Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pahala dan Dosa Tetap Mengalir Meskipun Kita Sudah Mati


TopSwara.comBuatlah Jejak yang Baik

Sungguh miris nasib seorang tokoh yang mati sementara selama hidupnya banyak melakukan penyesatan dan menyebarkan keragu raguan di tengah umat Islam. Dialah salah satu tokoh liberal, yang sengaja atau tidak, menjadi andalan penjajah kafir untuk menjinakkan umat Islam. Yakni mengemban misi merubah pemahaman umat Islam dari Islam yang sesungguhnya ajaran Nabi Muhammad SAW. Agar umat Islam pada akhirnya jinak kepada penjajah dan menerima dijajah secara sukarela. Tak lagi melawan penjajahan.

Bagaimana tidak miris dan ngeri. Sebab semua amal buruknya yang dia lakukan ketika masih hidup akan terus mengalirkan dosa kepadanya selama masih ada yang mengikuti kesesatan itu. Tanpa mengurangi dosa sedikitpun orang yang mengikutinya. Inilah atsar buruk yang dia tinggalkan di dunia pada saat dia mati.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآَثَارَهُمْ وَكُلَّ شَيْءٍ أحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ

Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12)

Allah mencatat bukan hanya amal yang kita lakukan pada saat kita masih hidup sebagaimana Allah Ta’ala berfirman dalam ayat di atas:

وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا

Dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan

Namun juga pahala dan dosa amal kita tetap mengalir meski kita sudah mati, sebagaimana Allah tegaskan: 

وَآَثَارَهُمْ

“(dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan) dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan.

Yang dimaksud “bekas-bekas yang mereka tinggalkan” adalah bekas kebaikan dan kejelekannya yang orang lain ikuti. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu ‘Abbas, Sa’id bin Jubair, Al Faro’, Ibnu Qutaibah dan Az Zujaj. [Zaadul Masiir, 9/8-9]

Disebutkan dalam Tafsir Ath Thobari sebuah riwayat dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata:

شكت بنو سَلِمة بُعد منازلهم إلى النبي صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم فنزلت( إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآثَارَهُمْ ) فقال: “عَلَيكُمْ مَنَازِلَكُم تُكْتَبُ آثارُكم”

Bani Salamah dalam keadaan kebimbangan karena tempat tinggal mereka jauh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas turunlah ayat (yang artinya), “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan”. Beliau bersabda, “Tetaplah kalian di tempat tinggal kalian. Bekas-bekas langkah kalian akan dicatat.” [Tafsir Thobari, 20/498).

Artinya di sini, langkah menuju masjid dalam amalan kebaikan akan dicatat, begitu pula langkah pulang dari masjid. Ketika seseorang menuntut ilmu, harus menaiki kendaraan karena sangat jauhnya tempat pengajian, maka putaran roda pun akan dicatat sebagai kebaikan karena ini adalah bekas amalan kebaikan yang ia lakukan. Begitu pula ketika seseorang harus mengeluarkan biaya untuk menuntut ilmu dari para guru (masyaikh) di luar negeri, maka setiap usaha menuju ke sana yang ia lakukan, itu pun akan dicatat. Begitu pula rasa capek dalam kebaikan, itu pun akan dicatat. Sungguh Maha Besar karunia Allah. Namun kita sendiri yang sebenarnya tidak menyadari hal ini.

Begitu pula bekas langkah dalam melakukan kemaksiatan pun akan dicatat. Ketika ia mengendarai mobil untuk menuju tempat zina dan berdua dengan kekasih yang belum halal baginya, langkah menuju tempat maksiat tersebut akan dicatat. Dengan mengetahui hal ini, sudah seharusnya kita pun tidak bertekad melakukan maksiat dan dosa

Sebagaimana tafsiran “bekas-bekas amalan” lainnya adalah bahwa bekas kebaikan dan kejelekan yang diikuti orang lain, itu pun akan dicatat. Artinya jika kebaikan kita diikuti oleh orang lain, maka kita pun akan mendapatkan pahala. Begitu pula jika kejelekan yang kita lakukan diikuti oleh orang lain, maka kita pun akan mendapatkan dosa.

Dalil yang mendukung tafsiran ini adalah hadis-hadis berikut ini:

مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ

Barangsiapa melakukan suatu amalan kebaikan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya ganjaran semisal ganjaran orang yang mengikutinya dan sedikitpun tidak akan mengurangi ganjaran yang mereka peroleh. Sebaliknya, barangsiapa melakukan suatu amalan kejelekan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya dosa semisal dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosanya sedikitpun.” [HR. Muslim no 1017]

Setiap bekas amal kita baik buruknya yang masih diikuti manusia maka kita tetap mendapatkan dosa dan pahalanya meskipun ribuah tahun sudah kita mati. 

Celakalah setiap orang yang ketika hidup menjadi penguasa kemudian dia menerapkan konsitusi maupun UU yang menyalahi syariat Allah. Kemudian diikuti oleh ratusan juta manusia sampai puluhan bahkan ratusan tahun setelah dia mati. Maka dosanya mengalir deras dari ratusan juta orang yang mengikutinya itu setiap detiknya. Maka kecelakaan mana yang lebih besar dari ini? 

Wahai para penguasa, pikirkanlah apa pilihan kalian. Apa kalian mau menerapkan syariat Allah yang kemudian mengalirkan pahala tak terputus puluhan bahkan ratusan tahun setelah kalian mati dari ratusan juta manusia? Ataukah kalian memilih tetap melaksanakan hukum kufur yang menjadi sumber dosa besar tak terputus meski kalian sudah mati ratusan tahun? Maka buatlah pilihan yang benar. []


Oleh: Ustaz Abu Zaid
Ulama Aswaja 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar