Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Job Fair Gagal, Vokasi Mandek, Solusi Ada pada Ekonomi Islam


Topswara.com -- Fenomena krisis tenaga kerja global kembali menjadi sorotan. Negara-negara besar seperti Inggris, Prancis, Amerika Serikat, bahkan Cina yang selama ini dianggap sebagai mesin pertumbuhan dunia, kini dihantui oleh meningkatnya angka pengangguran. 

Lebih ironis lagi, muncul fenomena "pura-pura kerja" atau bahkan "kerja tanpa digaji", hanya demi sekadar dianggap bekerja. Di Indonesia, meskipun data resmi menunjukkan penurunan tingkat pengangguran nasional, fakta di lapangan menunjukkan generasi muda justru menjadi kelompok terbesar yang menganggur. 

Setengah dari jumlah pengangguran di negeri ini adalah anak muda yang notabene merupakan tulang punggung bangsa.

Kapitalisme dan Kegagalan Menyediakan Lapangan Kerja

Krisis tenaga kerja yang kini melanda dunia menunjukkan rapuhnya sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ini digadang-gadang mampu menciptakan kesejahteraan melalui mekanisme pasar dan pertumbuhan ekonomi. 

Namun realitas justru menunjukkan sebaliknya. Kapitalisme gagal menyediakan lapangan kerja yang layak bagi rakyatnya.

Dalam logika kapitalisme, tenaga kerja hanyalah salah satu faktor produksi yang nilainya ditentukan oleh hukum permintaan dan penawaran. Pengusaha hanya akan merekrut tenaga kerja ketika dianggap menguntungkan. 

Jika dianggap membebani, maka pengangguran massal menjadi konsekuensi. Akibatnya, masyarakat terutama anak muda terjebak dalam lingkaran setan: sulit mencari kerja, sementara kebutuhan hidup kian mendesak.

Lebih dari itu, kapitalisme mendorong konsentrasi kekayaan di tangan segelintir elit. Di Indonesia, menurut data Celios, kekayaan 50 orang terkaya setara dengan kepemilikan 50 juta rakyat. 

Artinya, satu orang konglomerat bisa menguasai sumber daya yang sama dengan sejuta orang. Inilah wajah kapitalisme: menciptakan jurang ketimpangan yang semakin lebar. 

Di saat segelintir orang menikmati kekayaan berlimpah, jutaan pemuda harus berjuang keras sekadar untuk memperoleh pekerjaan layak.

Negara yang Lepas Tangan

Masalah pengangguran makin parah karena negara dalam sistem kapitalisme cenderung melepaskan tanggung jawabnya. Negara didorong untuk berperan sebagai regulator, bukan pengurus langsung urusan rakyat. 

Solusi yang ditawarkan pun bersifat tambal sulam: mengadakan job fair, membuka program vokasi, hingga menggencarkan pelatihan keterampilan. 

Namun kenyataannya, dunia industri sendiri sedang dilanda badai pemutusan hubungan kerja (PHK). Bagaimana mungkin job fair menjadi solusi, jika perusahaan justru mengurangi tenaga kerja?

Demikian pula dengan sekolah vokasi. Harapan awalnya, lulusan vokasi lebih siap kerja. Akan tetapi, fakta menunjukkan banyak lulusan vokasi justru menganggur. Hal ini mempertegas bahwa persoalan pengangguran bukan sekadar persoalan kualitas tenaga kerja, melainkan kegagalan sistem kapitalisme dalam menyediakan lapangan kerja yang adil dan merata.

Kapitalisme Menyisakan Masalah Struktural

Selama kapitalisme yang rusak ini masih dipakai, masalah pengangguran akan terus menghantui. Mengapa? Karena orientasi kapitalisme secara struktural hanya pada keuntungan segelintir pemilik modal. 

Tenaga kerja diperlakukan sebagai komoditas, bukan manusia yang memiliki hak untuk sejahtera. Akibatnya, generasi muda yang seharusnya menjadi penggerak peradaban justru menjadi korban utama.

Fenomena ini sejalan dengan sabda Rasulullah ï·º:

"Seorang imam (khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat, dan dia akan dimintai pertanggung jawaban atas rakyatnya." (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Hadis ini menegaskan bahwa penguasa memiliki kewajiban mengurus rakyat, termasuk menyediakan lapangan kerja dan menjamin kesejahteraan. Tugas ini tidak boleh dilepaskan kepada mekanisme pasar sebagaimana praktik dalam sistem kapitalisme.

Islam sebagai Solusi Alternatif

Islam hadir dengan paradigma yang berbeda. Sistem ekonomi Islam tidak menempatkan tenaga kerja sebagai komoditas, melainkan sebagai manusia yang memiliki hak untuk memperoleh penghidupan layak. Negara dalam Islam memiliki peran sentral sebagai raa’in (pengurus) bagi rakyatnya.

Pertama, negara Islam wajib memfasilitasi rakyat agar memperoleh pekerjaan. Caranya beragam: menyediakan pendidikan berkualitas, memberikan bantuan modal, mengembangkan sektor industri dan pertanian, serta mendistribusikan tanah produktif kepada rakyat yang mampu mengelolanya. Dengan begitu, rakyat memiliki banyak pintu untuk bekerja dan berkontribusi.

Kedua, Islam memiliki mekanisme distribusi kekayaan yang adil. Kekayaan tidak boleh terkonsentrasi hanya pada segelintir elit, sebagaimana ditegaskan Allah ï·»:

"Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu." (QS. al-Hasyr [59]: 7)

Ayat ini menjadi dasar bahwa Islam menolak ketimpangan ekstrem. Negara bertugas memastikan kekayaan berputar secara luas melalui kebijakan kepemilikan, pengelolaan sumber daya alam untuk rakyat, serta sistem zakat, infaq, dan sedekah.

Ketiga, sistem pendidikan dalam Islam dirancang tidak hanya untuk mencetak lulusan siap kerja, tetapi juga melahirkan generasi yang memiliki kompetensi sesuai bidangnya. 

Pendidikan bukan sekadar menyiapkan buruh bagi industri kapitalis, melainkan membentuk manusia berkepribadian Islam, berilmu, dan mampu berkarya bagi peradaban.

Khatimah 

Sesungguhnya krisis tenaga kerja global yang menjerat anak muda saat ini bukan sekadar persoalan teknis lapangan kerja semata, melainkan dampak dari sistem kapitalisme yang rusak. 

Sistem ini gagal menyediakan kesejahteraan, justru menciptakan pengangguran massal, ketimpangan kekayaan, dan ketidakpastian hidup bagi generasi muda.

Islam menawarkan solusi yang komprehensif: negara sebagai pengurus rakyat, distribusi kekayaan yang adil, serta pendidikan yang membentuk SDM berkualitas. Inilah satu-satunya sistem yang mampu memastikan anak muda tidak lagi menjadi korban krisis, tetapi justru menjadi motor peradaban yang gemilang.

Kesejahteraan sejati hanya dapat terwujud jika kapitalisme ditinggalkan dan Islam diterapkan secara menyeluruh dalam kehidupan. Sebab, hanya dengan Islam, janji Allah akan terwujud:

"Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit..." (QS. Thaha [20]: 124).

Sebaliknya, jika manusia menerapkan aturan Allah, maka kehidupannya tentu menjadi berkah dan sejahtera.


Oleh: Ema Darmawaty 
Praktisi Pendidikan 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar