Topswara.com -- Miris, ya. Di tengah gembar-gembor kemandirian ekonomi, kita justru menyaksikan realitas yang sangat bertolak belakang. Pajak makin mencekik rakyat kecil, sementara utang luar negeri terus membengkak seolah tak ada habisnya. Lah, ini mandiri versi siapa, sih?
Katanya Indonesia negara kaya. Betul, dari Sabang sampai Merauke bentang alamnya luar biasa, seperti tambang, hutan, laut, matahari melimpah. Tetapi faktanya, APBN kita mayoritas bersandar pada pajak. Lalu defisit ditutup utang. Ini kemandirian atau ketergantungan akut?
Lebih mengherankan lagi, ketika pajak mulai disamakan dengan zakat oleh para pejabat.
Padahal, dalam Islam, pajak (dharibah) bukan sumber utama keuangan negara. Zakat adalah kewajiban tetap umat, dikelola negara untuk delapan golongan penerima. Sementara pajak hanya diambil saat darurat, itupun bukan kepada semua rakyat, dan tidak dijadikan sumber pokok pemasukan.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan dalam An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam bahwa negara Islam tidak boleh menjadikan pajak sebagai sumber tetap keuangan negara, karena itu bertentangan dengan syariat. Negara justru wajib mengelola sumber daya alam milik rakyat (seperti tambang, minyak, gas, laut, hutan) agar hasilnya dikembalikan untuk memenuhi kebutuhan publik secara adil dan merata.
Sayangnya, sistem kapitalisme hari ini membalik semua logika itu. Negara malah bertindak seperti korporasi. Semua aset dijual ke swasta dan asing. Rakyat disuruh patungan bayar pembangunan lewat pajak, padahal hasil pembangunan banyak dikuasai elite dan konglomerat.
Lebih tragis lagi, pemerintah bangga saat mampu menarik pinjaman luar negeri. Padahal utang itu selalu ada bunganya, alias riba. Allah SWT telah memperingatkan dalam firman-Nya, "Orang-orang yang makan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran tekanan penyakit gila. Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" (QS. Al-Baqarah: 275).
Utang luar negeri itu bukan cuma angka di neraca. Ia membawa konsekuensi politik, intervensi kebijakan, hingga jebakan kolonialisme gaya baru. Banyak regulasi dibuat bukan untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk memenuhi syarat lembaga donor dan investor global. Inilah jebakan debt trap yang membuat negeri ini “merdeka” secara simbolis, tetapi “terjajah” dalam kebijakan.
Kalau terus begini, kedaulatan ekonomi hanya jadi jargon kampanye. Padahal dalam Islam, negara bertanggung jawab langsung memenuhi kebutuhan rakyat tanpa membebani mereka dengan pajak permanen apalagi utang ribawi.
Rasulullah SAW bersabda, “Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat, dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang diurusnya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Artinya, negara tidak boleh cuci tangan dan melempar beban pada rakyat. Negara wajib mengelola kekayaan publik sesuai syariat agar kebutuhan dasar rakyat (pangan, kesehatan, pendidikan, keamanan) terpenuhi secara merata.
Solusi Islam bukan sekadar menghapus pajak dan utang, tapi membangun sistem ekonomi alternatif berbasis syariah yang berpijak pada, pengelolaan SDA secara amanah, tidak dijual ke asing. Zakat sebagai mekanisme distribusi kekayaan. Baitul Mal (kas negara Islam) sebagai lembaga penyalur dan pengelola kekayaan umat. Larangan utang ribawi dan sistem perbankan ribawi.
Kalau mau mandiri, jangan hanya slogan. Beranilah menolak ketergantungan sistemis pada pajak dan utang. Sebab, selama kita mengadopsi sistem kapitalisme, mandiri itu cuma ilusi. []
Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)
0 Komentar