Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Filisida Maternal, Ketika Sistem Rusak Merenggut Kasih Ibu


Topswara.com -- Tragedi demi tragedi terus menyayat nurani bangsa. Baru-baru ini, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyoroti kasus memilukan yang terjadi di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, di mana seorang ibu mengakhiri hidupnya setelah diduga meracuni dua anaknya sendiri. 

Tak lama berselang, insiden serupa terjadi di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Dua anak perempuan ditemukan tewas di pantai, sementara sang ibu, VM (31), ditemukan bersembunyi tak jauh dari lokasi kejadian. Peristiwa semacam ini dikategorikan sebagai filisida maternal, yakni pembunuhan anak oleh ibu kandungnya.

Tindakan ini jelas bukan hal yang wajar. Dalam kodrat alami manusia, terlebih seorang ibu, kasih sayang terhadap anak adalah naluri yang sangat kuat. 

Maka ketika seorang ibu justru menjadi algojo bagi buah hatinya sendiri, sudah tentu ada sesuatu yang rusak bukan hanya dalam diri individu tersebut, tetapi dalam sistem kehidupan yang membentuk dan memengaruhinya.

Melihat Akar Masalah: Bukan Sekadar Kegagalan Pribadi

Kita tidak bisa begitu saja menyalahkan sang ibu tanpa menelusuri akar dari tragedi ini. Dalam banyak kasus filisida maternal, pelakunya mengalami tekanan psikologis yang sangat berat entah karena himpitan ekonomi, masalah rumah tangga yang tak kunjung selesai, atau ketiadaan dukungan sosial yang memadai. 

Namun, akar dari semua itu sebenarnya bisa ditelusuri lebih dalam sebagai produk dari sistem kehidupan yang cacat.

Sistem hari ini memaksa perempuan termasuk ibu rumah tangga untuk memikul beban ganda. Selain mengurus rumah dan anak-anak, mereka juga dituntut untuk turut mencari nafkah karena mahalnya biaya hidup, pendidikan, dan kesehatan. 

Negara seolah abai terhadap fungsi utama seorang ibu, dan masyarakat pun menganggap wajar ketika perempuan harus bekerja dari pagi hingga malam untuk sekadar bertahan hidup. 

Dalam tekanan yang terus-menerus seperti itu, tak sedikit perempuan yang mengalami kelelahan mental (burnout), depresi pascamelahirkan (postpartum depression), hingga gangguan kejiwaan serius.

Pertanyaannya, apakah tragedi seperti ini akan terus dianggap sebagai kasus individual? Ataukah sudah waktunya kita mempertanyakan sistem yang membiarkan para ibu terpuruk tanpa perlindungan?

Islam, Ideologi yang Menghargai Peran Ibu

Dalam Islam, peran ibu sangat dimuliakan. Rasulullah ï·º bersabda ketika ditanya siapa yang paling berhak mendapat perlakuan baik, beliau menjawab:
“Ibumu.”
Lalu siapa?
“Ibumu.”
Lalu siapa?
“Ibumu.”
Lalu siapa?
“Ayahmu.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menunjukkan betapa besar kedudukan seorang ibu di mata Islam. Islam tidak sekadar menyanjung ibu dengan kata-kata, melainkan menyediakan sistem kehidupan yang memungkinkan ibu untuk benar-benar menjalankan perannya secara ideal sebagai pendidik generasi, penjaga rumah, dan pelindung moral keluarga.

Dalam syariat Islam, Ibu tidak diwajibkan mencari nafkah. Kebutuhan ekonominya dijamin oleh suami atau wali. Kesehatannya dijaga dengan keringanan seperti boleh tidak berpuasa saat hamil dan menyusui (QS. Al-Baqarah: 184-185).

Negara wajib menjamin kebutuhan dasar masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, dan sandang pangan, secara cuma-cuma (gratis) dan berkualitas.

Sistem Islam yang paripurna (berbasis khilafah) mengatur relasi sosial dan ekonomi dengan adil. Negara akan memastikan bahwa suami mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang layak, dan perempuan diberikan ruang untuk fokus pada peran keibuannya tanpa harus terbebani mencari nafkah. 

Ini bukan berarti membatasi perempuan, tetapi justru memberikan perlindungan agar peran alaminya sebagai ibu tidak terganggu oleh tekanan struktural yang merusak jiwa.

Sistem Rusak, Ibu Terluka

Tragedi filisida maternal bukanlah tanda dari hilangnya naluri keibuan secara tiba-tiba, melainkan gejala dari luka mendalam yang diderita oleh para ibu akibat sistem kehidupan yang kejam. Kapitalisme, sebagai sistem global yang dominan hari ini, memandang manusia semata sebagai alat produksi dan konsumsi. 

Maka jangan heran jika banyak ibu yang kehilangan rasa hidup, karena eksistensi mereka hanya dinilai dari seberapa produktif mereka secara ekonomi, bukan dari kontribusi mereka dalam membentuk generasi.

Sistem ini tidak menyediakan solusi, hanya menyalahkan individu dan mengobati luka dengan plester, bukan mengangkat akar 
masalahnya.

Saatnya Kembali kepada Islam sebagai Solusi Sistemis

Kasus filisida maternal harus menjadi alarm keras bagi kita semua bahwa sistem kehidupan hari ini gagal melindungi yang paling lemah. Islam hadir bukan hanya sebagai agama spiritual, tetapi sebagai ideologi yang mengatur seluruh aspek kehidupan — termasuk perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak. 

Allah berfirman:
“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun…”
(QS. Luqman: 14).

Ayat ini menegaskan bahwa perjuangan seorang ibu adalah hal yang agung, dan karenanya ia berhak mendapatkan perhatian dan perlindungan yang maksimal dari keluarga, masyarakat, dan negara.

Khatimah

Kasus-kasus filisida maternal tidak akan berhenti hanya dengan slogan “perempuan berdaya” atau kampanye kesehatan mental yang bersifat permukaan. Solusi sejati hanya akan lahir ketika kita memiliki sistem kehidupan yang sehat, yang membangun masyarakat atas dasar ketaatan kepada Allah dan keadilan sosial yang hakiki.

Saatnya umat Islam membuka mata bukan hanya berduka, tetapi juga berpikir: apakah sistem ini layak dipertahankan, atau sudah saatnya kita kembali kepada Islam sebagai satu-satunya solusi?

Wallahu a'lam bishshawab.


Oleh: Ema Darmawaty 
Praktisi Pendidikan 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar