Topswara.com -- Makan Bergizi Gratis yang menjadi salah satu andalan kebijakan pemerintah, menyita perhatian publik hingga menyedot efisiensi anggaran negara juga, menunjukan masalah demi masalah dalam eksekusinya dilapangan.
Tidak hanya terkait masalah pendanaan saja, yang lebih serius lagi berkaitan dengan penyajian makanan ditempat. Diketahui, baru-baru ini kasus keracunan akibat mengkonsumsi makanan program MBG kembali terjadi.
Dikutip dari kompasregional.com (30/08/2025) sebanyak 20 santri di Pondok Pesantren (Ponpes) Al Islah, Kabupaten Lampung Timur, dilarikan ke rumah sakit. Mereka diduga keracunan setelah menyantap Makanan Bergizi Gratis (MBG).
Menyusul kemudian, sebanyak 456 siswa di Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu, mengalami keracunan usai menyantap menu MBG. Akibatnya, program MBG di Kabupaten ini dihentikan sementara.
Begitu banyaknya kasus keracunan dari program MBG mengisyaratkan bahwa program ini beresiko dalam pelaksanaanya.
Pengelolaan program yang amburadul, mulai dari SOP, kesiapan SDM, hingga proses ditribusi menunjukkan Negara tidak siap dengan program yang dijanjikan.
Kita juga perlu mengevaluasi seberapa efektifkah program MBG ini dalam menuntaskan malnutrisi dan stunting, karena fakta yang berhamburan justru program ini melahirkan masalah baru yang lebih serius, salah satunya keracunan yangmengancam nyawa.
Kebijakan yang Salah Fokus
Sejatinya, kebijakan apapun dari Negara harus berfokus pada kesejahteraan masyarakat. Bukan hanya sekedar asal
jadi, asal terlihat bekerja, asal pencitraan semata, yang paling utama apakah kebijakan itu berdampak besar atau tidak untuk rakyatnya.
Menjaga Asupan Gizi Tanggungjawab Negara
Namun, kebijakan yang dijalankan mestinya mengakar sesuai akar permasalahannya. Jika kita lihat, terjadinya malnutrisi dan stunting diakibatkan tingkat kemiskinan yang tinggi hingga tidak bisa memenuhi gizi keluarga.
Jika negara bertekad untuk
menuntaskan masalah gizi ini tentu solusinya bukan melalui pemberian MBG, tetapi melalui penyediaan lapangan pekerjaan yang luas, dan upah yang layak untuk memenuhi biaya kebutuhan sehari-hari yang benar-benar layak untuk menyediakanmakanan bergizi untuk sebuah keluarga.
Bukankah ketika lapangan kerja terbuka lebar, roda ekonomipasti akan bergerak, dan ketika negara fokus pada pemerataan distribusi kebutuhan pangan dan jaminan kehidupan rakyatnya, mereka akan hidup lebih tenang, dan lebih siap untuk menjalani pendidikan dan pekerjaannya yang akan berpengaruh pada kualitas SDMnya
Yang pasti akan berdampak pula pada kemajuan ekonomi dan peradabannya. Jika hanya bertumpu pada pemberian hidangan jadi satu kali makan untuk satu orang saja, tidak akan bisa mengentaskan kemiskinan yangmenjadi penyumbat kesejahteraan dan menjadi sarang terjadinya malnutrisi dan stunting.
Maka, dapat dipastikan negara akan kesulitan untuk mewujudkan gizi baik untuk rakyatnya karna negara tidak mengangkat masalah kemiskinan
sistemiknya, dan malah fokus pada pemberian hidangan yang ternyata melahirkan masalah lain yang jauh lebih serius.
Sistem distribusi yang berpusat pada sistem ekonomi kapitalisme selalu mengedapankan pangan sebagai komoditas semata bukan sebagai senjata kesejahteraan dan jaminan pemenuhan gizi untuk rakyatnya.
Maka sudah terlihat jelas bahwa MBG ini sudah salah fokus sedari awal, karena tidak berorientasi mengakar sesuai kebutuhan rakyatnya, dan lebih tepatnya seperti program yang polutif bukan solutif.
Landasan Kebijakan dalam Islam
Tentu hal ini sangat bertentangan
dengan sistem islam yang teruji secara empirik bertahan 14 abad lamanya. Dalam pandangan Islam pemimpin negara bertanggungjawab penuh pada rakyatnya. Ia ibarat perisai sebagaimana yang dinyatakan dalam potongan hadis; “Sesungguhnya imam/khalifah adalah perisai, orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung….” (HR Muslim).
Dalam sistem Islam, pemimpinmemiliki kewajiban untuk memastikan kondisi rakyatnya sejahtera, aman dan terlindungi, termasuk dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya dengan berbagai mekanisme yang sesuai dengan landasan Al-Qur’an dan sunah.
Mulai dari pemusatan pengelolaan SDA yang merupakan kepemilikian umat tidak bisa dimiliki oleh segelintir orang, dan hanya dikelola oleh negara untuk kemakmuran rakyat.
Hasil pengelolaan SDA inilah yang akan menjadi sumber pendapatan negara untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya terutama kebutuhan pangan yang sangat erat kaitanya dengan gizi dan nutrisi.
Di lain hal, akses jaminan kesehatan, pendidikan, keamanan terjamin karena tidak ada kebocoran hasil SDA yang dimiliki oleh segelintir elit kapital seperti hari ini, hingga tidak heran APBN kita berpusat pada pendapatan pajak yang membebani rakyat.
Hal ini tidak akan pernah terjadi dalam sistem kepemimpinan Islam karna mulai dari asas, sistem, mekanisme dan teknisnya berpusat pada kesejahteraan rakyat bukan pada komoditas untuk rakyat.
Wallahu'alam Bishawab.
Oleh: Shella Nurazizah
Aktivis Muslimah
0 Komentar