Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Mikul Karung, Lupa Mikul Amanah


Topswara.com -- Pemandangan Pak Menteri yang turun ke lokasi banjir di Sumatra sambil memikul karung bantuan memang sekilas terlihat heroik. Bahkan ada yang memuji sebagai aksi “turun tangan langsung” demi rakyat. 

Tapi jujur saja, sob, di era demokrasi penuh pencitraan seperti sekarang, adegan itu lebih mirip konten good will ala pejabat bukan solusi nyata atas kerusakan yang sedang terjadi.

Sebab persoalan utama dari bencana bukanlah siapa yang mikul karung di depan kamera, melainkan siapa yang selama ini memikul amanah untuk menjaga hutan, dan ternyata gagal.

Hutan itu tidak gundul karena ibu-ibu cari kayu bakar. Tidak rusak karena rakyat adat menanam singkong di lereng. Hutan menjadi botak karena izin diberikan kepada korporasi raksasa yang memandang pohon bukan sebagai amanah, tetapi sebagai aset yang harus ditebang sampai licin demi target produksi.

Ironisnya, masyarakat adat yang turun-temurun menjaga alam justru sering dituding menghambat proyek. Sementara korporasi yang menumbangkan ribuan hektare hutan malah digelari “investor strategis” dan disuguhi karpet merah berupa izin, perlindungan regulasi, hingga fasilitas negara.

Maka jangan heran ketika hujan turun sedikit saja, tanah yang rapuh langsung longsor. Sungai tidak lagi tertahan akar, lalu mengirim kayu gelondongan bersama arus yang menggulung rumah, hewan ternak, bahkan nyawa. 

Namun yang trending di media sosial justru foto pejabat memikul karung bantuan. Bukan laporan kerusakan hutan.
Bukan evaluasi tata kelola. Bukan audit izin yang selama ini menjadi jalan mulus eksploitasi.

Padahal kalau mau jujur, karung itu ringan. Yang berat adalah dampak dari kebijakan yang salah arah, kebijakan yang memberi ruang kepada kapital besar untuk merusak hutan tanpa konsekuensi berarti. 

Tetapi inilah wajah kapitalisme demokrasi, negara menjadi calo izin, korporasi menjadi penguasa hutan, dan rakyat menjadi penonton yang selalu menanggung akibat.

Ketika banjir menerjang, negara sibuk membagi sembako, bukan memperbaiki akar masalah. Yang disorot kamera adalah aksi kepedulian sesaat, sementara yang tenggelam adalah amanah yang seharusnya jauh lebih berat dari karung bantuan itu sendiri.

Rasulullah SAW telah mengingatkan, “Sesungguhnya kalian akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, padahal ia akan menjadi penyesalan pada Hari Kiamat.” (HR. al-Bukhari)

Hadis ini bukan sekadar nasihat moral, tapi peringatan keras bahwa jabatan adalah beban berat. Kekuasaan bukan panggung konten. Bukan arena untuk mengumpulkan simpati publik. Jabatan adalah amanah untuk menjaga rakyat, menjaga alam, menegakkan keadilan, dan memastikan setiap kebijakan sesuai dengan aturan Allah.

Namun bagaimana amanah dapat dijaga jika sistem yang menopang kekuasaan hari ini justru tunduk pada kepentingan modal? Jika suara korporasi lebih berat daripada jeritan rakyat terdampak?

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan bahwa bencana yang muncul akibat kesalahan kebijakan bukanlah sekadar musibah alam, tetapi buah dari sistem yang salah. 

Dalam Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, beliau menegaskan bahwa sumber daya alam seperti hutan, air, dan tambang adalah milik umum yang haram diprivatisasi. Negara wajib mengelola langsung demi kesejahteraan rakyat, bukan menyerahkan pada korporasi yang berorientasi profit.

Beliau menyebut, ketika negara menyerahkan kekayaan publik kepada swasta, maka negara bukan lagi penjaga, melainkan “pemberi hadiah kepada pemilik modal.” Akibatnya pasti, kerusakan lingkungan, ketimpangan ekonomi, dan bencana ekologis yang tidak terhindarkan. Ini bukan kecelakaan kebijakan, tetapi konsekuensi logis dari sistem kapitalisme itu sendiri.

Solusi Islam

Islam menawarkan jalan yang berbeda. Dalam syariat, hutan adalah milik umum, tidak boleh dijual atau diserahkan kepada perusahaan. Khalifah wajib menjaga keseimbangan alam, mengatur pemanfaatan secara berkelanjutan, dan memastikan hasilnya kembali kepada rakyat melalui pelayanan publik.

Kerusakan hutan bukan hanya masalah ekologi, tetapi pelanggaran terhadap amanah Allah. Jika saja negeri ini kembali kepada aturan Islam yang mengharamkan privatisasi sumber daya alam, mewajibkan negara menjaga hutan dan lingkungan, menjadikan syariat sebagai standar kebijakan, maka pencegahan bencana akan menjadi kebijakan permanen, bukan reaksi musiman setiap kali daerah kebanjiran.

Untuk sekarang, kita hanya bisa berharap satu hal, setelah memikul karung, semoga para pejabat tersadar bahwa amanah jauh lebih berat daripada konten viral. Karena karung itu hanya simbol bantuan, tetapi kebijakan yang salah bisa menyeret satu bangsa dalam bencana yang tak berkesudahan. []


Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar