Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Konsumerisme ala Kapitalis dan Jebakan Paylater

Topswara.com -- Penggunaan layanan Buy Now Pay Later (BNPL) atau paylater di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat. Menurut data dari PEFINDO Biro Kredit (IdScore), hingga Februari 2025, jumlah debitur BNPL telah mencapai 17,26 juta orang, meningkat sebesar 25,53 persen dibandingkan tahun sebelumnya (year o Lon year/YoY). 

Tan Glant Saputrahadi, Direktur Utama PEFINDO Biro Kredit (IdScore), menjelaskan bahwa tren pertumbuhan ini sejalan dengan peningkatan signifikan dalam penyaluran kredit BNPL.  (23/4/2025 Bisnis.com).

Peningkatan penggunaan layanan PayLater bukanlah kebetulan semata. Ia berkembang subur di tengah kondisi masyarakat yang kurang sejahtera. Sistem ini memanfaatkan kebutuhan dan ketidakberdayaan individu, menawarkan kemudahan dan fleksibilitas cicilan yang terlihat menggoda sebagai solusi instan untuk kebutuhan mendesak. 

Namun, ternyata PayLater merupakan jebakan utang yang disamarkan dengan teknologi dan istilah keuangan modern. Meskipun menawarkan kenyamanan, layanan ini meninggalkan dampak yang berat: ketergantungan dan tekanan psikologis yang mendalam.

Namun, mengapa masyarakat begitu mudah tergoda? Hal ini disebabkan oleh sistem yang tidak berpihak kepada mereka. Ketimpangan ekonomi, pengangguran masif, pemutusan hubungan kerja, dan penghasilan yang minim bersatu dengan biaya hidup yang terus meningkat. 

Dalam situasi yang terjepit dan tanpa perlindungan dari negara, utang menjadi pilihan "jalan selamat" yang justru mengarah pada keterpurukan lebih dalam.

Situasi ini tidak muncul begitu saja; ia merupakan hasil pahit dari sistem kapitalisme sistem buatan manusia yang mengedepankan keuntungan sebagai prinsip utama dan meremehkan nilai-nilai kemanusiaan serta moralitas. 

Dalam sistem ini, peran negara hanya sebatas mengatur arus ekonomi pasar, bukan sebagai pelindung atau penanggung jawab kesejahteraan rakyat. Kebutuhan dasar seperti pekerjaan yang layak dan pendidikan yang terjangkau diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar yang kejam.

Rakyat dipaksa berkompetisi di arena yang tidak adil, sementara para penguasa justru memberikan perhatian lebih kepada pemilik modal. Kekayaan terakumulasi di tangan segelintir orang, sementara mayoritas rakyat terpaksa bergantung pada utang, pinjaman, dan cicilan. 

Lebih tragis lagi, negara malah menjadi fasilitator legal bagi praktik riba yang dibalut dalam istilah modernitas.

Kapitalisme tidak hanya gagal dalam menciptakan kesejahteraan, tetapi juga telah mengikis peran agama dalam kehidupan publik. Praktik riba telah dilegalkan, lembaga keuangan berbasis bunga mendapatkan dukungan penuh, dan nilai-nilai syariah terpinggirkan. 

Inilah wajah sejati kapitalisme membebaskan segala bentuk transaksi asalkan menguntungkan, meskipun itu jelas bertentangan dengan ajaran Islam.

Selama kapitalisme dijadikan sebagai landasan kehidupan, harapan untuk adanya perubahan mendasar menjadi sangat tipis. Negara akan terus memproduksi solusi sementara yang hanya menguntungkan para elit global, sementara rakyat kecil terus menderita. 

Program subsidi yang penuh syarat, bantuan sosial dalam bentuk utang, dan digitalisasi layanan keuangan hanyalah upaya baru untuk mempertahankan dominasi kapital.

Islam menganggap bahwa jeratan utang bukan sekadar masalah individu yang gagal mengelola keuangan, melainkan juga sebagai indikasi adanya kerusakan sistemik yang lebih luas, yaitu kapitalisme. 

Solusi yang tepat bukanlah dengan memperbaiki beberapa aspek teknis semata, melainkan dengan mencabut akar permasalahan tersebut. Ini berarti menggantikan sistem yang ada dengan penerapan syariat Islam secara menyeluruh melalui institusi khilafah.

Dalam kerangka sistem Islam, negara berfungsi bukan hanya sebagai pengatur, tetapi juga sebagai pelindung sejati bagi umat. Negara berkewajiban untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat, seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan, tanpa menjadikannya sebagai beban ekonomi bagi rakyat. 

Dalam pandangan Islam, tidak ada konsep "akses bagi yang mampu," karena kesejahteraan adalah hak setiap individu, bukan sekadar barang dagangan.

Negara memiliki tanggung jawab untuk menyediakan lapangan kerja yang layak, agar rakyat dapat hidup mandiri dan terhindar dari jebakan utang. Dalam sistem ekonomi Islam, riba sepenuhnya dilarang. Setiap tambahan dalam utang-piutang, seperti bunga dan denda, dianggap haram tanpa pengecualian. 

Negara Islam tidak akan mentolerir lembaga atau aplikasi keuangan yang mempromosikan riba dengan dalih kemudahan digital.

Sebagai alternatif, khilafah akan menerapkan sistem keuangan yang berlandaskan pada akad syariah. Distribusi kekayaan akan diatur sedemikian rupa agar tidak hanya menguntungkan kalangan elite. 

Kekayaan yang dimiliki secara umum, seperti sumber daya alam, akan dikelola sepenuhnya untuk kepentingan umat dalam bentuk layanan publik gratis, transportasi yang terjangkau, serta pendidikan dan layanan kesehatan yang mudah diakses oleh semua kalangan.

Dalam sistem Islam, masyarakat tidak akan terbebani oleh gaya hidup konsumtif yang memaksa mereka untuk berutang. Negara berperan penting dalam membentuk kesadaran kolektif bahwa riba adalah musuh utama, dan keberkahan hidup hanya dapat dicapai dengan menjauhi transaksi yang dianggap haram. 

Selain itu, negara juga akan menutup segala kemungkinan praktik ekonomi yang bertentangan dengan syariat. Dengan demikian, tidak akan ada ruang bagi aplikasi atau lembaga yang menjalankan transaksi berbasis riba. Semua kebijakan yang diterapkan akan berlandaskan pada hukum Allah, bukan pada kepentingan korporasi.


Oleh: Kanti Rahayu 
Aliansi Penulis Rindu Islam 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar