjadi terpecah-belah menjadi negara-negara kecil setelah runtuhnya Khilafah Ustmaniah pada 9 Maret 1924.
Diamnya dunia terhadap Genosida Gaza membuat Israel semakin besar kepala, dan mereka pun menjadikan jurnalis sebagai salah satu sasaran.
Dengan menghabisi para jurnalis adalah salah satu cara melancarkan jalan meraka untuk terus merampas tanah para nabi ini. Akan tetapi dunia hanya bungkam, tidak memberikan sanksi atas pelanggaran perang yang dilakukan Israel tanpa henti.
Gaza tidak membutuhkan kecaman terhadap Israel, bantuan logistik berupa makanan dan obat bukan solusi tuntas yang dapat menyelesaikan perang, meskipun memang dibutuhkan ditengah pelaparan sistematis yang dilakukan Israel. Yang Gaza butuhkan adalah tentara yang dapat membebaskan mereka dari belenggu genosida yang melanda.
Namun mengomando tentara tidak mungkin dilakukan didalam lingkup sistem kapitalisme liberalisme yang memisahkan agama dari kehidupan, serta berasaskan kebebasan sebagai hak bagi setiap orang.
Kapitalisme liberalisme hanya menjadikan manfaat sebagi tolak ukur kebahagiaan, sehingga tidak akan mampu bersifat menolong tanpa embel-embel imbalan.
Sejatinya mengirimkan tentara untuk membebaskan Gaza hanya dapat dilakukan jika sistem pemerintahan Islam ditegakkan. Sistem pemerintahan Islam hanya memiliki satu pemimpin tertinggi di wilayah kekuasaannya dan mampu mengatasi peperangan di Gaza tanpa kesulitan.
Hal itu mudah untuk dilakukan karena negara IsIam tidak memiliki batas-batas negara yang dapat memisahkan wilayah negara Islam. Sehingga bantuan militer dapat dikirimkan untuk memerangi siapa pun yang berani memusuhi negara Islam.
Sejarah melukiskan kejayaan negara Islam yang mampu menyatukan sepertiga dunia dalam satu naungan, sehingga mudah untuk membebaskan tanah Palestina atau Al Quds dari kekuasaan Romawi oleh sayyidina Umar bin Khattabdari, kemudian pembebasan Al Quds kedua oleh Salahuddin Al Ayuubi dari tentara salib pada era kekhalifahan Turki Utsmani.
Dari sejarah diatas dapat disimpulkan solusi terbaik untuk menghentikan kebrutalan Israel hanyalah dengan kembali pada aturan Allah SWT dalam mengambil hukum.
Semoga umat muslim di seluruh dunia dapat tercerdaskan dan mengembalikan kehidupan Islam di bawah naungan satu kepemimpinan negara Islam. Rasulullah SAW bersabda: “Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang muslim tanpa hak.” (HR. An-Nasa'i)
Wallahua'lam bisshawab.
Oleh: Jumiliati
Aktivis Dakwah
0 Komentar