Topswara.com -- Korupsi seakan menjadi tradisi di negeri gemah ripah loh jinawi. Tampak kasus korupsi menjadi makanan sehari-hari di tengah keadaan ekonomi masyarakat yang kian miris.
Moral para pejabat entah berada di mana, tidak malu-malu lagi merampok serta merampas hak masyarakat. Jabatan serta kekuasaan sering disalahgunakan demi mencari peluang serta kesempatan merampas uang masyarakat.
Menurut Kepala Penerangan Hukum Kejaksaan, Agung Harli Siregar, kerugian negara akibat korupsi ini lebih besar dari Rp 193,7 triliun, karena angka tersebut hanya untuk kerugian pada tahun 2023. Sementara itu, tindak pidana korupsi ini telah terjadi sejak 2018 hingga 2023.
Andai modus yang sama dilakukan sesuai rentan waktu terjadinya perkara, jika angka tersebut dikalikan lima maka akan didapatkan kerugian sekitar Rp 968,5 trilyun. Namun, hingga hari ini belum ada konfirmasi dari Kejagung soal total kerugian negara akibat kasus korupsi ini (tempo.co, 28/2/2025).
Sangat miris, saat masyarakat sedang berusaha mencukupi keperluan hidupnya ketika keadaan ekonomi carut-marut. Justru para pejabat negara sibuk menambah kejayaan dirinya melalui cara merampas uang rakyat. Itulah wajah penuh borok para pejabat yang tidak amanah serta tidak berempati kepada rakyat.
Tidak sedikit pejabat negara yang tidak amanah sampai tidak malu-malu berjamaah melakukan tindak pidana korupsi menunjukkan bahwa korupsi tidak lagi terletak pada kesalahan individu semata, tetapi sudah berada pada level sistemis.
Dalam naungan sistem sekarang memang tak bisa dipungkiri bahwa tindak kecurangan sangat berpeluang terbuka lebar. Karena fakta sistem sekuler mendorong orang untuk bebas bertindak apa saja dengan menghalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan individu serta kelompoknya.
Ironis. Di tengah kesengsaraan masyarakat di negeri ini, kasus korupsi yang dilakukan para pejabat negaranya luar biasa semakin bertambah serta menjadi-jadi.
Sedang viral seperti yang diberitakan dari kumparannews, kasus korupsi proyek jalan di Sumatera Utara terungkap. KPK buka suara mengenai dugaan upaya rekayasa dalam sistem e-katalog.
Selama ini meski e-katalog diklaim sebagai sistem yang transparan untuk pengadaan barang serta jasa, faktanya masih terdapat celah untuk bermain curang yang dimanfaatkan pihak-pihak tertentu.
Budi Prasetyo, juru bicara KPK menyatakan pihaknya telah mengantisipasi peluang kongkalikong dalam sistem e-katalog. Menurutnya, KPK terus memperkuat pengawasan serta pendampingan kepada pemerintah daerah agar tata kelola pengadaan berjalan sesuai aturan.
Selanjutnya, KPK menginginkan rakyat ikut memperhatikan pelaksanaan pengadaan jasa serta barang, tak terkecuali apabila menemukan indikasi korupsi agar memanfaatkan kanal pengaduan.
Usai menjalani pemeriksaan di KPK, lima tersangka mengenakan rompi tahanan kasus dugaan proyek pembangunan jalan di Dinas PUPR serta preservasi jalan di Satuan Kerja Pelaksanaan Jalan Nasional (PJM) Wilayah I Sumatera Utara. Kamis 26 Juni kemaren, KPK menggelar OTT di Mandailing Natal, Sumut terkait dengan dua perkara berbeda.
Pertama, di Dinas PURPR di Provinsi Sumatera Utara terkait proyek pembangunan jalan. Kedua, di Wilayah I Sumatera Utara terkait proyek Satker PJN. Sebesar Rp 231,8 miliar nilai kedua proyek tersebut.
Mengenai tersangka penerima suap yaitu:
Topan Putra Ginting, Kepala Dinas PUPR Provinsi Sumut; Rasuli Efendi Siregar, Kepala UPTD Gunung Tua Dinas PUPR Provinsi Sumut; serta Heriyanto, PPK Satker PJN 1 ProvinsiSumatera Utara. Untuk tersangka pemberi suap yaitu:
M. Akhiran Efendi Siregar, Direktur Utama PT DNG; serta Rayhan Sulami Pilang, Direktur PT RN.
Kasus korupsi ini diduga terjadi dengan Rayhan serta Akhirun sebagai pihak swasta mengharap memperoleh proyek pembangunan jalan di Satker PJN Wilayah I Sumut serta Dinas PUPR dengan menyerahkan sejumlah uang sebagai uang suap kepada Rasuli, Heriyanto serta Topan.
Ketiganya lalu diduga melakukan proses pengaturan lewat e-katalog supaya perusahaan yang dipimpin oleh Rayhan serta Akhirun ditunjuk sebagai pemenang proyek.
Dari para pejabat negaranya, dari aparat polisi, hingga struktur yang paling kecil pada kehidupan rakyat korupsi tak terhindarkan. Sehingga korupsi berjamaah merupakan sesuatu yang biasa diperbuat. Itulah dampak sistem sekuler kapitalisme diterapkan pada negara.
Sangat berbeda dengan Islam. Paradigma kepemimpinan berdasar akidah justru membuat kehidupan berjalan sesuai tuntunan syariat, sarat dengan moral kebaikan, dan aktivitas amar makruf nahi mungkar serta terwujud masyarakat sejahtera serta adil.
Islam mewujudkan pribadi yang bertakwa pada setiap rakyat yang terdapat dalam naungan Islam. Alhasil setiap pribadi dari masyarakat hingga penguasaannya tunduk pada semua syariah Allah.
Islam mempunyai seperangkat peraturan yang apabila dilaksanakan secara kaffah akan dapat mengatasi timbulnya kasus pelanggaran, misalnya korupsi penyalahgunaan jabatan serta yang lain, tapi pada saat yang sama tetap mampu menjamin kesejahteraan rakyat sehingga menutup celah kerusakan, tak terkecuali pelanggaran hukum.
Apabila terdapat pelanggaran hukum maka akan ada sanksi oleh negara. Untuk pejabat yang khianat atau melakukan suap atau korupsi maka akan khalifah akan memberi sanksi ta'zir.
Fakta sejarah keemasan Islam menjadi bukti bahwa rakyat ideal tanpa korupsi serta penyimpangan benar-benar mampu dicegah serta rakyat hidup dalam level kesejahteraan tiada tandingannya saat Islam dalam naungan khilafah Islamiah diterapkan. []
Oleh: Dwi Ariyani
(Aktivis Muslimah di Bantul, DIY)
0 Komentar