Topswara.com -- Deretan kejahatan zionis ‘Israel’ di Gaza kembali diperlihatkan kepada dunia. Kali ini para jurnalis yang berupaya menyiarkan fakta lapangan menjadi target pembunuhan.
Padahal jurnalis adalah saksi sejarah yang mencatat tragedi kemanusiaan agar dunia mengetahui kezaliman yang sedang berlangsung. Namun, bagi rezim penjajah, nyawa para pewarta tak lebih berharga daripada peluru yang mereka tembakkan tanpa belas kasihan.
Fakta terbaru menunjukkan betapa sistematisnya aksi biadab ini. Hingga 11 Agustus 2025, jumlah jurnalis yang gugur akibat serangan Israel mencapai 274 orang, dengan 269 di antaranya warga Palestina (Wikipedia, 11/08/2025).
Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) pada 10 Agustus 2025 juga melaporkan sekitar 192 jurnalis tewas, dengan sedikitnya 184 orang di antaranya warga Palestina (Wikipedia, 10/08/2025).
Sementara Federasi Internasional Jurnalis (IFJ) mencatat pada 11 Agustus 2025 ada lebih dari 180 jurnalis dan pekerja media Palestina yang terbunuh (IFJ, 11/08/2025).
Salah satu peristiwa paling memilukan terjadi pada 10 Agustus 2025, ketika serangan udara Israel menghantam tenda wartawan di dekat Rumah Sakit Al-Shifa, Gaza City. Dalam kejadian itu, Anas al-Sharif, Mohammed Qreiqeh, Ibrahim Zaher, Mohammed Noufal, serta dua wartawan freelance, Moamen Aliwa dan Mohammed al-Khalidi, gugur syahid. Empat di antaranya adalah jurnalis resmi Al Jazeera (Al Jazeera, 11/08/2025; Washington Post, 11/08/2025).
Dunia internasional pun geger, sebab peristiwa ini menambah daftar panjang pembantaian terhadap saksi-saksi kebenaran.
Aksi biadab tersebut sontak menuai reaksi keras. PBB, berbagai lembaga internasional, organisasi masyarakat sipil, hingga aliansi jurnalis internasional dan nasional kompak melayangkan kecaman. Para tokoh dunia, baik yang berasal dari lembaga resmi maupun kalangan independen, juga menyuarakan kemarahan.
Media arus utama bahkan harus mengakui adanya pelanggaran besar atas hukum internasional. Tetapi, sebagaimana yang sudah-sudah, kutukan itu tak lebih dari barisan kalimat yang tidak mengubah realitas di Gaza.
Di tengah pembungkaman informasi itu, wajah asli zionis semakin tampak. Penembakan terhadap warga sipil meningkat drastis, mayoritas korbannya perempuan dan anak-anak. Laporan tentang kelaparan massal kian mengkhawatirkan, menambah panjang daftar penderitaan rakyat Gaza.
Ironisnya, bahkan sebagian masyarakat ‘Israel’ sendiri mulai menyerukan penghentian perang karena tak lagi mampu menanggung konsekuensinya. Namun, pemerintah zionis justru terus menggaungkan rencana relokasi penduduk Gaza—sebuah bentuk kejahatan baru berupa pembersihan etnis yang diselubungi retorika “keamanan”.
Membungkam Suara, Membunuh Perlawanan
Target terhadap jurnalis bukan sekadar penembakan acak. Ada misi sistematis: menutup akses informasi agar dunia tidak menyaksikan genosida yang sedang berlangsung. Membunuh seorang pewarta berarti berusaha memutus jalur suara perlawanan yang menyuarakan nestapa Gaza. Dengan begitu, zionis berharap kejahatan mereka sepi dari sorotan publik.
Namun, di balik itu tersimpan fakta penting: musuh tidak mampu mengalahkan perlawanan rakyat Gaza secara terbuka. Mereka memilih cara licik, menghabisi saksi-saksi mata. Itulah wajah asli rezim yang selama ini mengklaim sebagai negara demokrasi, padahal tindakannya lebih buas dari rezim penjajah mana pun.
Kebiadaban tersebut makin jelas ketika dikaitkan dengan sikap para penguasa negeri-negeri Muslim. Darah kaum Muslimin di Gaza tertumpah, nyawa para jurnalis melayang, tetapi tidak ada satu pun negara Muslim yang mengerahkan pasukan.
Para pemimpin justru sibuk mempertahankan kursi dan memelihara hubungan diplomatik dengan penjajah. Nasionalisme sempit dan kecintaan pada dunia mengekang mereka, hingga kewajiban menolong saudara seiman dikhianati begitu saja.
Perjuangan yang Tak Padam
Namun sejarah menunjukkan, pembunuhan terhadap para jurnalis tidak akan menghentikan denyut perlawanan Gaza. Setiap nyawa yang hilang justru melahirkan seribu saksi baru. Setiap upaya membungkam akan makin membuka mata dunia terhadap kekejaman yang berlangsung.
Rakyat Gaza memahami betul keutamaan tanah mereka. Palestina adalah bumi yang diberkahi, tanah para nabi, dan Allah sendiri menjanjikan kemuliaan bagi mereka yang berjuang menjaga dan membebaskannya. Inilah yang membuat semangat mereka tidak pernah surut meski berhadapan dengan kekuatan militer yang jauh lebih besar.
Bagi umat Islam, perjuangan Gaza bukan sekadar isu kemanusiaan. Ia adalah bagian dari iman. Menolong mereka berarti menunaikan kewajiban syar’i. Firman Allah menegaskan, “Dan jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam urusan agama, maka wajib bagimu menolong mereka...” (QS. Al-Anfal: 72).
Karena itu, diamnya penguasa tidak boleh membuat umat ikut larut dalam kebisuan. Justru umatlah yang harus mengobarkan kesadaran bahwa membebaskan Palestina adalah kewajiban kolektif.
Jihad dan Khilafah: Jalan Pembebasan
Sejarah juga mengajarkan, penjajahan tak akan pernah berakhir dengan sekadar kutukan atau resolusi. Penjajahan hanya dapat dihentikan dengan jihad yang dipimpin oleh institusi politik umat: khilafah.
Sistem inilah yang pernah mengirimkan pasukan untuk melindungi kaum Muslimin di berbagai wilayah. Sistem inilah yang menyatukan kekuatan militer, politik, dan diplomasi umat Islam sehingga mampu menghadapi imperium besar.
Tanpa khilafah, jihad akan tercerai-berai dan perjuangan hanya bersifat lokal. Inilah sebabnya musuh-musuh Islam berusaha keras agar khilafah tidak tegak kembali. Sebab mereka memahami, jika umat ini kembali bersatu, maka tidak ada kekuatan penjajah manapun yang bisa bertahan.
Karena itu, membangun kesadaran umat akan kewajiban jihad dan khilafah menjadi agenda utama. Aktivitas dakwah ideologis bersama jamaah yang konsisten memperjuangkannya adalah kebutuhan mendesak. Dari sinilah lahir opini, kesadaran, dan akhirnya dukungan nyata untuk membebaskan bumi Palestina dan seluruh negeri Muslim dari cengkeraman penjajah.[]
Oleh: Mahrita Julia Hapsari
(Aktivis Muslimah Banua)
0 Komentar