Topswara.com -- Kabar mengejutkan datang dari dunia pendidikan di Provinsi Banten. Alokasi anggaran tunjangan tambahan (Tuta) bagi para guru di Banten dicoret dari APBD murni 2025. Akibatnya selama 6 bulan terakhir, pemerintah Provinsi Banten belum membayarkan tunjangan ini kepada ribuan guru yang menjadi tulang punggung pendidikan di daerah tersebut.
Sebagian bahkan siap turun ke jalan untuk memperjuangkan hak yang tiba-tiba direnggut. Fenomena ini seharusnya membuka mata kita semua, beginilah nasib guru di negeri ini yang nasibnya sering dipertaruhkan di atas selembar kertas kebijakan anggaran (portalbogor.com, 5/7/2025).
Nestapa Kesejahteraan dalam Sistem Kapitalis
Hari ini, kesejahteraan guru masih menjadi PR bagi pemerintah daerah dan pusat. Ironisnya, di tengah beban mendidik yang kian berat, para guru justru kerap dipaksa memikirkan pekerjaan sampingan demi menutup kebutuhan hidup yang makin mencekik.
Pemenuhan kesejahteraan tentu membutuhkan perhatian yang serius dari pemerintah. Sebab penggajian guru erat dengan ketersediaan sumber dana negara. Sudah seharusnya pemerintah menjadikan kesejahteraan guru sebagai prioritas utama. Karena guru adalah tulang punggung pendidikan yang mendidik generasi unggul berkualitas.
Bagaimana guru bisa fokus mendidik anak didik jika pikiran mereka masih bercabang mencari sampingan misalnya. Apalagi biaya hidup hari ini makin besar. Padahal, negara memiliki tanggung jawab penuh untuk menjamin pendidikan rakyatnya. Sayangnya, dalam kerangka sistem hari ini, pendidikan pun dijalankan setengah hati.
Dengan dicoretnya tunjangan tambahan ini membuktikan bahwa dalam sistem kapitalisme, guru dipandang sama seperti pekerja lain, hanya sekadar buruh yang bisa diatur anggarannya naik turun sesuai kemampuan APBD. Di sisi lain, negara tidak sepenuhnya mengurusi pendidikan, namun juga menyerahkan kepada pihak swasta.
Belum lagi sistem keuangan dalam sistem kapitalisme yang banyak menggantungkan kepada utang, sehingga gaji besar dirasakan membebani negara. Akibatnya, pos-pos anggaran, Termasuk gaji guru, yang seharusnya menjadi prioritas, malah dianggap beban keuangan.
Islam Mewujudkan kesejahteraan Guru
Berbeda dengan sistem pendidikan Islam yang mampu memberikan kesejahteraan kepada guru. Guru dalam Islam sangat dihargai dan dihormati. Guru memiliki peran strategis dalam membina generasi dan membangun peradaban.
Guru adalah pihak yang bertemu dan berinteraksi langsung dengan peserta didik, serta melaksanakan proses pembelajaran dan mendidik mereka. Sehingga Guru adalah ujung tombak pendidikan, sebagaimana sabda Rasulullah SAW,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةُ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim” (HR. Ibnu Majah).
Negara Islam mampu memberikan gaji tinggi kepada guru karena negara Islam memiliki sumber pemasukan yang beragam dan dalam jumlah besar.
Sebab, Islam memiliki sistem ekonomi yang menentukan beragam sumber pemasukan, termasuk dari pengelolaan sumber daya alam yang termasuk kepemilikan umum dan akan dikelola negara. Kepemilikan umum inilah yang digunakan untuk menyejahterakan rakyat, termasuk untuk membiayai pendidikan dan menggaji guru dengan layak.
Sejarah mencatat, gaji guru pada masa Khilafah Abbasiyyah sangat fantastis, terutama jika dibandingkan dengan zaman sekarang. Gaji para pengajar di masa itu sama dengan gaji para muazin, yakni 1.000 dinar/tahun (sekitar 83,3 dinar/bulan).
Dengan nilai 1 dinar sama dengan 4,25 gram emas dan harga emas saat ini sekitar Rp1,5 juta/gram, ini berarti gaji guru pada masa itu sekitar Rp6,375 miliar/tahun atau Rp531 juta/bulan.
Demikianlah gambaran kesejahteraan guru pada masa peradaban Islam. Para guru dan ulama benar-benar dimuliakan dan dihargai jasa-jasanya, bahkan diposisikan sebagai pahlawan dengan tanda jasa seutuhnya. []
Oleh: Wike Wijayanti
(Aktivis Muslimah)
0 Komentar