Topswara.com -- Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan melalui Dinas Kepemudaan dan Olahraga meluncurkan program Sentra Pemberdayaan Pemuda sebagai upaya pengembangan potensi generasi muda.
Program ini akan dilaksanakan di 13 kabupaten/kota, dimulai dari Banjarmasin dan Hulu Sungai Utara, serta mencakup pembinaan organisasi kepemudaan, pelatihan kewirausahaan, keterampilan teknis, dan aksi sosial.
Peserta mendapatkan insentif Rp900.000 selama empat bulan serta dana bantuan sebesar Rp15 juta untuk pengadaan sarana kegiatan. Program ini diharapkan mampu mendorong terbentuknya kelurahan peduli pemuda dan memperkuat partisipasi aktif mereka dalam pembangunan
(diskominfomc.kalselprov.go.id, 16/04/2025).
Upaya ini tentu tidak terlepas dari kenyataan bahwa Indonesia saat ini sedang berada dalam masa bonus demografi, yakni kondisi di mana jumlah penduduk usia produktif mendominasi struktur demografi nasional.
Dalam perspektif global, United Nations Population Fund (UNFPA) menyebutkan bahwa bonus demografi hanya dapat dinikmati oleh negara yang mampu memastikan produktivitas kelompok usia produktifnya tinggi.
Artinya, mereka harus memperoleh layanan kesehatan yang baik, pendidikan berkualitas, pekerjaan yang layak, serta memiliki kemandirian dan daya saing tinggi.
Namun, realitas hari ini justru menunjukkan sebaliknya. Kemiskinan dan pengangguran masih tinggi, akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan masih menjadi tantangan, sementara kerusakan moral dan sosial di kalangan pemuda makin mengkhawatirkan.
Maraknya pergaulan bebas, narkoba, kejahatan jalanan, hingga krisis identitas menjadi ancaman serius bagi generasi muda. Jika dibiarkan, bonus demografi ini bukan menjadi kekuatan, tetapi justru menjadi bencana demografi.
Kondisi ini seharusnya menjadi alarm bagi semua pihak, khususnya negara, untuk mengevaluasi arah kebijakan pembangunan kepemudaan. Sayangnya, sistem kapitalisme sekuler yang menjadi dasar kebijakan hari ini justru melahirkan paradigma pembangunan yang sempit.
Pemuda hanya dipandang dari sisi ekonomi; pembangunan mereka diarahkan untuk menjadi tenaga kerja industri demi kepentingan pasar. Pendidikan pun hanya difokuskan pada pembentukan keterampilan (soft skill dan hard skill), tanpa menanamkan nilai dan kepribadian yang benar.
Padahal, generasi muda adalah penentu arah masa depan. Jika mereka hanya disiapkan sebagai penggerak roda ekonomi kapitalistik, lalu siapa yang akan menjadi penggerak peradaban? Sistem kapitalisme telah gagal memosisikan pemuda sebagai agen perubahan sejati.
Bahkan, ketika ada pemuda yang ingin aktif menyuarakan Islam dan memperjuangkan nilai-nilainya, justru sering dianggap ancaman.
Islam memiliki cara pandang yang sangat berbeda. Dalam sejarah peradaban Islam, pemuda justru menempati posisi terdepan dalam perubahan.
Usamah bin Zaid memimpin pasukan pada usia belia, Muhammad al-Fatih menaklukkan Konstantinopel di usia muda, dan banyak ulama besar yang lahir dari proses pendidikan Islam sejak dini.
Semua itu tak lepas dari sistem Islam yang membentuk kepribadian, visi hidup, dan kesadaran perjuangan pada diri generasi mudanya.
Dalam sistem khilafah, negara bertanggung jawab penuh membina pemuda agar menjadi pribadi bertakwa, cerdas, dan berjiwa pemimpin. Sistem pendidikan Islam dirancang untuk menanamkan akidah Islam sebagai dasar berpikir dan bertindak, sekaligus mengembangkan potensi akademik dan keterampilan mereka.
Negara juga menjamin pendidikan dan kesehatan gratis serta membuka lapangan kerja halal dan berkah. Pemuda tidak hanya disiapkan untuk bekerja, tetapi juga diproyeksikan menjadi penjaga peradaban, pelopor dakwah, dan pemimpin masa depan.
Dengan demikian, pemberdayaan pemuda dalam Islam tidak semata soal pelatihan ekonomi, tetapi membangun generasi visioner yang sadar akan tanggung jawabnya terhadap umat dan agama. Inilah arah sejati pemberdayaan pemuda: membentuk mereka sebagai pengemban dakwah dan penjaga risalah Islam yang terpercaya.
Jika negara ini sungguh ingin memanfaatkan bonus demografi dan mewujudkan visi Indonesia Emas 2045, maka paradigma pembangunan harus berubah. Selama sistem kapitalisme sekuler masih dijadikan fondasi, pemuda hanya akan jadi alat industri, bukan pembangun peradaban.
Maka, solusi mendasarnya bukan sekadar program pelatihan, tapi perubahan sistemis menuju penerapan Islam secara menyeluruh. Hanya dengan khilafah Islamiah, potensi pemuda dapat dimaksimalkan dan bonus demografi menjadi berkah yang sesungguhnya, bukan bencana. []
Oleh: Mahrita Julia Hapsari
(Aktivis Muslimah Banua)
0 Komentar