Topswara.com -- Suatu saat Imam Ja’far ash-Shadiq sedang bersama budaknya yang sedang menuangkan air. Tanpa sengaja, air menciprati pakaian Imam Ja’far. Beliau lalu memandang budaknya dengan pandangan kurang suka.
Namun, sang budak buru-buru menyitir potongan QS Ali Imran ayat 134, “(Wa al-kâzhîmîn al-ghayzh (Orang-orang yang menahan marah).” Imam Ja’far berkata, “Aku telah menahan amarahku kepada kamu.” Sang budak melanjutkan, “Wa al-âfîna ‘an an- nâs (Orang-orang yang memaafkan manusia).” Imam Ja’far berkata, “Aku pun telah memaafkan kamu.” Sang budak melanjutkan lagi, “(Wa AlLâhu yuhibb al-muhsinîn (Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan).” Imam Ja’far kembali berkata, “Pergilah, engkau sekarang merdeka karena Allah, dan untuk kamu, aku beri hartaku sebesar seribu Dinar (sekitar Rp 4 miliar).” (Ibn al-Jauzi, Bahr ad-Dumû’, hlm. 175).
Begitulah keagungan Imam Ja’far. Ulama besar yang lahir di Kota Madinah pada tahun 80 H ini langsung mengamalkan seluruh isi kandungan ayat tersebut tanpa ditunda-tunda meski itu disampaikan hanya oleh budaknya. Yang lebih menakjubkan, hanya untuk menebus ‘kesalahan’-nya memandang budaknya dengan perasaan tidak suka ia rela membebaskan budaknya itu plus memberi budak itu sedekah seribu dinar (lebih dari Rp 4 miliar)!
Imam Ja’far memang dikenal sifat kedermawanan dan kemurahan hatinya. Beliau seakan meneruskan kebiasaan kakeknya, Zainal ‘Abidin, yaitu sering bersedekah dengan sembunyi- sembunyi. Pada malam hari yang gelap, ia sering memanggul gandum, daging dan membawa uang Dirham di atas pundaknya.
Semuanya beliau bagikan kepada orang-orang yang membutuhkan dari kalangan orang-orang fakir di Madinah tanpa diketahui jatidirinya.
Wajar jika Imam Ja’far ash-Shadiq amat dermawan karena beliau pernah berkata, “Sungguh, saya akan segera memenuhi kebutuhan (permintaan tolong) saudara-saudaraku (kaum Muslim) karena saya takut mereka tak lagi membutuhkan bantuanku jika aku menolak permintaan tolong mereka.” (Ibn Muhammad al-Ghazi al-‘Amiri ad-Dimasyqi, Adâb al-‘Usyrah wa Dzikr ash- Shuhbah wa al-Ikhwah, 1/57).
Bagaimana dengan kita? Sanggupkah kita menebus dosa-dosa kita dengan banyak bersedekah? Sanggupkah kita menghapus keburukan-keburukan kita dengan kebaikan-kebaikan kita? Sanggupkah kita menjadi orang dermawan dengan selalu siap menolong orang-orang yang butuh bantuan kita sebelum mereka merasa malu dan enggan meminta pertolongan kita?
Wa maa tawfiiqii illaa bilLaah.
Oleh: Ustaz Arief B. Iskandar
Khadim Ma'had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor
0 Komentar