Topswara.com -- Kasus Filisida maternal (Ibu membunuh anaknya) kembali terulang. Kali ini terjadi di Banjaran, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Korbannya adalah seorang Ibu berinisial EN berusia 34 tahun beserta kedua buah hatinya.
Psikolog Klinis Forensik, Kasandra Putranto menyebutkan ada beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya kasus Filisida. Diantaranya, pertama, faktor psikologis seperti depresi, stress dan gangguan mental lainnya.
Kedua, faktor sosial dan ekonomi terutama utang keluarga yang menimbulkan rasa malu, tekanan sosial hingga perasaan gagal sebagai istri dan ibu. Ketiga, minimnya dukungan kesehatan mental dan akses layanan mental.
Hal ini menunjukkan kalau kasus Filisida tidak bisa dipandang hanya dari sisi kriminal saja, tetapi juga sebagai refleksi kegagalan sistem kesehatan mental. (MetrotvNews.com, 9/9/2025)
Sungguh miris, kasus Filisida sering terjadi di negeri ini. Pelaku utamanya adalah Ibu terhadap anaknya, yang seharusnya menjadi pelindung. Kenapa kejadian tersebut terus berulang?
Ada banyak faktor seperti perubahan hormonal pasca melahirkan dan merawat bayi, sehingga menimbulkan baby blues berkepanjangan, stress, ketidak harmonisan dengan pasangan, hingga korban KDRT suami. Puncaknya, anaknya sebagai pelampiasan emosi.
Dalam kasus EN, penyebab utama melakukan Filisida adalah faktor ekonomi, hutang banyak yang tidak kunjung lunas, sehingga membuatnya gelap mata menghabisi nyawa buah hatinya kemudian dia juga bunuh diri. Sistem Kapitalisme memang telah mencabut hati nurani Ibu, yang sejatinya memiliki sifat kasih sayang kepada anak-anaknya.
Hal ini menunjukkan gagalnya sistem Kapitalisme dalam memberikan jaminan kesejahteraan kepada rakyat, terutama kaum ibu. Negara abai dalam tanggungjawabnya mengurusi rakyat, yaitu memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan.
Selain itu, asas sekularisme telah memadamkan fitrah keibuan, menggoyahkan bangunan keluarga, serta hilangnya ketakwaan dalam diri ibu.
Seorang ibu telah meminggirkan peran agama sebagai pondasi keluarga. Akhirnya, mengambil jalan pintas untuk mengatasi gejolak masalah yang dialaminya, tega membunuh anaknya.
Oleh karena itu, tidak cukup hanya dengan rehabilitas kejiwaan pelakunya, melainkan butuh peran negara dalam mencabut akarnya secara sistematis.
Semua permasalahan akan menemukan jalan keluarnya jika menerapkan sistem Islam. Tidak akan muncul kasus Filisida. Sebab, sistem Islam mengatur fungsi Ibu dengan sempurna dan ditopang oleh peran suami, kepeduliaan masyarakat dan dorongan negara dalam pelaksanaannya.
Allah berfirman dalam Al Qur'an yang artinya " Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para Ibu dengan cara ma'ruf.” (TQS. Al Baqarah: 233)
Jika suami tidak mampu lagi untuk memenuhi kewajiban mencari nafkah, misalnya karena kondisi kesehatan atau telah meninggal dunia maka kewajiban menafkahi Ibu beralih pada walinya. Yaitu ayah, paman, dan saudara laki-lakinya dari jalur ayah.
Jika walinya tidak ada maka tanggungjawab untuk menafkahi Ibu diambil alih negara. Negara akan menanggung nafkah Ibu dengan biayanya mengambil dari baitul mal.
Berdasarkan kisah mengharukan di masa Khalifah Umar Bin Khattab, adalah ketika sang Amirul Mukminin memanggul sendiri gandum yang beliau ambil dari Baitul Mal untuk diberikan kepada seorang Ibu dan anak-anaknya yang sedang kelaparan.
Begitulah cara Islam menjaga naluri Ibu agar tetap berada pada fitrahnya. Kepedulian sistem Islam terhadap naluri atau fitrah seorang Ibu bisa terwujud karena Islam memiliki sistem ekonomi dan pendidikan yang sempurna berasal dari Allah SWT.
Sistem Islam menjamin kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Tersebar merata bagi penduduk daulah tanpa kecuali. Baik itu anak-anak atau dewasa, muslim maupun kafir.
Dengan penerapan sistem Islam secara kaffah dalam Daulah Khilafah, maka kaum Ibu akan sehat jiwa dan raganya. Sehingga menyayangi anak-anaknya, mengasuh serta mendidiknya dengan sepenuh hati. Sehingga terwujudlah generasi Islam yang cemerlang.
Wallahu a'lam bis shawab.
Oleh: Devi Anna Sari
Muslimah Peduli Generasi
0 Komentar