Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Ilusi Keadilan Demokrasi


Topswara.com -- Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? Demikianlah firman Allah dalam QS. Al Maidah ayat 50. 

Pertanyaan retoris dari Allah ini, menegaskan bahwa tidak selayaknya orang-orang beriman menolak hukum Allah dan malah mengikuti hukum hasil hawa nafsu manusia. Ayat ini juga menegaskan bahwa hanya hukum Allah (syariat Islam) saja yang merupakan syariat terbaik yang diturunkan Allah untuk seluruh manusia.

Pengabaian terhadap syariat Allah ini tentu akan mengantarkan manusia pada kondisi tidak ideal, bahkan kerusakan. Ketidakadilan hukum, kesenjangan ekonomi yang begitu tajam.

Penguasaan lahan dan barang tambang oleh para kapitalis adalah sebagian kecil bentuk kerusakan yang muncul karena kehidupan manusia diatur oleh hawa nafsu manusia lainnya. Hal-hal tersebut jika dibiarkan tentu bisa menimbulkan kerusakan dan kehancuran sebuah peradaban. 

Menkopolhukam Mahfud MD, sempat menyampaikan bahwa ketidakpastian hukum merupakan salah satu alasan terjadinya kemunduran di Indonesia (Kompas.com, 6/1/2024). Meski akhirnya menimbulkan blunder, pernyataan ini memang benar adanya.


Demokrasi Meniscayakan Ketidakpastian Hukum

Ketidakadilan hukum adalah cacat bawaan sistem demokrasi yang tidak akan mungkin kita hilangkan jika kita masih berpegang pada sistem buatan manusia ini. Demokrasi adalah sistem bernegara yang meyakini kedaulatan (hak membuat hukum) ada di tangan rakyat. Sekilas terlihat indah, namun kedaulatan di tangan rakyat tentu hanyalah ilusi yang tidak sesuai logika. 

Bagaimana mungkin, sebuah masyarakat atau bangsa yang besar jumlahnya bersepakat untuk membuat satu hukum bagi dirinya. Karenanya, praktik memproduksi hukum atau perundang-undangan dalam sistem demokrasi diwakiili segelintir orang yang dinamakan wakil rakyat. Melalui wakil rakyat inilah, hak kedaulatan di tangan rakyat direalisasikan.

Dalam tataran konsep demokrasi yang paling ideal saja, undang-undang yang dihasilkan oleh wakil rakyat adalah hasil dari hawa nafsu wakil rakyat yang belum tentu sejalan dengan keinginan rakyat. 

Apalagi jika ternyata wakil rakyat hanyalah petugas partai atau wakil kapitalis yang serakah. Undang-undang yang lahir dari wakil rakyat semacam ini tentu hanya akan berpihak pada kepentingan kapitalis dan orang-orang di sekitar mereka, bukan berpihak kepada rakyat.

Kedaulatan Milik Allah

Berbanding terbalik dengan demokrasi, Islam menetapkan kedaulatan atau hak membuat hukum hanyalah milik Allah. Di dalam Islam, manusia tidak bertindak sebagai legislator. Semua Undang-undang bersumber dari Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dari sinilah keadilan hukum berawal. Karena hukum hanya berasal dari Zat Yang Maha Adil dan tidak memiliki kepentingan apapun kepada manusia.

Dalam penyelenggaraan negara, ada khalifah yang berperan sebagai kepala negara. Tugasnya memastikan terlaksananya hukum tersebut di tengah-tengah masyarakat. Untuk mengawasi dan menjaga tegaknya hukum agar senantiasa sesuai syariat, ada lembaga peradilan yang dinamakan Al-Qadhi. Kontrol masyarakat akan jalannya pemerintahan dan hukum dilaksanakan oleh tokoh dan wakil rakyat dalam Majelis Umat.

Karena sistem dan perangkat hukum Islam inilah, praktik ketidakadilan hukum dan perundang-undangan akan dapat dicegah sejak awal. Hukum akan tegak tanpa terkecuali. Struktur administrasi negara diisi oleh orang-orang yang paham bahwa jabatan kekuasaan adalah amanah yang akan mereka pertanggungjawabkan hingga akhirat, bukan orang-orang yang haus kekuasaan.

Saatnya tentukan pilihan. Masihkah kita percaya pada ilusi keadilan demokrasi? Tidak inginkah kita kembali kepada sistem Islam, Al Khilafah 'alaa minhaajin nubuwwah yang terbukti memimpin dunia dan membawa keadilan bagi muslim dan non-muslim selama 14 abad lamanya? Pilihan kita menentukan akhirat kita.


Oleh: Ranita 
Aktivis Dakwah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar