Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Bukan Salah Media Sosial, Tetapi Fondasi Hidup


Topswara.com -- Beberapa hari lalu, Kompas mengangkat persoalan PP TUNAS yang baru dirilis pemerintah, tepatnya tanggal 6 Desember 2025. Intinya, aturan ini dibuat untuk menjaga anak-anak dari bahaya dunia digital cyberbullying, konten porno, dan segala hal yang dianggap “nggak ramah anak”. Akhirnya “turun tangan”.

Tetapi kalau melihat realita sehari-hari, masalahnya tidak sesederhana “karena anak dikasih HP, terus jadi rusak”. 

Banyak anak sekarang memang mudah sekali terpapar konten-konten aneh, gampang terpancing bully-an, dan bahkan bisa stres berat cuma gara-gara hal-hal yang awalnya kecil. Ada juga yang sampai bunuh diri karena mentalnya udah rapuh duluan, terus medsos membuat luka itu biar semakin perih.

Terkadang lucu juga kalau semua kesalahan langsung dilempar ke social media. Seolah-olah kalau IG, TikTok, dan segala platform ditutup buat anak-anak, hidup langsung beres.

Padahal kalau mau jujur, medsos itu bukan sumber masalah. Dia hanya amplifikasi. Seperti pengeras suara. Kalau memang dalam diri dan lingkungannya sudah penuh kekosongan, ya semakin kedengeran gaduhnya.

Akar masalahnya? Ya sistem hidup yang sekarang membentuk kita semua. Sistem yang bikin orang lebih mengejar materi dari apa pun, yang membuat anak-anak tumbuh tanpa pondasi kuat antara benar dan salah, dan yang bikin nilai agama hanya jadi tempelan. 

Anak-anak jadi mudah resah, mudah goyah, mudah merasa sendirian. Di dunia yang serba bebas tetapi tidak memberikan arah.

Dan di tengah kondisi seperti ini, PP TUNAS hanya seperti nambal bocor pake selotip. Ada gunanya memang tetapi tidak sampai ke akar. Pembatasan akses, filter konten, verifikasi usia, tetapi itu hanya teknisnya saja, bukan bangun manusianya.

Padahal yang paling dibutuhin bukan hanya nge-rem akses, tetapin membuat anak-anak punya benteng dari dalam. Bukan hanya diawasi, tetapi dibentuk. 

Dalam Islam, medsos itu hanya produk teknologi alat, netral. Yang membuat bahaya itu bukan aplikasinya, tetapi cara berpikir dan nilai yang ada di kepala penggunanya. Karna itu kalau negara hanya fokus di “blokir ini, batasi itu”, yang muncul hanya solusi instan.

Sedangkan yang dibutuhkan itu sistem yang sejak awal mengajarkan anak cara bepikir yang benar, iman yang kuat, karakter yang kokoh. Kalau negara benar-benar menerapkan syariat Islam dalam pendidikan, dalam aturan sosial, bahkan dalam sistem politik, anak-anak akan tumbuh di lingkungan yang suportif, jelas arahnya, dan sehat. Bukan hanya dikurung dari konten negatif.

Oleh karena itu, butuh semua pihak agar ini terjadi. Orang tua, masyarakat, sekolah, sampai negara. Biar tidak hanya mengeluh soal anak rusak karena gadget, tetapi sama-sama sadar bahwa masalahnya lebih dalam dari sekedar layar 6 inci itu.


Oleh: Nilam Astriati 
Aktivis Muslimah 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar