Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Urgensi Ta'awwudz dalam Kehidupan Sehari-hari


Topswara.com -- Allahumma inni a’uudzubika min haadza asy-syaithooni ar-rojiim. Lafadz perlindungan kepada Allah atau ta’awwudz adalah terhadap setan beragam rupa bentuknya. Gangguan baik rupanya sebagaimana tersebut dalam surat an-Naas dari golongan Jin yang sifatnya kasat mata juga dari golongan manusia.

Jika dalam pembukaan pembacaan ayat Suci Al-Qur’an, yang umumnya sebelum diikuti persaksian Allah dengan lafadz bismillah ar-rahmaan ar-rahiim, terdapat ta’awwudz secara mutlak sebagaimana yang diajarkan Rasulullah. 

Selain sebagai perintah Allah dalam Al-Qur’an sendiri, Rasulullah mencontohkan tawwudz jika hendak membaca Al-Qur’an, sebagai contoh dalam redaksi berikut:

أَعُوذُ بِاللَّهِ السَّمِيعِ الْعَلِيمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ

A’uudzubillahi as-samii’i al-‘Aliimi mina asy-syaithooni ar-rojiimi min hamazihii wa nafkhihii wa nftsihi” artinya: “aku berlindung kepada Allah yang Maha Mendengar dari syetan yang terkutuk dari kegilaannya, kesombongannya dan nyanyiannya yang tercela” (H. R. Abu Daud 775).

Kembali kepada ta’awwudz spesifik atau muqoyyad di atas, dipandang penting atas pertimbangan peranannya dalam kehidupan sehari-hari yaitu sebagai berikut:

Pertama, bukti percontohan dari Rasul. Rasul senantiasa berlindung kepada Allah dari gangguan setan yang pada dasarnya bersifat kontraproduktif. Maka sudah semestinya manusia khususnya ummat Islam mengikuti beliau Shallahu ‘alaihi wa sallam dan sebisa diri untuk tidak mengikuti (jejak-jejak) setan yaitu berlindung kepada Allah.

Kedua, mengingat kekuasaan Allah. Manusia dan seluruh semesta adalah milik Allah dan tidak lepas dari kekuasaan dan ilmu Allah, termasuk setan adalah ciptaanNya juga. Maka sudah sepantasnya berlindung kepada Allah dari (gangguan) selain dariNya.

Ketiga, perlindungan diri kepada Allah dari rasa sedih atau cemas karena was-was setan. Pengalaman masa lalu dijadikan setan sebagai pemantik bagi setan agar hadir rasa sedih dalam diri manusia, serta menjadikan harapan berupa rencana atau cita-cita di masa depan sebagai bahan agar manusia was-was dan bahkan mengalami kecemasan berlebihan, maka berlindunglah kepada Allah.

Keempat, perlindungan diri kepada Allah dari amarah. Karena marah adalah perbuatan yang dipengaruhi setan, maka jalan yang tepat agar tidak atau dapat menahan marah adalah dengan berlindung darinya kepada Allah yang menciptakan segalanya.

Kelima, perlindungan diri kepada Allah dalam berjuang agar pantang menyerah. Perjuangan orang terdahulu dikatakan bagai mutiara setidaknya bagi penerus perjuangannya. 

Artinya perjuangan senantiasa untuk dilanjutkan. Ketika terdapat halangan untuk menyerah berjuang, sadarilah bahwa syetan sedang menggoda dengan membuka berbagai pintu bagaimana cara menghentikan perjuangan atau jihad.

Keenam, perlindungan diri kepada Allah dari bisikan-bisikan untuk berbuat jahat, curang, dan menyimpang. Hal ini umumnya terjadi tatkala manusia selesai dari suatu urusan dan berlama-lama untuk tidak melanjutkannya atau bersegera berpindah dengan urusan positif lainnya. 

Atau waktu kosong tanpa diisi amal salih seperti zikir, membaca Al-Qur’an dan lain sebagainya terlebih terlampau lama menjadikan syetan leluasa menancapkan gigi pengaruhnya terhadap manusia.

Ketujuh, secara dalil nash Al-Qur’an dan Hadits tidak ada, setidaknya penulis belum menemukan, namun Imam Besar al-Ghazali mengajarkan, yaitu perkindungan kepada Allah dari setan saat sedang masuk (melaksanakan) shalat dari redaksi Al-Qur’an Surat al-Mukminuun ayat 97-98, yaitu: “robbi a’uudzubika min hamazati asy-syayatiini wa a’uudzubika robbi an yahdluruuni.” Artinya, “Tuhan aku berlindung kepada Engkau dari godaan syetan dan aku berlindung kepada Engkau dari kehadiranNya.”

Kedelapan, bisikan berpotensi menjadikan hati berpenyakit, seperti sombong, amalannya ingin didengar (sum’ah), dilihat (riya). Sebelum bisikan tersebut secara terus-menerus dan menjelma penyakit hati maka segeralah berlindung kepada Allah sebab akibatnya bisa tidak diterima amal.

Kesembilan, kekaguman tidak pada tempatnya. Kekaguman yang muncul, baik dari rasa ataupun berasal dari hasil tafakkur (berpikir) terhadap Allah dalam keadaan berdiri ataupun duduk adalah keniscayaan. 

Namun kekaguman terhadap perbuatan yang berbau kejahatan, kerusakan atau keburukan lainnya adalah kesalahan, terhadap hal-hal tersebut justru harus disikapi dengan menyelisihinya atau lebih baik lagi melakukan pelarangan terhadap bentuk kemungkaran tersebut, tentu dengan cara-cara yang makruf.

Setan tidak berkuasa terhadap manusia. Bahkan sejatinya syetan tidak berdaya di hadapan manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi, hal ini sebagaimana terkisah dari pembangkangan Iblis untuk menghormati (sujud) kepada Adam, dalam Al-Qur’an Surat Al-Israa’ ayat 65 yang artinya “sesungguhnya hambaKu (Allah) terhadap mereka tidak ada bagimu (syetan) kuasa, dan Allah Maha Mendengar Maha Mengetahui.”

Allah melalui ayat ini berikut tuntunan nabi sebagaimana tersebut adalah jaminan atas kuasa manusia atas syetan, maka jangan sampai jaminan tersebut membuat kaum Muslimin lalai atas eksistensi dan usaha ganggungan mereka yang dapat menjerumuskan ke dalam jurang neraka jahannam. 

Sebab mereka tidak akan berhenti dengan berbagai cara dan usaha apa dan bagaimana pun kodisinya sampai manusia mengikuti mereka. wa na’udzubillahi min dzaalik.


Oleh: Nazwar, S.Fil. I., M.Phil
Penulis Lepas Yogyakarta
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar