Topswara.com -- Komedian Nunung Srimulat, pernah curhat, ia membiayai 50 anggota keluarganya. Setelah divonis kanker payudara dalam kondisi tabungan habis, kini ia fokus pengobatan di sebuah kamar kos sederhana di Jakarta, didampingi sang suami.
Nunung adalah salah satu contoh perempuan pencari nafkah utama atau female breadwinners di Indonesia. Menurut Cerita Data Statistik (CERDAS) BPS, keberadaan female breadwinners makin terlihat di berbagai belahan dunia.
Di Amerika Serikat jumlahnya hampir 42 persen (Glynn 2016). Sedangkan di Indonesia pada 2024 jumlahnya 14,37 persen. Adapun laki-laki pencari nafkah utama hanya 44,05 persen (CERDAS, BPS).
Jelas, telah terjadi transformasi dalam struktur keluarga, peran gender, dan kondisi ekonomi. Dulu, perempuan menjalani peran domestik di rumah dan dicukupi ekonominya. Kini, ia harus mencukupi sendiri kebutuhannya, bahkan juga kebutuhan anggota keluarganya. Apakah ini prestasi membanggakan yang patut dirayakan, ataukah justru kegagalan mensejahterakan perempuan?
Mayoritas Pendidikan Rendah
Female breadwinners adalah perempuan yang menjadi pencari nafkah utama dalam rumah tangga, baik sebagai satu-satunya penyedia ekonomi atau sebagai kontributor terbesar dalam pendapatan keluarga.
Di Indonesia, pencari nafkah perempuan ini kebanyakan berpendidikan rendah. Sebanyak 55,84 persen female breadwinners belum atau tidak tamat SD, tamat SD atau tamat SMP saja. Maklum, mereka umumnya menikah dengan circle yang sama, yakni suami yang penghasilannya minim. Itu sebabnya istri harus bekerja juga.
Namun, dengan pendidikan rendah, bisa dibayangkan jenis pekerjaan apa yang bisa mereka geluti dan berapa pendapatannya. Menurut data BPS, 44,95 persen jenis pekerjaannya berusaha, 47,53 persen buruh atau karyawan dan 7,52 persen pekerja bebas. Banyak yang memilih usaha kecil-kecilan karena waktunya fleksibel dan sulit jika mengakses pekerjaan formal.
Tentu saja pendapatannya juga kecil. Sulit untuk keluar dari lingkaran kemiskinan, jika kondisinya seperti ini. Walhasil, perempuan yang menjadi tulang punggung utama nafkah keluarga, selamanya akan menjadi female breadwinners sampai mati.
Terlebih, banyak di antara mereka memang tidak punya pasangan hidup alias terpaksa menjadi pencari nafkah utama selama hidupnya. Data BPS menyebutkan, 40.77 persen dari female breadwinners berstatus istri yang punya suami tapi berpenghasilan minim. Lalu 39,82 persen adalah kepala keluarga tunggal, tanpa suami.
Data juga menyebut, sebanyak 47,65 persen female breadwinners, memberikan 90-100 persen pendapatannya untuk keluarga. Jadi, kontribusi mereka dalam menopang ekonomi rumah tangga sangatlah besar. Ketiadaan mereka akan mengguncang ketahanan ekonomi.
Berbeda dengan perempuan berpendidikan tinggi, yang menurut penelitian, cenderung menikah dengan pasangan yang berpenghasilan tinggi pula. Mereka relatif aman secara ekonomi, sehingga partisipasi dalam dunia kerja kecil (Kabeer 2012, Becker 1981).
Jadi, kalau ada yang mengatakan perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi, toh hanya akan menjadi ibu rumah tangga dan tidak berkarier, perhatikan data tersebut. Menuntut ilmu bukan sekadar meraih ijazah untuk melamar kerja. Selain untuk meraih ilmu yang bermanfaat bagi diri dan umat, menuntut ilmu tinggi untuk meningkatkan value.
Meningkatkan kualitas dan mengubah circle lingkungannya menjadi lebih baik, lebih berkelas dan maju. Meraih gelar itu niscaya, tetapi bisa masuk ke circle terpelajar, yang lebih berdaya dan berpotensi meraih kehidupan berstandar bagus, itu adalah salah satu kunci akan terjadinya perubahan nasib.
Faktor Pendorong
Banyaknya female breadwinners didorong oleh pertama, arus urbanisasi dan globalisasi. Perempuan tidak segan merantau dan mengadu nasib ke kota, bahkan ke luar negeri untuk cari uang. Di kota, mereka bisa berjualan dengan potensi market lebih besar dibanding di desa. Bisa juga menjadi pekerja rumah tangga, karena struktur keluarga di kota kebanyakan suami-istri sama-sama bekerja. Tenaga mereka dibutuhkan untuk mengurus domestik.
Demikian pula di luar negeri, perempuan berpendidikan dasar hanya bisa menjadi pekerja rumah tangga atau tenaga kasar lainnya (TKW). Gaji pun menjadi sumber nafkah utama bagi keluarganya di kampung. Bukan hanya untuk suami atau anak, bahkan untuk orang tua dan kerabat.
Penyebab kedua, biaya hidup yang tinggi mendorong perempuan bekerja. Ditambah kekhawatiran akan ketidak-stabilan pekerjaan suami. Tingkat pengangguran laki-laki tinggi. Upah juga rendah. Gaji suami tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Sebab ketiga adalah kemiskinan struktural dan sistemis. Sistem kapitalisme yang memiskinkan manusia, memaksa semua anggota keluarga, termasuk perempuan, untuk mencari nafkah. Padahal harusnya di pundak suami, tetapi ini juga dibebankan ke punggung istri. Jadilah ia berubah, dari tulang rusuk menjadi tulang punggung.
Penyebab keempat, terjadinya pergeseran peran gender. Perempuan didorong mandiri, mencari uang sendiri dan mengejar kesetaraan dengan laki-laki. Terutama di kalangan perempuan terdidik, akhirnya memilih karier demi mewujudkan impian-impian pribadi.
Kelima, perceraian atau kematian pasangan, suami sakit atau disabilitas, menjadi penyebab perempuan menjadi female breadwinners. Perempuan terpaksa menjadi kepala keluarga dan pencari nafkah. Mengambil alih tanggung jawab keuangan.
Dampak Positif vs Negatif
Keberadaan female breadwinners, membawa dampak positif, namun hanya sedikit. Yakni, dapat membantu memenuhi kebutuhan dasar, pendidikan anak, dan kesehatan. Meningkatkan kemandirian ekonomi dan posisi tawar perempuan dalam keluarga dan masyarakat. Kontribusi perempuan pada sektor informal dapat mendorong roda ekonomi lokal.
Namun, dampak negatifnya lebih besar. Tersimpan seperti bom berbahaya yang sewak-waktu meledak. Pertama, perempuan menanggung beban ganda (double burden), yaitu domestik dan publik. Di satu sisi dia harus kerja cari uang, di sisi lain urusan rumah dan pengasuhan anak tak bisa ditinggalkan. Ini menghancurkan fisik dan mentalnya.
Selama ini, perempuan melakukan sekitar 75 persen dari total pekerjaan perawatan dan pekerjaan rumah tangga. Hal ini berimplikasi kurang baik pada berbagai aspek yang meliputi pendidikan, pekerjaan, partisipasi politik, dan kesehatan perempuan (UN Women 2016).
Mereka rentan mengalami kelelahan fisik dan mental, stres, hingga depresi. Terlebih, mereka bekerja melebihi kapasitasnya. Ada 21,07 persen female breadwinners yang bekerja lebih dari 49 jam dalam seminggu. Menurut standar internasional, ini terkategori jam kerja berlebihan. Dampaknya, gangguan kesehatan, menurunkan produktivitas, dan keseimbangan hidup (OECD 2021).
Dampak selanjutnya adalah kerentanan dalam hubungan suami istri. Potensi konflik dengan pasangan terkait peran dan tanggung jawab semakin besar. Istri yang lelah, berharap pengertian suami untuk membantu.
Sebaliknya, suami merasa tidak terlayani istri dengan maksimal. Masing-masing memendam kekecewaan dan ketidak-puasan, hingga meletuslah pertengkaran. Jika tidak diatasi dengan baik, bisa memicu keretakan dan bahkan perceraian.
Keberadaan female breadwinners juga akan berdampak pada pengasuhan anak. Ibu pekerja memiliki waktu yang sangat terbatas dalam pengasuhan anak. Ini dapat berdampak pada perkembangan anak yang tidak maksimal, karena masa kecilnya tidak memiliki bonding dengan sang ibu. Anak-anak tumbuh dalam situasi motherless dan bahkan juga fatherless.
Secara materi, mungkin tercukupi. Tetapi itu harus dibayar mahal dengan pengorbanan seorang ibu yang menukar waktu untuk anak-anaknya dengan pekerjaan yang menghasilkan uang. Harga yang tidak sebanding, jika diingat bahwa peran ibu mendidik anak adalah fondasi lahirnya generasi penerus di masa depan.
Ideal dengan Islam
Fenomena female breadwinners bukanlah prestasi membanggakan jika dilihat dengan kacamata Islam. Ini adalah bentuk kegagalan negara dalam menjamin kebutuhan keluarga. Kegagalan negara memampukan para kepala keluarga laki-laki akan tanggungjawabnya untuk mensejahterakan keluarga.
Kenapa negara harus bertanggungjawab? Karena, keluarga adalah institusi terkecil yang butuh dukungan akan kebijakan negara yang mampu menopang berjalannya peran dan tugas suami. Misal, terkait lapangan kerja dan mekanisme upah yang layak.
Tanggung jawab utama nafkah bagi keluarga ada di pundak suami. Jika keluarga itu tidak memiliki kepala keluarga laki-laki, maka jalur wali dari kerabat laki-laki yang menggantikannya. Namun jika tidak ada, negaralah yang hadir untuk menjamin ekonomi keluarga tersebut. Bukannya malah mendorong para wanita untuk mengambil alih posisi sebagai pencari nafkah utama.
Perempuan tidak wajib menjadi tulang punggung utama. Tidak seharusnya perempuan memikul peran ganda. Perempuan yang sudah menikah, memiliki peran dan tanggungjawab tersendiri dalam mengurus rumah dan mendidik anak. Itu saja sudah sangat berat, maka tidak manusiawi jika dibebani lagi urusan mencari nafkah. Itulah keadilan dan kebenaran Islam dalam mengatur relasi suami istri dalam pernikahan.
Sayangnya, dalam sistem sekuler kapitalis saat ini, perempuan ditempatkan sebagai aset ekonomi. Diberdayakan agar memberi kontribusi materi. Didorong agar mandiri dan memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, bahkan keluarganya.
Akibatnya, tekanan hidup mereka meningkat. Banyak female breadwinners yang stres dan depresi, hingga tidak bisa menjalankan fungsinya. Inilah yang menyebabkan bangunan keluarga makin rapuh.
Berdayakan Laki-laki
Fenomena female breadwinners di Indonesia adalah realitas yang kompleks, dipicu oleh faktor ekonomi, sosial, dan individu. Solusi paling utama, kembalikan peran suami sebagai pencari nafkah utama (male breadwinners). Beri mereka lapangan kerja yang luas dan gaji yang layak untuk menjamin ekonomi keluarganya.
Jika para laki-laki bermalas-malasan dan enggan mencari nafkah, harus diedukasi dan diberi kesadaran. Digembleng tentang tanggung jawab utama mereka. Dibekali keterampilan untuk mencari nafkah atau kewirausahaan.
Namun, mengingat peradaban sekuler kapitalis global saat ini justru yang memproduksi female breadwinners, maka sistem Islamlah sebagai solusi tuntas untuk mengentaskan persoalan ini.(*)
Oleh: Kholda Najiyah
Founder Salehah Institute
0 Komentar