Topswara.com -- Miris dan memilukan, itulah yang kita saksikan dari tayangan berita yang terus disajikan di media massa maupun di media online. Setiap hari kita disuguhi kasus tindakan kekerasan terhadap kaum perempuan.
Terlebih lagi kekerasan seksual yang bentuk nya semakin hari membuat mengeluh dada. Tentu kondisi ini menjadi satu hal yang sangat mengkhawatirkan ditengah masyarakat. Semakin hari rasa aman terasa semakin mahal.
Kekerasan seksual semakin merebak baik di tempat umum maupun di tempat privat, misal di rumah di mana seharusnya di sanalah tempat yang dapat menghadirkan rasa aman. Justru, kekerasan seksual itu dilakukan oleh orang terdekat yang seharusnya bertanggung jawab untuk melindungi.
Lalu, bagaimana peran negara dalam menjamin rasa aman masyarakat terkhusus dalam hal ini adalah kaum perempuan? Di mana peran mereka karena semakin hari kekerasan seksual bukan menghilang namun semakin berbilang. Yang kian memiriskan kekerasan seksual itu kini ada di lingkungan terdidik.
Terbaru, pada bulan April lalu terjadi pelecehan seksual yang dilakukan oleh tenaga medis kepada pasiennya. Belum lagi yang dilakukan oleh guru besar atau para pengajar kepada mahasiswa atau siswi yang seharusnya menjadi panutan dan pemberi keteladanan.
Data terbaru menunjukkan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat ada lima ribu lebih kasus yang terjadi hingga rentang April 2025 ini. Komnas Perempuan sendiri mencatat ada kenaikan 50 persen kasus dibanding tahun 2023 (metrotv.news, 7/3/2025).
Artinya, kekerasan seksual Ini mencapai titik kedaruratannya untuk mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Sekali lagi, UU TPKS sebagai payung hukum yang bisa menjadi alat untuk menekan kasus ini, belum bekerja efektif.
Sistem Kapitalis Tak Menjamin Perlindungan Perempuan
Sistem kapitalisme yang diterapkan di negeri ini, alih-alih menjamin kebebasan termasuk untuk kaum perempuan, namun fakta yang terjadi justru hilangnya rasa aman atas perempuan.
Kebebasan dalam kehidupan sosial bermasyarakat faktanya menimbulkan banyak peluang kejahatan dan tindak kekerasan.
Korbannya, lagi-lagi kaum perempuan yang dianggap lemah dalam relasi sosial di masyarakat hari ini.
Menurut wakil Komnas perempuan Sondang Frishka Simanjuntak, analisis Komnas Perempuan menyebutkan bahwa kekerasan terjadi pada berbagai profesi seperti politisi, APH, tokoh pendidik, tokoh agama dan juga dokter.
Menurutnya, profesi-profesi semacam ini menjadikan adanya tingkat ketimpangan yang menjadikan rentan terjadinya kekerasan seksual karena penyalahgunaan kekuasaan (kompastv, 24/4/25).
Hal ini semakin diperparah dengan kurangnya pengawasan dari lembaga dinas terkait. Padahal, pemerintah telah mensahkan undang-undang nomor 12 tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual (UU TPKS).
Namun fakta di lapangan adanya undang-undang tersebut tidak mampu mengatasi segala bentuk masalah kekerasan yang terjadi pada perempuan.
Tahun 2005 saja, Indonesia menduduki peringkat ke 7 dunia dalam tingginya pengakses pornografi.
Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) Meutya Hafid saat memperingati Safer Intenet Day di kantornya, Jakarta (Selasa, 18/2/25) mengatakan Indonesia menduduki peringkat ke empat secara global dan peringkat kedua di kawasan ASEAN dalam jumlah kasus pornografi anak secara dunia digital. Sungguh miris dan memilukan.
Islam Pelindung Sejati
Sulitnya memberantas kejahatan seksual ini tidak lain adalah karena negeri ini menganut sistem budaya sekuler liberalisme. Paham kebebasan ini meniscayakan interaksi laki-laki dan perempuan tanpa batasan yang jelas. Apalagi landasan agama sama sekali tak menjadi rujukan dalam hubungan sosial masyarakat.
Hanya Islamlah ideologi yang melindungi kaum perempuan. Kedudukan laki-laki dan perempuan dalam Islam setara. Yang membedakan hanyalah keimanan dan ketakwaan.
Allah SWT berfirman: "Siapa saja yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan, sementara dia seorang mukmin, sungguh akan Kami beri dia kehidupan yang baik. Mereka pun akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan" (QS. an-Nahl: 97).
Islam juga menjadikan iman dan takwa sebagai dasar hubungan pria dan wanita. Islam menjauhkan kaum Muslim dari perilaku permisif, hedonis dan sikap-sikap yang menperturutkan hawa nafsu. Islam mengajarkan bahwa pria dan wanita saling tolong-menolong dalam keimanan dan ketakwaan.
Islam mempunyai tindakan preventif dan kuratif untuk melindungi kaum perempuan. Hukum preventif itu di antaranya:
Pertama, pria dan wanita wajib menutup aurat dengan berpakaian muslimah dalam kehidupan umum, serta saling menjaga pandangan. Dengan menjaga pandangan akan dapat menghalangi segala yang memicu munculnya rangsangan hawa nafsu.
Nabi SAW bersabda, "Memandang wanita adalah panah beracun dari berbagai macam panah iblis. Siapa saja yang meninggalkan tindakan demikian karena takut kepada Allah, maka Allah akan memberi dia balasan iman yang terasa manis dalam kalbunya" (HR. al-Hakim dalam Al-Mustadrak).
Kedua, Islam mengharamkan khalwat yaitu berduaan pria dan wanita yang bukan mahram. Hal ini karena sering menjadi peluang bagi terjadinya perzinaan dan kekerasan seksual. Islam juga melarang ikhtilat, bercampur baur nya pria dan wanita kecuali untuk kepentingan muamalah, pengobatan dan pendidikan.
Ketiga, Islam mengharamkan tindakan eksploitasi terhadap perempuan seperti kontes kecantikan, ajang foto model, dan lainnya. mengeksploitasi tubuh dan penampilan perempuan tidak dibenarkan dalam Islam.
Kaum perempuan diperbolehkan bekerja di luar rumah berdasarkan keterampilannya, namun harus menutup aurat secara sempurna dengan memakai kerudung dan jilbab syar’i serta tidak tabarruj (berhias untuk menonjolkan kecantikannya).
Keempat, sebagai bentuk preventif, Islam juga menyiapkan sanksi keras bagi para pelaku kekerasan seksual terhadap perempuan. sanksi tersebut juga berlaku bagi pihak yang melakukan eksploitasi terhadap perempuan, seperti pihak yang memproduksi konten-konten pornografi.
Para pelaku ini dijatuhkan sanksi ta’zir, bisa berupa hukuman penjara, hukuman cambuk, bahkan hukuman mati jika dinilai sangat berat oleh pengadilan. Sanksi ini juga disiapkan untuk para pelaku pelecehan seksual seperti cat calling, menyentuh/meraba perempuan, mengintip, dan sebagainya.
Qadhi bisa memutuskan sesuai berat ringan pelanggarannya. Kemudian bagi para pelaku pemerkosaan ada sanksi yang jauh lebih berat. Jika pelakunya adalah lelaki yang belum menikah (ghayr muhshan) maka sanksinya adalah hukuman cambuk 100 kali dan diasingkan selama satu tahun di tempat terpencil. Jika pelakunya muhshan (sudah pernah menikah), maka sanksinya adalah hukum rajam hingga mati.
Demikian itu telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Kemudian bagi korban, wajib diberi perlindungan oleh negara, diberi perawatan fisik maupun mentalnya hingga pulih.
Dengan demikian, jaminan akan rasa aman dan tenteram akan diperoleh. Maka, kebutuhan solusi yang tuntas yang ditawarkan Islam untuk mengentaskan kekerasan seksual pada perempuan segera perlu kita hadirkan. Islam sebagai aturan yang memberikan kebaikan, bagi laki-laki dan perempuan, bagi masyarakat dan peradaban manusia, dunia dan di akhirat. []
Oleh: Noor Jannatun Ratnawati, S.Kom.l.
(Aktivis Dakwah di Bantul, DIY)
0 Komentar