Topswara.com -- Untuk kesekian kalinya, publik dunia mendengar kabar memilukan dari Gaza. Setiap hari ada serangan udara, pembunuhan massal, hingga penghancuran fasilitas vital seperti rumah sakit, sekolah, bahkan masjid.
Gaza seakan ditakdirkan menjadi wilayah tanpa jeda dari penderitaan. Penjajah Zionis dengan brutal mencoba mengosongkan Gaza melalui pengeboman, blokade pangan, dan teror psikologis yang tak kenal ampun.
Namun, di balik tragedi itu, kita juga menyaksikan sesuatu yang luar biasa: ketangguhan generasi muda Gaza. Anak-anak mereka tetap bersekolah, menghafal Al-Qur’an, bercita-cita tinggi, bahkan menorehkan prestasi meski banyak dari mereka telah kehilangan orang tua, saudara, atau rumah.
Mereka tumbuh dengan kesadaran bahwa hidup bukan hanya soal bertahan, melainkan menjaga kehormatan Islam dan Masjid Alaqsa.
Bandingkan dengan fenomena yang marak di kampus-kampus dunia, termasuk Indonesia: duck syndrome. Istilah ini pertama kali dikenal dari mahasiswa Stanford di Amerika.
Dari luar, mereka tampak baik-baik saja—tenang, percaya diri, aktif di kelas, bahkan selalu terlihat “on”. Tetapi kenyataannya, di balik layar mereka sedang “berenang panik” seperti bebek di bawah air: stres, tertekan, dan hampir tenggelam dalam tuntutan perfeksionis.
Gaza: Sekolah Ketangguhan Iman
Apa yang membuat anak-anak Gaza begitu kuat? Jawabannya sederhana: iman dan pendidikan Qur’ani. Sedari belia, mereka dibentuk dengan kesadaran bahwa Alaqsa bukan sekadar masjid, melainkan amanah besar yang harus dipertahankan. Para orang tua, remaja, bahkan nenek-nenek di Gaza, mendidik generasi muda dengan ilmu, diskusi, dan pelajaran yang membentuk kepribadian Islam.
Mereka sadar perang bukan alasan untuk berhenti belajar. Justru dalam kondisi perang, mereka semakin gigih. Banyak anak Gaza berhasil menyelesaikan hafalan Al-Qur’an, sekolah, hingga meraih prestasi akademik tanpa dampingan orang tua yang telah gugur syahid.
Allah Swt. berfirman “Janganlah kamu bersikap lemah, dan jangan (pula) bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Ali Imran: 139).
Ayat ini seolah hidup dalam diri mereka. Iman menjadikan mereka lebih kuat daripada gempuran bom dan blokade.
Duck Syndrome: Potret Krisis Pemuda di Sistem Kapitalisme
Sebaliknya, fenomena duck syndrome di kalangan mahasiswa kita justru memperlihatkan betapa rapuhnya generasi muda dalam sistem kapitalisme. Mereka dibebani tuntutan hidup perfeksionis: IPK tinggi, aktif organisasi, lulus cepat, karier mapan, gaya hidup “kekinian”, dan ekspektasi sosial lain yang kadang mustahil dipenuhi.
Dari luar terlihat keren, tetapi di dalam batin penuh luka. Stres, anxiety, bahkan depresi menjadi masalah serius. Tak jarang berujung pada bunuh diri.
Mengapa bisa terjadi? Karena standar hidup yang dipakai adalah standar kapitalis: sukses diukur dari materi, pencapaian duniawi, dan pengakuan sosial. Padahal, dalam pandangan Islam, hakikat hidup manusia jelas: untuk beribadah kepada Allah (QS. Adz-Dzariyat: 56).
Rasulullah ï·º bersabda “Barang siapa menjadikan dunia sebagai tujuan utamanya, maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran di depan matanya, dan dunia tidak akan datang kepadanya kecuali yang telah ditentukan baginya. Barang siapa menjadikan akhirat sebagai tujuan utamanya, Allah akan mengumpulkan urusannya, menjadikan kecukupan di hatinya, dan dunia akan datang kepadanya dalam keadaan hina.” (HR. Ibnu Majah).
Hadis ini menegaskan, fokus pada dunia semata hanya membawa stres. Sebaliknya, orientasi akhirat membawa ketenangan.
Inspirasi Gaza untuk Generasi Muda
Generasi Gaza telah menunjukkan bahwa iman bisa melahirkan ketangguhan luar biasa. Rumah boleh runtuh, keluarga boleh gugur, tetapi semangat mereka tetap tegak.
Bandingkan dengan pemuda kita, yang sering kali goyah hanya karena gagal ujian, tuntutan sosial, atau persaingan kerja.Artinya, yang dibutuhkan generasi muda hari ini bukan sekadar self healing ala kapitalis, tetapi kesadaran akan identitas hakiki sebagai muslim.
Menyadari bahwa kita adalah hamba Allah, tugas utama kita bukan mengejar standar duniawi, melainkan mengabdi kepada-Nya.
Ketangguhan anak Gaza harus jadi inspirasi nyata. Kalau mereka bisa tetap tegar di tengah perang, kenapa kita yang hidup di negeri damai kalah oleh standar palsu kapitalisme?
Saatnya Umat Bersatu
Masalah Gaza juga tidak bisa dilepaskan dari urusan politik global. Selama dunia Islam tercerai-berai, penjajah Zionis dengan dukungan Amerika akan terus leluasa menindas Palestina. Anak-anak Gaza akan terus kehilangan masa depan.
Solusinya jelas: penyatuan kekuatan umat Islam di bawah kepemimpinan yang satu, yang mampu mengomando tentara kaum muslimin untuk berjihad membebaskan Palestina. Inilah visi tegaknya Khilafah Islam yang akan mengakhiri penderitaan Gaza sekaligus menjadi payung keadilan bagi seluruh umat.
Rasulullah ï·º bersabda: “Imam (khalifah) adalah perisai, di belakangnya kaum muslimin berperang dan dengannya mereka berlindung.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Khatimah
Generasi muda muslim di Indonesia perlu belajar dari anak-anak Gaza. Mereka hidup dalam perang, tapi tidak kehilangan arah. Kita hidup di negeri damai, tapi sering kali kehilangan makna hidup karena terjebak standar kapitalis.
Fenomena duck syndrome adalah alarm keras: masalah generasi muda bukan hanya urusan pribadi, tapi akibat sistem kapitalisme sekuler yang gagal memberi arah hidup yang benar. Solusinya bukan dengan melarikan diri, tapi dengan kembali pada Islam secara kaffah.
Dengan Islam, kita punya orientasi hidup yang jelas, standar kebahagiaan yang benar, dan kekuatan iman yang menumbuhkan ketangguhan. Seperti anak-anak Gaza, kita pun bisa menjadi generasi pejuang yang siap menjaga Islam dan mengembalikan kejayaan umat.
Wallahu a‘lam bish-shawab.
Oleh: Ema Darmawaty
Praktisi Pendidikan
0 Komentar