Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Beda Antara Dewan Perwakilan Rakyat dengan Majelis Syura


Topswara.com -- People power, mungkin inilah kalimat yang tepat menggambarkan situasi politik panas negeri ini. Suara-suara rakyat yang mulai menggeliat, bergema di sepanjang jalan selama berhari-hari menyuarakan ketidakadilan dari kebijakan yang dikeluarkan oleh para pemangku kebijakan. 

Rakyat yang selama ini banyak mengalah, tetap taat membayar pajak, dipaksa bergerak karena terlalu gerah dengan kebijakan yang makin mencekik, terlebih lagi respon para pemangku kebijakan yang arogan dalam mengeluarkan statement mereka, memancing amarah rakyat yang sudah menderita dengan kebijakan yang diterapkan.

Salah satu kebijakan yang memantik berbagai aksi protes dari berbagai kalangan masyarakat adalah kenaikan tunjangan anggota DPR ditengah kondisi ekonomi masyarakat yang sulit. Tidak heran, jika gelombang demonstrasi menggema di berbagai wilayah. 

Untuk meminimalisir suhu politik yang memanas, pemerintah pusat akhirnya mengalah dan membatalkan kenaikan tunjangan anggota dewan. 

Pemerintah bersama DPR sepakat untuk membatalkan kenaikan tunjangan anggota dewan dan mengalihkannya ke sektor Pendidikan yang dinilai lebih mendesak yakni penambahan insentif guru honorer (sewaktu.id, 4/09/2025).

Sudah sepatutnya pemerintah membatalkan kenaikan tunjangan anggota dewan ini, karna kita ketahui bersama, tanpa ada kenaikan tunjangan pun, gaji yang mereka dapatkan lebih dari cukup dan diambil dari APBN ataupun APBD. 

Sementara rakyat dibebani dengan pajak dari semua lini, dengan batasan pendapatan Upah Minimum Regional. 

Namun, yang lebih menyayat hati adalah gaji yang sudah dijamin oleh negara seolah-olah tak cukup membiayai gaya hidup para anggota dewan ini, sehingga tak sedikit dari mereka dan para pejabat publik yang diamanahi mengurus kepentingan rakyat melakukan tindakan korupsi yang merugikan negara dan rakyatnya. 

Bak sudah jatuh, tertimpa tangga pula! Rakyat merana dengan tekanan pajak, para anggota dewan dan pejabat dibiayai oleh uang setoran rakyat, tetapi kemakmuran hanya beredar ditengah mereka saja, tidak dengan rakyatnya. Dan lagi-lagi, mereka menyiksa hati rakyat dengan melakukan korupsi uang rakyat yang sudah diperas habis-habisan. 

Realita hari ini sungguh berbeda dengan masa kepemimpinan Islam. Teringat pada ucapan seorang pemimpin sejati, Umar bin Khattab Ra yang pernah berkata kepada rakyatnya “Akulah sejelek-jelek kepala Negara apabila aku kenyang, sementara rakyatku kelaparan”. 

Umar dikenal sebagai Amirul Mukminin yang sangat bertanggung jawab kepada rakyatnya, dan beliau selalu memposisikan dirinya sebagai pelayan rakyat walaupun beliau berkuasa, karena memahami kepemimpinannya akan dihisab oleh Allah SWT. 

Makin banyak yang mengadu terzalimi, maka semakin berat hisabnya di akhirat. Kekuasaanya dijadikan sebagai alat untuk memenuhi perintah Allah dan RasulNya dalam mengurus dan menyejahterakan rakyatnya. 

Namun saat ini, kekuasaan seperti alat cambuk yang berguna untuk menakuti dan membatasi rakyatnya. Dalam konsep Islam, selain Negara memiliki pemimpin dan para wazir (setingkat mentri), ada juga Majelis Syura yang bukan bagian dari kekuasaan, namun memiliki peran strategis sebagai pengoreksi kebijakan dan memastikan jalannya pemerintahan sesuai hukum syarak. 

Para anggota Majelis Syura ini berasal dari berbagai lapisan, mulai dari para ulama, cendekiawan, para ahli dari berbagai bidang, dan perwakilan masyarakat dari berbagai wilayah. Kehadiran mereka dipilih bukan sebagai pegawai negara yang digaji, melainkan sebagai penyambung lidah kepentingan rakyat kepada penguasa. 

Adapun fasilitas yang mereka dapatkan sebagai anggota Majelis Syura, tidak ada bedanya dengan hak dan fasilitas yang didapat warga negara pada umumnya. 

Mereka menjadi anggota majelis bukan sebagai profesi, sehingga tidak ada tuntutan untuk mendapatkan gaji dari pekerjaanya, mereka adalah orang-orang Istimewa yang dipilih oleh rakyat berdasarkan track record kompetensi dan pengabdiannya.

Anggota Majelis Syura tidak dituntut untuk melegislasi UU, tugas utama mereka adalah menyampaikan aspirasi, mengoreksi kebijakan jika menyelewang dari syariat. Pondasi utamanya adalah hukum syara, bukan suara terbanyak manusia. 

Fungsi majelis syura ini tentu berbeda dengan fungsi anggota dewan dalam mekanisme demokrasi saat ini. Perbedaan ini lahir karena landasan, tujuan, dan sistem hidupnya yang tidak sama. Dalam demokrasi, anggota dewan digaji fantastis dan bertugas sebagai legislator. 

Sedangkan dalam Islam, Majelis Syura sebagai pengoreksi dan penyampai aspirasi saja. Semua mekanismenya dilandasi hukum syara dan bersumber dari keimanan semata yang menempatkan rakyat sebagai amanah yang akan diminta pertanggungjawabannya di pengadilan Allah SWT. 

Ketika asasnya beda, dapat dipastikan tugas dan mekanismenya akan berbeda pula, dan akhir ceritanya pun jelas akan berbeda. Keindahan mekanisme ini hanya akan bisa dilihat ketika Islam diposisikan sebagai sistem hidup yang membentuk peradaban. 


Oleh: Sheila Nurazizah 
Aktivis Muslimah 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar