Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pajak THR, Pemalakan Harta Rakyat?

Topswara.com -- Ramadhan telah berakhir dan momen lebaran kian berlalu. Namun ada satu hal yang masih menyisakan masalah, salah satunya soal THR THR tahun yang tidak diterima oleh karyawan secara utuh sebab ada aturan baru tentang pajak penghasilan (PPh). 

Pajak THR tahun ini lebih besar dibandingkan tahun sebelumnya. Pemotongan PPh terhadap THR tersebut merugikan masyarakat sebab ini menggunakan mekanisme baru. Sejak 1 Januari 2024, pemerintah menerapkan skema penghitungan baru untuk potongan PPh Pasal 21. Skema baru ini menggunakan tarif efektif rata-rata (TER).

Berdasarkan skema lama, wajib pajak mesti menghitung jumlah penghasilan kena pajak (PKP) selama setahun. Tarif pajak kemudian dikenakan ke PKP itu untuk mengetahui jumlah pajak yang harus dibayar dalam setahun. 

Angka setahun itu lalu dibagi 12 untuk mendapat angka potongan PPh bulanan. Sedangkan berdasarkan mekanisme terbaru potongan PPh dihitung tiap bulannya. Oleh karenanya, potongan PPh pada bulan Maret atas pemasukan yang mencakup THR jadi lebih besar dibandingkan Februari yang tanpa THR.

Wajar banyak warganet yang mengeluhkan besarnya potongan pajak THR tahun ini. Namun Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu), Dwi Astuti mengatakan, penerapan sistem TER tidak menambah potongan pajak THR.

Berburu pajak, mungkin kata yang tepat disematkan pada negara yang menggunakan sistem ekonomi kapitalisme. Berburu takjil itu hal lumrah karena memang begitu banyak orang, jamaah atau masjid yang menyediakan takjil secara gratis dan suka rela. 

Akan tetapi berbeda halnya dengan berburu pajak. Tentu tidak ada rakyat yang senang jika hartanya apalagi gaji hasil keringatnya masih dipotong atas nama pajak. 

Meski begitu seolah hal yang biasa bagi negara untuk memotong penghasilan rakyat atas nama pajak. Begitulah memang dalam sistem kapitalis, sebab dengan penerapan sistem ekonomi kapitalistik otomatis negara miskin, tidak punya kekayaan. 

Sebab kekayaan strategis berupa kepemilikan umum baik barang tambang, padang rumput, dan kekayaan alam lainnya telah diprivatisasi alias diberikan kepada swasta. Dengan begitu, akhirnya negara tidak memiliki harta. Padahal roda pemerintahan itu berjalan butuh biaya yang tidak sedikit.

Rumah tangga saja butuh biaya operasional, apalagi negara. Terus dari mana uangnya? Satu-satunya sumber pemasukan utama negara yang kapitalistik adalah pajak. 

Pajak menjadi sumber pemasukan utama. Sehingga wajar, hampir semua lini ada pajaknya dan bisa ditetapkan pajaknya. Bahkan menteri keuangan selalu mencari inovasi baru untuk meningkatkan penerimaan lewat pajak. Miris dan tragis, rakyat yang sudah susah hidupnya ternyata diperparah lagi dengan berbagai potongan pajak yang mencekik.

Data menunjukkan bahwa pada 2023, realisasi pendapatan negara mencapai Rp2.774,3 triliun. Adapun penerimaan perpajakan mencapai Rp2.155,4 triliun atau 77 persen. Sedangkan nilai penerimaan negara bukan pajak (PNBP) pada 2023 hanya Rp605,9 triliun atau 21 persen. (Katadata, 3/1/2024). 

Itu berarti APBN negara dibiayai dari keringat dan jerih payah rakyat. Meski begitu, berbagai pelayanan pemerintah dan infrastruktur yang dibangun ternyata tidak serta merta bisa dinikmati oleh rakyat sebab semuanya bayar. Pendidikan, kesehatan bahkan lewat jalan tol harus bayar.

Hal ini tentu bertolak belakang dengan tatanan kehidupan Islam. Islam memiliki pos pemasukan yang jelas dan bersifat tetap, pajak tidak termasuk di dalamnya. Islam memerintahkan negara untuk mengelola setiap pemasukan dan pengeluaran sesuai hukum syariat. Pajak hanya diambil dalam kondisi tertentu saja, yaitu saat kas baitul mal kosong dan hanya dipungut dari orang kaya saja. 

Adapun pemasukan tetap baitul mal adalah pertama bagian fai dan kharaj termasuk di dalamnya ghanimah, anfal, khumus, jizyah. 

Kedua, bagian pemilikan umum di antaranya minyak dan gas, listrik, pertambangan, perairan termasuk laut dan sungai, hutan dan padang rumput.

Ketiga, bagian shadaqah, di dalamnya zakat uang dan perdagangan, zakat pertanian dan buah-buahan, serta zakat ternak.

Sejarah membuktikan bahwa pemasukan baitul mal khilafah mampu melahirkan masyarakat yang kaya sehingga tidak ditemukan orang miskin yang mau menerima zakat. Sungguh luar biasa sejahtera yang terwujud di masa khilafah, padahal saat itu khalifah tidak memungut zakat sama sekali. 

Hanya dengan penerapan sistem ekonomi Islam dalam naungan daulah Islam rakyat bisa sejahtera tanpa pajak. 

Allah SWT berfirman, "Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai apa yang telah mereka kerjakan" (QS. al-Araf: 96). []


Oleh: Nurjannah Sitanggang 
(Aktivis Muslimah)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar