Topswara.com -- Pada peringatan Hari Buruh Internasional (May Day), aksi demonstrasi digelar serentak di berbagai kota besar Indonesia, termasuk Semarang. Dua mahasiswa Universitas Diponegoro (Undip), RAS (FISIP) dan RES (FPIK), kembali ditangkap secara paksa oleh aparat kepolisian pada 13 Mei 2025 tanpa surat panggilan resmi.
Penangkapan ini merupakan buntut dari aksi May Day yang diselenggarakan di depan kantor Gubernur dan DPRD Jawa Tengah, dimana sebelumnya enam demonstran telah lebih dulu ditetapkan sebagai tersangka pada Kamis, 1 Mei 2025 (Tribun Jateng, 4/5/2025).
Keduanya dijerat Pasal 333 dan 170 KUHP atas dugaan penyanderaan terhadap anggota intel Polda Jateng, Brigadir Eka.
Namun menurut saksi, mereka justru melindungi aparat tersebut dari amukan massa. Sebagaimana disampaikan oleh Koordinator Aksi Kamisan Semarang, Fathul Munif, tindakan aparat dinilai sebagai pelanggaran hukum dan bentuk kriminalisasi gerakan mahasiswa.
Dugaan kriminalisasi makin menguat setelah beredar identitas pribadi mereka (doxing) melalui akun anonim di media sosial (Media Indonesia, 14/5/2025; Metro TV, 15/5/2025).
Peristiwa ini mencerminkan adanya ketimpangan antara prinsip demokrasi yang menjamin kebebasan berekspresi dengan praktik represif oleh aparat negara. Di satu sisi menjanjikan kebebasan berpendapat, di sisi lain justru menindas suara-suara yang kritis terhadap negara.
Penangkapan tanpa prosedur sah adalah tindakan represif yang menciderai prinsip hak asasi manusia dan mengancam ruang sipil yang bebas. Hal ini menunjukkan lemahnya perlindungan hukum terhadap rakyat.
Selain itu, akar dari konflik ini tidak terlepas dari sistem kapitalisme yang masih bercokol, di mana buruh diposisikan hanya sebagai alat produksi, bukan manusia yang memiliki hak atas kesejahteraan.
Ketika rakyat, termasuk mahasiswa, menuntut keadilan sosial, negara justru merespons dengan represi, bukan penyelesaian akar masalah.
Kebebasan berpendapat dalam Islam dijamin selama tidak bertentangan dengan syariat. Kritik terhadap penguasa atau sistem yang zalim bahkan menjadi bagian dari amar ma’ruf nahi mungkar. Rasulullah bersabda:
"Sebaik-baik jihad adalah menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Dalam sistem hukum Islam, tidak dibenarkan adanya penangkapan atau penahanan tanpa proses yang syar’i, yakni bukti yang valid, saksi yang adil, dan prosedur peradilan yang transparan. Islam tidak membenarkan intimidasi, kriminalisasi, atau penyalahgunaan wewenang terhadap rakyat yang menasihati penguasa.
Konsep hukuman dalam islam tidak semata-mata untuk menghukum, tetapi dibangun di atas dua asas utama yang adil dan penuh rahmat yaitu zawajir dan jawabir.
Zawajir (الزواجر) berfungsi sebagai efek jera dan pencegah agar masyarakat tidak mengulangi pelanggaran. Hukuman ditegakkan secara adil dan terbuka, sehingga menjadi pelajaran bagi masyarakat luas dan menjaga stabilitas sosial.
Sementara itu, jawabir (الجوابر) berperan sebagai penebus dosa bagi pelaku di hadapan Allah SWT. Jika seseorang menerima hukuman sesuai syariat dengan penuh keinsafan, maka dosanya akan dihapus dan ia tidak akan dimintai pertanggungjawaban yang sama di akhirat selama ia bertobat.
Dari sini tampak jelas bahwa dalam Islam, hukum bukanlah alat kekuasaan untuk menindas, melainkan bentuk kasih sayang Allah dalam menegakkan keadilan dan menyucikan manusia dari dosa. Hukum Islam hadir tidak hanya untuk menghukum, tetapi juga untuk memperbaiki.
Negara dalam Islam berkewajiban menjamin hak-hak rakyat, termasuk hak buruh atas upah yang adil, kepemilikan yang sah, dan perlindungan dari eksploitasi. Bila keadilan menjadi karakter sistem, maka aksi protes besar-besaran tidak akan muncul, sebab akar persoalan telah ditangani secara sistemik.
Kasus penangkapan mahasiswa Undip menunjukkan rapuhnya demokrasi dalam menjamin kebebasan berbicara. Alih-alih melindungi rakyat, hukum justru digunakan untuk menekan suara kritis. Demokrasi telah menjadi alat kepentingan elit, bukan sarana keadilan.
Berbeda dengan sistem Islam (khilafah), yang menjadikan syariat sebagai satu-satunya standar hukum. Dalam sistem ini, negara bertugas menjaga kemaslahatan umat, bukan melayani kepentingan oligarki.
Aspirasi rakyat tidak akan ditekan, karena negara bertindak sebagai pelindung, bukan penindas. Dengan penerapan Islam secara kaffah, kezaliman seperti penangkapan paksa terhadap mahasiswa yang menyuarakan kebenaran tidak akan terjadi.
Maka, solusi hakiki bukanlah sekadar reformasi hukum dalam sistem yang cacat, tetapi mengganti sistemnya secara total dengan sistem Islam yang membawa keadilan dan rahmat bagi seluruh alam.
Wallahu’alam bishawwab.
Oleh: Anggi Fatikha
Aktivis Muslimah
0 Komentar