Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pajak Sama dengan Zakat: Narasi Sesat Kapitalisme


Topswara.com -- Beberapa waktu lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani kembali membuat pernyataan kontroversial. Ia menyebut bahwa kewajiban pajak sama dengan zakat dan wakaf. 

Pernyataan itu jelas bukan sekadar slip of tongue. Ucapan ini dilontarkan di saat penerimaan pajak negara sedang seret, sementara kebutuhan APBN terus membengkak. Seakan-akan dengan membayar pajak, rakyat sedang beribadah, sama nilainya dengan menunaikan zakat atau berwakaf.

Namun, jika ditelusuri lebih jauh, klaim ini sejatinya hanyalah narasi sesat yang lahir dari rahim kapitalisme. Pajak dalam sistem kapitalisme memang dijadikan tulang punggung ekonomi negara, sementara zakat dan wakaf adalah ibadah murni yang diatur langsung oleh syariat Islam. 

Menyamakan keduanya sama saja dengan mengaburkan hakikat pajak yang selama ini justru menjadi beban berat bagi rakyat.

Kita bisa melihat kenyataannya. Pemerintah terus mencari cara menaikkan penerimaan negara dengan mengutak-atik objek pajak. Pajak warisan, pajak karbon, bahkan rumah ketiga pun disasar. Targetnya tidak tanggung-tanggung, mencapai Rp388 triliun (CNN Indonesia, 12/08/2025). 

Sementara itu, pajak yang sudah ada, seperti PBB, naik berkali lipat hingga membuat rakyat menjerit (BBC Indonesia, 15/08/2025). Namun hasilnya tetap jauh dari cukup. Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu bahkan mengakui, tantangan pajak pada 2026 akan semakin berat karena kepatuhan masyarakat menurun dan ruang fiskal makin sempit (CNBC Indonesia, 15/08/2025).

Narasi penyamaan pajak dengan zakat atau wakaf pun akhirnya dimainkan untuk menekan psikologis rakyat agar patuh. Padahal, rakyat sudah lama merasakan ketidakadilan dari sistem ini. Pajak terus dinaikkan, pajak baru terus ditambah, tetapi kehidupan mereka tak kunjung membaik. 

Sebaliknya, para kapitalis besar justru mendapat fasilitas istimewa berupa tax holiday, tax amnesty, hingga berbagai regulasi yang berpihak pada kepentingan mereka.

Inilah wajah asli kapitalisme: negara menjadikan rakyat sebagai sumber pemasukan utama, sementara kekayaan alam yang seharusnya dikelola untuk kesejahteraan rakyat malah diserahkan kepada korporasi besar, baik asing maupun lokal. 

Negara kehilangan sumber pendapatan strategis, sehingga rakyat dipaksa menanggung beban melalui pajak. Akibatnya, rakyat kecil semakin tercekik, sementara segelintir pemodal besar semakin kaya.

Tak heran jika survei Bank Dunia menunjukkan sekitar 40 persen masyarakat enggan patuh pajak (ddtc.co.id, 17/12/2024). 

Mereka merasa terbebani sekaligus tidak percaya pajak digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Nyatanya, dana pajak lebih banyak dialokasikan untuk membayar utang luar negeri atau membiayai proyek-proyek infrastruktur yang lebih menguntungkan kapitalis ketimbang rakyat kecil.

Pajak dalam kapitalisme sesungguhnya adalah instrumen zalim: memindahkan harta dari kantong rakyat miskin ke tangan orang kaya.

Berbeda jauh dengan Islam. Islam tidak pernah menyamakan pajak dengan zakat atau wakaf. Ketiganya memiliki hukum, fungsi, dan kedudukan yang sangat berbeda. 

Zakat adalah kewajiban ibadah yang dikenakan hanya pada Muslim kaya dengan harta yang mencapai nisab dan haul. Penerimanya jelas, hanya delapan golongan sebagaimana tercantum dalam QS At-Taubah ayat 60. 

Zakat adalah mekanisme distribusi kekayaan yang adil dan penuh berkah, bukan instrumen negara untuk menambal defisit. Wakaf hukumnya sunnah, bukan kewajiban. Ia adalah amal jariyah sukarela yang pahalanya terus mengalir. 

Wakaf berfungsi memperkuat layanan sosial umat, dari pendidikan, kesehatan, hingga pembangunan infrastruktur publik, semuanya dikerjakan atas dasar kesadaran dan keikhlasan, bukan paksaan.

Adapun pajak dalam Islam hanya bersifat temporer. Ia dipungut dari Muslim kaya, itu pun hanya ketika baitulmal benar-benar kosong dan ada kebutuhan mendesak yang sudah ditentukan syariat. Pajak bukan sumber utama keuangan negara, apalagi diposisikan permanen sebagaimana kapitalisme.

Sumber keuangan negara dalam Islam jauh lebih kokoh. Negara mengelola kekayaan alam sebagai milik umum yang tidak boleh diserahkan kepada swasta. Dari sinilah negara memperoleh pemasukan besar yang bisa digunakan untuk menyejahterakan rakyat. 

Selain itu, ada pemasukan dari fai’, jizyah, kharaj, ghanimah, dan tentu saja zakat. Dengan model ini, negara tidak perlu bergantung pada pajak, apalagi sampai membebani rakyat miskin.

Maka, jelaslah bahwa narasi yang menyamakan pajak dengan zakat dan wakaf hanyalah ilusi untuk menutupi wajah buruk kapitalisme. Zakat adalah ibadah yang membawa keberkahan, sementara pajak kapitalis adalah instrumen pemerasan yang menambah kesengsaraan.

Selama negeri ini masih tunduk pada kapitalisme, rakyat akan terus menjadi korban. Beban pajak akan terus bertambah, sementara manfaatnya tidak pernah benar-benar kembali kepada mereka. Islam kaffah hadir sebagai solusi nyata. 

Dengan syariat yang diterapkan secara total dalam institusi khilafah, kekayaan alam dikelola untuk rakyat, zakat dan wakaf berfungsi sebagaimana mestinya, dan pajak hanya berlaku dalam kondisi darurat.

Narasi sesat kapitalisme ini harus diluruskan. Pajak bukan zakat. Pajak bukan wakaf. Pajak adalah beban untuk rakyat yang diciptakan oleh kapitalisme, sementara zakat dan wakaf adalah syariat Allah yang membawa keberkahan. 

Sudah cukup lama rakyat hidup dalam sistem yang zalim ini. Kini saatnya kembali pada aturan Allah, satu-satunya sistem yang mampu menghadirkan kesejahteraan nyata dan keberkahan hidup.[]


Oleh: Zahida Ar-Rosyida
(Aktivis Muslimah Banua)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar