Topswara.com -- Berbagai masalah mewarnai penyelenggaraan haji 2025 diantaranya jamaah terpisah hotel yang menjadikan jamaah banyak yang berjauhan dengan pendampingnya termasuk terpisahnya waktu pemberangkatan antara jamaah haji dengan pendampingnya.
Hal ini menyulitkan para jamaah haji terutama jamaah yang lanjut usia yang membutuhkan pendampingan.
Selain itu keterlambatan evakuasi jamaah di Muzdalifah, menjadikan banyak jamaah yang berjalan kaki menuju Mina. Keterlambatan ini disebabkan karena kemacetan yang sangat parah. Sementara itu di Arofah jamaah mengeluh karena tenda yang disiapkan tidak sesuai kapasitas jamaah.
Dikabarkan ada 45 calon jamaah haji yang batal berangkat akibat visa tidak turun. Belakangan diketahui data visa ada yang mengubah dan mengganti menjadi data lain melalui akun haji pintar milik Kemenag.
Selain itu ada 49 orang yang terdiri dari 18 warga lokal dan 31 warga asing termasuk warga Indonesia ditangkap karena memberangkatkan sebanyak 197 calon jamaah haji tanpa izin.
Kepala Badan Pengelola Haji Indonesia, Gus Irfan Yusuf menjelaskan dalam penyataan resmi bahwa ada wacana dari Arab Saudi untuk mengurangi kuota haji hingga 50 persen pada tahun 2026. Padahal Indonesia sebelumnya adalah negara dengan kuota haji terbesar. Rencana pengurangan kuota ini tidak bisa dipandang sebagai isu kecil.
Keputusan ini dikarenakan hasil evaluasi penyelenggaraan haji Indonesia dinilai sangat buruk. Yang menjadikannya menjadi sorotan tajam. Tentunya keputusan ini akan berdampak langsung pada calon jamaah haji yang akan berangkat di tahun-tahun berikutnya.
Selain persoalan teknis di lapangan ketika puncak haji. Indonesia dinilai abai terhadap persyaratan yang diminta Arab Saudi diantaranya : data kesehatan tidak valid. Data kesehatan yang berbasis digital tidak sepenuhnya dipenuhi sehingga banyak jamaah haji yang mengalami kondisi kritis bahkan meninggal di pesawat ketika berangkat ke tanah suci.
Selain itu keterlambatan transportasi dari Muzdalifah ke Minna juga menjadi sorotan. Dan Indonesia dinilai buruk dalam kordinasi dengan pihak Arab Saudi.
Pengurangan kuota haji tentu akan menambah masalah baru dalam penyelenggaraan haji di Indonesia. Mengingat daftar antrian calon jamaah haji Indonesia sangat panjang.
Jika tahun 2025 diberangkatkan sebanyak 221.000 jamaah haji makan jika ditetapkan pengurangan kuota 50 persen makan akan ada 110.000 calon jamaah haji tidak bisa diberangkatkan tahun 2026 tentu ini akan menyebabkan antrian semakin mengular, calon jamaah manula berisiko tidak berangkat, dan dana simpanan haji akan makin membludak.
Kisruh Penyelenggaran Haji tahun 2025 ini kembali membuka mata kita, bahwa pengurusan ibadah yang suci ini tidak ditangani dengan optimal oleh negara sebagai ibadah yang sakral yang banyak bisa dilaksanakan satu tahun sekali oleh jutaan umat Islam di dunia.
Semuanya menunjukkan lemahnya perencanaan, koordinasi, dan eksekusi oleh pihak yang seharusnya bertanggung jawab baik negara asal jamaah maupun pihak penyelenggara yakni Negara Arab Saudi.
Sebagian pihak menuding, penyebab kekacauan penyelenggaraan haji 2025 diakibatkan oleh kebijakan baru yang ditetapkan Arab Saudi. Namun jika ditelusuri, akar masalah tidak hanya terletak pada aspek teknis atau sekadar perubahan aturan dari luar. Justru yang paling mendasar adalah bagaimana paradigma pengurusan haji yang selama ini dijalankan di Indonesia.
Selama ini penyelenggaraan haji dipandang sebagai urusan administrasi belaka. Penyelenggaraan haji tidak dipandang sebagai kewajiban negara mengurusi agama rakyatnya. Maka jika tetap demikian, kekacauan-kekacauan penyelenggaraan haji akan tetap terjadi dari tahun ke tahun.
Sistem penyelenggaraan haji hanya mementingkan aspek bisnis, profit, dan birokrasi berbelit. Pelayanannya terasa menjadi beban yang berat. Kapitalisasi dalam penyelenggaraan haji sejatinya akar masalah sesungguhnya. Semua ini menunjukkan bahwa kapitalisme tidak layak digunakan untuk mengurusi urusan umat Islam.
Islam menetapkan ibadah haji sebagai rukun Islam yang kelima. Rukun ini wajib dilakukan bagi muslim yang mampu baik secara fisik, keuangan, dan kemampuan selama perjalanan. Penyelenggaraan haji seharusnya ditata agar memudahkan jamaah haji dalam beribadah.
Fasilitas-fasilitas pendukung pun perlu disiapkan secara optimal seperti penyediaan penginapan, penyediaan tenda, berbagai kebutuhan di Arofah, Mina, Muzdalifah (Armudza) sebagai tempat penyelenggaraan puncak ibadah haji.
Selain itu layanan transportasi, konsumsi dsb. Semua itu menjadi tanggung jawab negara dalam Islam. Karena sesungguhnya penguasa adalah raain yang wajib mengurusi urusan rakyatnya termasuk perkara ibadah haji.
Seharusnya penyelenggaraan haji dilakukan dengan sangat serius, teliti dan penuh tanggung jawab. Negara dalam Islam akan menyiapkan mekanisme terbaik, birokrasi terbaik, layanan terbaik bagi para tamu Allah ini.
Segala pengurusan akan mendapat pengarahan dan pengaturan negara Islam yaitu khilafah Islam yang menaungi seluruh negeri muslim. Semua itu karena para pemimpinnya amanah dan takut kepada Allah SWT.
Fauziah Ali
(Aktivis Muslimah)
0 Komentar