Topswara.com -- Anak-anak itu bukan sekadar "tanggungjawab bersama" yang sering kita lihat di spanduk atau iklan layanan masyarakat.
Mereka adalah generasi penerus yang butuh perlindungan nyata, bukan cuma dari orang tua, tetapi juga dari negara. Sayangnya, yang sering terjadi sekarang, perlindungan itu cuma sebatas wacana.
Kita lihat sendiri, kasus kekerasan terhadap anak makin hari makin banyak, begitupun eksploitasi digital makin tidak terkendali. Dan pendidikan yang seharusnya jadi tempat anak tumbuh dan berkembang kadang justru jadi sumber kekhawatiran, apalagi dengan banyaknya kasus bullying di sekolah.
Padahal, sejatinya setiap anak berhak tumbuh di lingkungan yang aman, sehat, dan mendukung mereka jadi versi terbaik dari dirinya. Negara seharusnya hadir sebagai pelindung utama. Bukan cuma untuk membuat undang-undang atau bereaksi saat ada kasus yang viral, tetapi negara harus benar-benar aktif mencegah sejak awal.
Sayangnya, penguasa hari ini justru cenderung abai. Mereka lebih sibuk membangun citra dan mengejar target ekonomi ketimbang serius menjaga masa depan anak-anak bangsa. Kebijakan yang dibuat sering reaktif dan hanya muncul saat ada kasus besar yang mencuat ke publik, bukan untuk mencegah secara sistemik.
Perlindungan sejati bukan cuma soal menghukum pelaku kejahatan terhadap anak, tapi juga soal membangun sistem yang menjamin rasa aman, penghargaan atas martabat anak, dan pendampingan yang berkelanjutan.
Namun, lemahnya pengawasan, longgarnya hukum, dan minimnya ketegasan pemerintah membuat praktik kekerasan maupun perdagangan anak terus berulang.
Penguasa sering mengabaikan peran penting nilai agama dan moral sebagai fondasi, sehingga anak-anak jadi mudah terjebak dalam sistem yang hanya mementingkan keuntungan semata.
Dalam realitas sistem kapitalisme sekuler saat ini, anak-anak justru rentan dijadikan objek ekonomi. Mereka dipandang bukan sebagai amanah, tapi sebagai peluang keuntungan.
Fenomena perdagangan anak yang terus terjadi adalah bukti nyatanya. Belum lama ini, praktik jual-beli bayi melalui media sosial yang melibatkan pengiriman ke luar negeri kembali terungkap (kompas.com, 18/7/2025).
Menanggapi kasus itu, anggota Komisi IX DPR RI, Netty Prasetiyani Aher, menyatakan keprihatinannya dan menegaskan bahwa anak bukan barang dagangan, melainkan amanah serta aset bangsa (inilahonline.com, 21/7/2025).
Namun, pernyataan ini hanya akan jadi slogan jika penguasa tidak tegas menutup semua celah perdagangan anak. Hukum yang lemah dan pengawasan yang setengah hati adalah bukti negara belum hadir sungguh-sungguh melindungi mereka.
Sayangnya, beberapa aturan tanpa disadari malah membuka ruang bagi eksploitasi anak terus berlanjut. Konten destruktif yang beredar luas, gaya pengasuhan permisif, dan tekanan ekonomi yang berat kadang mendorong orang tua pada pilihan yang membahayakan masa depan anak mereka.
Penguasa seharusnya hadir menutup semua celah ini, bukan membiarkannya atas nama kebebasan pasar atau demi kepentingan ekonomi. Jika penguasa benar-benar peduli, mereka harus bekerja nyata, bukan sekadar janji atau pencitraan.
Anak-anak yang seharusnya dibesarkan dengan kasih sayang dan pendidikan, justru tumbuh di tengah ancaman baik dari lingkungan, media, maupun sistem yang membiarkan kerusakan terjadi demi kebebasan dan materi.
Islam menempatkan anak sebagai anugerah sekaligus tanggung jawab besar yang harus dipenuhi oleh orang tua dengan sepenuh hati. Dalam sistem Islam, perlindungan anak bukan cuma urusan keluarga, tetapi jadi bagian dari tanggung jawab negara.
Negara Islam/khilafah hadir bukan sekadar sebagai pengatur, tetapi sebagai pelindung yang aktif menjaga hak dan kesejahteraan anak.
Dalam sistem ini, sejak usia dini, pendidikan fokus membentuk karakter dan menumbuhkan rasa tanggung jawab. Kurikulum, media, hingga lingkungan sosial dijaga agar tidak merusak pola pikir dan karakter anak.
Berbeda dengan sistem kapitalisme yang menjadikan anak sebagai komoditas, dalam Islam, anak adalah amanah yang kelak akan dimintai pertanggung jawaban. Negara memastikan hukum ditegakkan adil tanpa pandang bulu, dan pengawasan dilakukan secara menyeluruh, bukan sekadar reaktif.
Yang membedakan sistem Islam adalah pondasi berpikirnya: perlindungan anak bukan semata soal hak asasi manusia, tapi bagian dari kewajiban syar’i. Negara Islam hadir bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan materi, tapi juga menjaga akidah, kehormatan, keamanan dan masa depan anak-anak kita.
Wallahu a'lam bish shawwab.
Oleh: Nilam Astriati
Aktivis Muslimah
0 Komentar