Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Stunting Karena Miskin, kok Cuma Dibimbing?

Topswara.com -- Dalam waktu dekat, Kementerian Agama (Kemenag) melalui Ditjen Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam akan menerbitkan aturan wajibnya Bimbingan Perkawinan (Bimwin) bagi calon pasangan yang akan menikah. Aturan ini dimaksudkan untuk menekan tingginya angka stunting (Kompas.com, 30/3/2024).

Padahal, ada angin ada pohonnya. Setiap masalah tentu ada asal-usulnya. Masalah stunting jelas bersumber dari kurangnya pengetahuan tentang kecukupan gizi dan kemampuan ekonomi untuk mencukupi gizi itu. Kebijakan yang akan diterbitkan ini malah terkesan jauh panggang dari api. 

Konsekuensi dari pelanggaran aturan ini adalah tidak diterbitkannya buku nikah untuk kedua calon mempelai. Jika begini, wajar jika sebagian masyarakat menganggap aturan ini hanyalah celah untuk mempersulit pernikahan.

Kemiskinan Mengakibatkan Stunting

Jika kita menilik ketersediaan informasi soal gizi, dugaan penyebab stunting karena minimnya informasi tentu bisa dieliminasi. Sejak di sekolah dasar hingga pendidikan menengah, informasi soal sumber, jenis, dan komponen makanan bergizi telah diajarkan. Belum lagi, informasi soal gizi ini juga telah bertebaran di situs kesehatan dan sosial media.

Maka, satu-satunya hal logis yang menyebabkan tingginya angka stunting di Indonesia adalah karena tingginya angka kemiskinan. Menurut data tahunan Badan Pusat Statistik (BPS), pada Maret 2023 jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 25,90 juta jiwa (bps.go.id, 17/7/2023). 

Meski BPS belum merilis data terbaru, namun adanya krisis ekonomi dan PHK massal yang menimpa Indonesia pada 2024 ini, menguatkan dugaan bahwa angka kemiskinan akan mengalami peningkatan.

Kemiskinan secara pasti akan menurunkan daya beli masyarakat. Hal ini mengakibatkan menurunnya kemampuan mereka untuk membeli makanan bergizi. Keadaan memaksa para Ibu memutar otak untuk mengatur anggaran keluarga. 

Jika pendapatan menurun namun tagihan sekolah, listrik, dan air harus tetap dibayar, maka sudah pasti kebutuhan makanan bergizi akan dipangkas. Baik kualitas ataupun kuantitasnya.

Karenanya, mencanangkan kebijakan Bimbingan Perkawinan tanpa diiringi perbaikan kebijakan politik ekonomi adalah kebijakan prematur yang tidak menyentuh akar masalah.

Awal Kemiskinan: Sekulerisasi Politik Ekonomi

Kemiskinan dan kesenjangan ekonomi yang parah berawal dari diterapkannya sistem ekonomi kapitalisme di dunia. Sistem yang memberi kekuatan mutlak kepada para pemilik kapital (modal/uang) ini melegalkan dikuasainya sumber-sumber kepemilikan umum oleh individu/swasta. 

Akibatnya, segelintir orang dengan modal besar, mampu menguasai pasar. Tidak hanya itu, para kapitalis ini bahkan mampu menguasai politik ekonomi di sebuah negara.

Sistem ekonomi kapitalisme muncul sejak diberlakukannya ideologi kapitalisme dengan asas sekulerismenya. Sekulerisme meniscayakan tidak ada ruang bagi ideologi lain termasuk Islam, untuk mengatur urusan dunia. 

Namun, karena sistem ekonomi kapitalisme berasal dari buah pikir manusia yang lemah dan terbatas, maka sistem ini sarat cacat bawaan, diantaranya rentan krisis dan ketidakadilan.

Politik Ekonomi Islam: Anti Miskin

Islam adalah Ad-Diin yang diturunkan Allah kepada Rasulullah Muhammad SAW untuk mengatur umat manusia. Di dalamnya terkandung seperangkat aturan di bidang politik, ekonomi, sosial, termasuk persanksian. Rasulullah Muhammad SAW sebagai uswah hasanah telah memberi teladan bagaimana seperangkat ini diterapkan secara sempurna di tengah-tengah masyarakat Madinah yang majemuk.

Di bidang ekonomi, Islam telah menetapkan tiga jenis kepemilikan: pribadi, umum, dan negara. Kepemilikan pribadi haram diserobot oleh umum maupun negara. Sebaliknya, kepemilikan umum haram juga untuk dimonopoli oleh individu maupun negara. Melalui skema ini, negara tidak boleh menjual sumber daya alam yang merupakan milik umum kepada swasta apalagi asing.

Dalam politik ekonomi Islam, minyak bumi, gas alam, barang tambang non migas, energi listrik, sumber mata air dan hutan harus dikelola negara untuk kepentingan rakyat secara umum. Jika hasil produksinya surplus, negara diperbolehkan menjual hasil pengelolaannya kepada swasta. 

Laba hasil penjualan ini digunakan negara untuk membiayai pendidikan, kesehatan, dan keamanan rakyat. Dengannya, rakyat tidak lagi terbebani pembiayaan fasilitas yang sebenarnya adalah hak mereka.

Melalui pengaturan kepemilkan saja, Islam dapat memperkecil pengeluaran masyarakat. Penghasilan mereka dapat difokuskan untuk memenuhi kebutuhan pribadi, dari kebutuhan pangan yang layak, hingga kebutuhan tersiernya.

Maka cara paling jitu untuk mencegah stunting adalah dengan membuang sistem politik ekonomi kapitalisme sekuler dan menerapkan politik ekonomi Islam di tengah-tengah masyarakat. 

Dengannya negara bukan sekedar memberikan bimbingan dan penyuluhan, tapi justru mampu megentaskan kemiskinan yang menjadi sumber rendahnya daya beli masyarakat untuk memenuhi kebutuhan gizi mereka. 

Allahu a'lam.


Oleh: Rania
Aktivis Muslimah 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar