Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Mampukah Sritex Bertahan di Tengah Ganasnya Sistem Liberal

Topswara.com -- Mensesneg Prasetyo Hadi mengatakan 8.000-an buruh Sritex akan bekerja lagi dengan skema baru. Tapi pengamat ragu itu bisa terwujud.

Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Andry Satrio Nugroho menganggap waktu yang dibutuhkan untuk kembali memulihkan Sritex seharusnya tak cukup dalam dua minggu. Terlebih, proses going concern mesti dilewati melalui persetujuan kurator dan pengadilan.

Ia meragukan apakah ada investor baru yang bisa mengambil alih dan menyuntikkan dana segar kepada Sritex di saat investor sedang rendah, industri tekstil lesu, tidak ada regulasi yang mendukung dari pemerintah dan tidak ada pesanan yang sifatnya panjang atau memang sebetulnya akan ada dukungan dari pemerintah. 

Sangat hebat sekali jika dalam dua minggu sudah bisa mengembalikan kembali (operasional Sritex dan mempekerjakan kembali 8.000 buruh). Andry sejujurnya skeptis dengan opsi tunggal menyewakan alat-alat produksi kepada investor. 

Menurutnya, uang yang akan dihasilkan sekadar cukup menutupi sebagian kecil biaya operasional. Ia tak yakin pendapatan dari penyewaan alat-alat berat itu bisa untuk membayar gaji 8.000 buruh Sritex. Menurutnya, langkah tunggal itu tampak sulit diwujudkan (cnnindonesia.com, 4/3/2025).

Begitulah kondisi Sritex, hidup segan mati pun tak mau. Sudah menjadi rahasia umum bahwa apa yang sedang dialami Sritex bukan saja masalah keuangan internal, tapi Sritex juga menghadapi dampak dari krisis global yang menyebabkan penurunan pendapatan yang signifikan. 

Dimulai dari adanya pandemi Covid-19 lalu ditambah lagi dengan persaingan dagang yang tidak sehat dengan negara lain, khususnya China sukses memukul industri tekstil dalam negeri. 

Bagaimana tidak? Produk tekstil dari China yang dijual tanpa bea masuk antidumping serta tarif barrier menyebabkan terjadinya dumping harga, yaitu praktik dagang yang dilakukan dengan menjual barang di luar negeri dengan harga lebih murah daripada di dalam negeri dan memaksa perusahaan-perusahaan tekstil Indonesia, termasuk Sritex berjuang sendiri sekuat tenaga mempertahankan harga jual yang kompetitif. 

Namun sayang, tanpa peran negara berbagai upaya tersebut tidaklah cukup untuk mengatasi dampak persaingan harga yang keras di pasar global.

Dengan kata lain, bukan lagi dumping yang harus dihadapi oleh industri tekstil dalam negeri, akan tetapi telah mengarah kepada persaingan dagang tidak sehat berupa predatory pricing. Strategi ilegal tersebut menjual barang dagangan di bawah harga yang merupakan salah satu trik perdagangan yang bertujuan untuk monopoli. 

Parahnya lagi, di tengah kondisi perusahaan tekstil dalam negeri kembang kempis, pemerintah justru mengeluarkan Permendag 8/2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor yang salah satu isinya adalah relaksasi impor. Jadi, di satu sisi pemerintah membuka lebar pintu impor, tetapi di sisi lain berencana menaikkan bea masuk impor. 

Adanya kebijakan impor yang tidak berpihak pada industri dalam negeri itulah yang menjadi pemicu banyak perusahaan yang tumbang karena tidak sanggup bertahan. Padahal sebelumnya sektor industri sudah menghadapi berbagai tekanan, seperti tekanan dari sisi biaya produksi, kesulitan mendapatkan bahan baku, persoalan upah dan biaya energi yang makin mahal lantaran tidak disubsidi listrik untuk industri. 

Langkah lain yang seharusnya menjadi bagian solusi holistik melindungi industri dalam negeri adalah menerjunkan militer di pelabuhan untuk memeriksa kontainer barang impor satu per satu untuk memastikan tidak ada barang yang akan merusak pasar dalam negeri. 

Karena selama ini diduga produk murah China masuk ke Indonesia melalui dua jalur, yaitu legal dan ilegal yang melibatkan oknum kepabeanan dalam praktik pemalsuan dokumen terkait isi kontainer. Akibatnya, kontainer tersebut masuk begitu saja tanpa dicek satu per satu dengan dalih khawatir membuat antrean panjang.

Padahal, jika terbukti ilegal, barang bisa dikembalikan ke negara asalnya agar tidak merusak pasar dalam negeri.

Namun, langkah-langkah holistik, yaitu membangun industri dalam negeri, menyetop impor, dan pemeriksaan ketat di pelabuhan justru tidak ditempuh pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak serius melindungi industri dalam negeri. Pemerintah lebih berpihak pada pengusaha importir. 

Jadi, selama sistem ekonomi liberal yang diterapkan, maka mustahil negara mampu melindungi pelaku maupun pasar dalam negeri dan tanpa dukungan dan perlindungan negara berbagai upaya penyelamatan hanya akan menjadi omon-omon belaka. []


Oleh: Nabila Zidane 
(Jurnalis)                                                      
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar