Topswara.com -- Kemajuan teknologi digital seharusnya menjadi peluang untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Namun, di balik berbagai manfaat yang ditawarkan, dunia digital juga menyimpan potensi ancaman yang serius, khususnya bagi perempuan dan anak-anak.
Tidak dapat disangkal, anak-anak semakin akrab dengan gawai sejak usia dini. Mereka berselancar dalam platform media sosial tanpa pengawasan ketat dan sejatinya belum tentu ramah untuk usia mereka. Hal tersebut juga dialami perempuan yang menghadapi risiko besar di ruang siber.
Pelecehan, ancaman, penyebaran data pribadi, hingga kekerasan seksual berbasis digital menjadi fenomena yang makin marak. Dan tragisnya, banyak dari kasus itu tak pernah sampai ke meja hukum.
Roblox merupakan salah satu platform game online yang sedang ramai dimainkan mulai dari orang dewasa hingga anak-anak. Melansir dari CNN Indonensia, salah satu risiko memainkan game ini adalah maraknya pedofil atau predator anak.
Polda Kaltim melalui Satuan Tim Siber berhasil mengamankan seorang pria asal Balikpapan yang diduga menjadi predator anak lintas negara. Pelaku berinisial AMZ diringkus karena melakukan pengancaman dan pemerasan seksual atau sextortion terhadap seorang anak perempuan berusia 15 tahun di Swedia.
Modusnya adalah dengan menjalin komunikasi intensif melalui berbagai platform digital, termasuk gim online Roblox untuk membangun kepercayaan sebelum akhirnya melakukan pengancaman dan pemerasan 16/7/25 (Tribrata News).
Fenomena tersebut merupakan bukti dari rusaknya dunia digital saat ini yang terang benderang dalam hal kemajuan teknologi, tetapi redup dalam hal perlindungan. Anak-anak diajarkan untuk mahir dalam menggunakan teknologi, tetapi tidak diajarkan bagaimana menjaga diri dari bahaya digital.
Demikian pula perempuan yang hidup dalam sistem yang membebaskan eksploitasi tubuh atas nama ekspresi, lalu ditinggalkan ketika menjadi korban di ruang maya. Faktor yang melatarbelakangi hal tersebut adalah rendahnya literasi digital, serta lemahnya ketahanan moral akibat sistem pendidikan yang sekuler dan materialistik.
Di sisi lain, negara seolah enggan menaruh perhatian serius pada keselamatan rakyatnya di ruang digital karena digitalisasi hanya dipandang semata dari kacamata ekonomi.
Penggunaan teknologi yang tidak disertai ilmu dan iman kini telah menampakkan konsekuensinya. Realita ini tak bisa dilepaskan dari sistem pendidikan sekuler yang menghilangkan peran agama dalam membentuk karakter, serta sistem kehidupan kapitalistik yang menjadikan teknologi sebagai alat akumulasi keuntungan.
Perlindungan hanya diberikan secara normatif melalui kebijakan yang tidak aplikatif dan seringkali tidak berpihak pada korban. Padahal, bahaya yang mengintai jauh lebih besar daripada yang terlihat.
Penguasaan dunia siber oleh korporasi global dan negara-negara adidaya telah menjelma menjadi bentuk penjajahan baru. Melalui algoritma dan dominasi platform digital, mereka dapat memengaruhi opini publik bahkan mengintervensi arah kebijakan negara.
Oleh karena itu, sebuah negara perlu memiliki landasan nilai yang kokoh dalam merumuskan kebijakan teknologi dan informasi.
Sebuah paradigma yang tidak semata-mata berorientasi pada keuntungan, tetapi bertumpu pada tanggung jawab negara dalam memastikan ruang siber terbebas dari konten yang merusak dan menjamin perlindungan terhadap perempuan dan anak.
Di sinilah pentingnya kembali menjadikan prinsip-prinsip Islam sebagai dasar dalam merumuskan arah pembangunan digital.
Islam memandang negara tidak hanya sebagai pengatur urusan publik, tetapi juga sebagai perisai yang melindungi masyarakat dari berbagai bentuk ancaman baik fisik maupun non-fisik.
Negara bertanggung jawab memastikan keamanan informasi, menutup akses terhadap konten yang merusak moral, dan mengarahkan teknologi agar menjadi sarana dakwah, pendidikan, serta membangun peradaban.
Jika negara ingin menciptakan ruang digital yang aman, maka sudah saatnya kita mengkaji kembali sistem yang selama ini kita jalani. Sebab perlindungan siber hanya akan lahir dari sistem pemerintahan yang menjadikan Islam sebagai sumber solusi, yakni khilafah yang telah terbukti menjamin perlindungan dan keamanan umat selama berabad-abad.
Oleh: Mutiara Putri
Aktivis Mahasiswa
0 Komentar