Topswara.com -- Kita hidup di era di mana "Bombardiro Crocodillo" dan "Ballerina Capuccina" sebagai puncak kelucuan dan pemantik gelak tawa. Frasa-frasa yang dulu mungkin kita anggap sebagai ocehan anak balita tanpa makna, kini menjadi mata uang sosial yang sangat berharga.
Generasi Z menganggap absurditas itu lucu. Kita, generasi kolonial yang mencoba mencari makna, merasa seperti terdampar di planet asing, mendengarkan percakapan dengan bahasa asing, di tengah perhelatan pesta yang sama sekali tidak kita pahami tujuannya.
Jika Konten Adalah Raja, maka Konteks Nomer Berapa?
Dulu, humor menjadi jembatan antara dua pikiran yang dibangun dari premis-premis logis, lalu ditimpali dengan kejutan yang cerdas, atau satire yang menampar. Kini, jembatan itu roboh, digantikan oleh jaring laba-laba digital, viralitas dan segala algoritma rumit di atas awan.
Humor Gen Z adalah manifestasi sempurna dari absurditas tanpa batas dan kerancuan konsep yang nampaknya disengaja. Mereka bisa melompat dari A ke Z tanpa melewati B, C, D, dan E. Ketika kita sedang mencari hubungan sebab-akibat, mereka justru bahagia merayakan ketiadaannya.
Apakah anda sadar bahwa ini bukan sekadar beda selera humor, tetapi dislokasi kognitif massal? Ketika akhirnya mereka terbiasa dengan rangsangan visual dan audio yang terfragmentasi, cepat, dan seringkali tanpa makna intrinsik dan konteks yang relevan, maka pemikiran rasional terasingkan dan dianggap tidak normal.
Konten dengan Ironi berlapis-lapis menjadi bahasa harian mereka, sampai-sampai kita tidak tahu apakah mereka sedang serius atau hanya sedang tertawa mengejek eksistensi itu sendiri. Inimanifestasi a "Self awareness" atau justru "Egosentris" itu sendiri? Terkadang ini sulit untuk dibedakan.
Mereka tahu leluconnya itu bodoh, tetapi justru di situlah letak kelucuannya. Sebuah meta kognitif yang cerdas, namun juga mengkhawatirkan. "Lucu karena kebodohan". Ini adalah pernyataan yang bagi sebagian dari kita lebih terasa seperti sebuah deklinasi atau penyimpangan daripada kecerdasan.
Kita mencoba mencari referensi, mungkin dari film lawas atau komik jadul untuk mendapatkan pola kelucuan. Tapi mereka tertawa karena potongan video TikTok yang viral atau meme absurd yang baru saja beredar. Kesenjangan konteks ini bukan lagi jurang, melainkan galaksi yang terpisah jutaan tahun cahaya.
Fenomena "Brain Rot"
Dibalik tawa yang kosong, ada bahaya senyap yang menggerogoti generasi, yaitu "Brain rot". Sebenarnya ini bukan diagnosis medis melainkan metafora mengerikan tentang degradasi fungsi kognitif yang disebabkan oleh pola makan digital yang hanya mengonsumsi "sampah" dalam dosis harian yang berlebihan.
Bayangkan sebuah kebun yang setiap harinya disirami dengan air sabun. Akarnya akan busuk, batangnya mengering, buahnya pun tak akan dihasilkan. Begitulah kondisi akal anak-anak yang sedang dalam fase pertumbuhan massif, ketika hanya dijejali dengan konten yang absurd, tanpa nilai, makna dan nutrisi intelektual.
Sedia Payung Sebelum Hujan
Orang tua mungkin tidak menyadari nya. Namun demikian, anak-anak yang tenggelam dalam lautan "Tung Tung Sahur" tanpa konteks yang relevan akan kehilangan banyak kemampuan. Diantaranya adalah :
1. Fokus dan Konsentrasi
Mereka akan terbiasa dengan gratifikasi instan dan rangsangan yang berubah setiap beberapa detik. Akibatnya, narasi panjang, diskusi mendalam, atau tugas yang membutuhkan konsentrasi berkelanjutan akan mereka rasakan sebagai siksaan.
2. Berpikir Kritis dan Analitis
Ketika yang "lucu" adalah yang tanpa makna, bagaimana mereka akan belajar menganalisis masalah kompleks, membedakan fakta dari fiksi, atau mengembangkan argumentasi logis untuk mempertahankan kebenaran ?
3. Berempati dan Menyelami Perasaan
Interaksi digital yang dangkal dan humor yang penuh keacakan bisa mengikis kemampuan untuk memahami kedalaman emosi, baik pada diri sendiri maupun orang lain.
Akibatnya? Jiwa yang hampa, mencari validasi instan dari like dan share daripada dari makna sejati kehidupan. Mereka terombang-ambing dalam gelombang kecemasan yang tak bertepi. Dan pada akhirnya, merasa "membusuk" dari dalam. Ini bukan lagi sekadar humor adalah indikasi krisis eksistensial.
Wallahu a'lam bish shawwab.
Trisyuono D.
(Aktivis Muslim)
0 Komentar