Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Seperti Hasan bin Tsabit, Jadikan Kata sebagai Senjata

Topswara.com -- Pandanglah pelangi, dia indah karena warnanya yang beraneka rupa. Meskipun sekarang indahnya pelangi ternodai oleh kaum LGBT. Sejak mereka menjadikannya sebagai simbol gerakan.

Di Padang ada rendang. Pernah dinobatkan sebagai makanan terenak di dunia. Punya beragam bumbu. Sampai ada resep rendang yang begitu langka, namanya rendang 120 daun.

Perjuangan Islam juga jadi indah, karena ada warna warni di dalamnya. Warna warni pengorbanan yang diberikan setiap individu untuk mencapai cita: tegaknya kemuliaan Islam. Warna warni potensi yang didedikasikan dalam perjuangan.

Beragam model perjuangan dipersembahkan sahabat, generasi terbaik yang langsung dididik oleh Rasulullah. Ada yang memilih jalur harta untuk memaksimalkan perjuangannya. Tersebutlah nama seperti Abdurrahman bin Auf yang sulit menyaingi semangatnya dalam berinfak.

Di jalur jihad ada Khalid bin Walid, sang pedang Allah. Terampil berperang semenjak kafir. Jadi panglima yang tak terkalahkan. Sampai-sampai Saydina Umar bin Khattab pernah mencabut statusnya sebagai panglima jihad. Takut kalau ada pengkultusan. Di jalan jihad inilah Khalid bin Walid bermaksimal diri sesuai kemampuannya.

Hasan bin Tsabit, sahabat Rasul yang tidak viral karena sedekahnya. Juga jarang dijadikan contoh untuk jalur jihad. Karena dia punya keahlian sendiri yang membuat namanya abadi dalam sejarah. Dia adalah penyair di zaman Rasul. Kemampuan merangkai kata, menjadi amalan utamanya.

Kata Adalah Senjata

Perjuangan Hasan bin Tsabit, tidak bisa dipandang sebelah mata. Meskipun terlihat sederhana, hanya menulis syair. Namun syair-syair yang ditulisnya mampu memberikan serangan yang mematikan mental para musuh.

Masih ingat gerakan “Julidfisabillah”? Hanya dengan tulisan-tulisan dari netizen, cukup membuat mental pasukan Israel rapuh. Sampai Abu Ubaidah, juru bicara Brigade Al Qassam Hamas, mengucapkan terima kasih kepada “Ashabul Aqlam” terutama yang ada di Indonesia.

Ashabul aqlam adalah mereka para penulis, para konten kreator, yang dengan karya-karyanya mampu memberikan teror menakutkan pada akun-akun media sosial zionis Israel.

Pilih yang Mana?

Nah sekarang kita harus mengambil sikap, mau pilih jalur perjuangan yang mana? Untuk perjuangan Islam, tidak boleh ada yang golput. Harus ada jalur perjuangan yang kita pilih. Pandangi diri sendiri lalu lihat potensi yang dimiliki. Punya harta? Ikuti jejak Abdurrahman bin Auf. Punya kekuatan fisik, kemampuan perang, bisa meniru Khalid bin Walid. Meskipun hari ini jihad ofensif belum bisa dilakukan.

Apakah punya kecakapan merangkai kata? Hasan bin Tsabit adalah teladannya. Teringat dengan satu kalimat yang dinisbatkan kepada Syaikh Abdullah Azzam. Beliau pernah bilang, kalau peradaban Islam ini dilukiskan hanya dengan dua warna, yaitu merah dan hitam. Merah adalah warna darah para syuhada dan hitam adalah warna tinta para ulama. Silakan mau pilih yang mana, merah atau hitam.

Semangat Menulis

Kalau saya memilih menulis sebagai jalan perjuangan. Sebab merasa di dunia inilah saya mampu bermaksimal diri. Semoga semangat ini selalu terjaga. Bisa istikamah melahirkan karya-karya sebagai penyambung lisan Rasulullah.

Masalahnya istikamah itu tidak mudah. Ada yang di awal-awal semangat, seiring waktu berjalan, semangat itupun tergerus dan luntur. Ada yang di pertengahan jalan terkena “muntaber” (mundur tanpa berita). Bagaimana agar bisa tetap istikamah dan api semangat terus bergelora?

Agar api semangat terus terjaga, maka diri ini berkomitmen untuk selalu berada di lingkar para penulis ideologis. Katanya kalau mau jadi saleh, maka sering-seringlah berkumpul dengan orang saleh.

Juga mendengar nasehat Imam Ghazali yang pernah bilang kalau kau bukan anak raja, kau bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis.

Apa yang telah dilakukan oleh ulama terdahulu, membuat kita iri setengah mati. Umur ideologis mereka jauh membentang panjang dibanding umur biologisnya. Imam Syafii, umur biologisnya 54 tahun. 

Namun rasa-rasanya hari ini beliau belum “wafat”. Imam Syafii masih sering “hadir” di majelis-majelis ilmu. Umur ideologisnya sangat panjang. Pendapat-pendapatnya masih sering kita dengar. Kenapa bisa begitu? Karena beliau adalah penulis.

Dan bayangkan, aliran pahala yang terus mengalir kepada beliau, sampai hari ini. Ulama memang luar biasa. Dan tidak ada ulama besar yang bukan penulis. Maka benarlah satu kalimat yang sering diungkapkan oleh Pramoedya Ananta Toer; Secerdas apapun Anda, sepintar apapun Anda, jika tidak menulis maka Anda akan dilupakan oleh sejarah. Karena menulis bekerja untuk keabadian.

Mulailah bermimpi untuk menjadi penulis. Setelah itu sama-sama kita berjuang. Saling menguatkan. Berawal dari huruf pertama, menjadi kata, kalimat, hingga wacana yang mampu menggetarkan musuh. Dan kelak dari tulisan itu aliran pahala terus mengalir, meskipun penulisnya telah tiada. 


Oleh: Adi Wijaya
Pegiat Literasi
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar