Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pantaskah Bakal Calon Legislatif Mantan Narapidana?


Topswara.com -- Mantan narapidana dari kasus korupsi (napi) kini diperbolehkan mendaftarkan diri sebagai calon anggota legislatif (bacaleg) pada pemilu 2024. Hal ini berkat putusan Mahkamah Agung (MA) No 30/P/HUM/2018 yang menyatakan bahwa mantan napi berhak untuk mendaftarkan kembali sebagai bacaleg baik level DPD, DPRD, hingga DPR RI dengan beberapa alasan. 

Dilansir dari cnn, pertama, adanya alasan pelanggaran HAM jika para mantan napi ini dilarang ikut serta sebagai bacaleg tahun 2024. Kedua, ada setidaknya empat (4) peraturan KPU yang mengatur tentang pemilu tidak menjelaskan secara terperinci terkait eks napi koruptor nyaleg kembali, sehingga dianggap masih ada kekosongan hukum yang bisa diisi dengan putusan terbaru ini. Ketiga, aturan pemilu serentak 2024 yang menyiratkan kemudahan bagi eks napi korupsi untuk kembali nyaleg.

Selain keputusan MA, Indonesia Corruption Watch (ICW) juga telah merilis 12 nama calon anggota legislatif (caleg) yang berstatus eks narapidana korupsi untuk ajang kontestasi pileg 2024 mendatang. 

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan bahwa ada 12 nama calon anggota legislatif yang ditemukan dalam daftar calon sementara (DCS) yang dirilis pada 19 Agustus 2023 ternyata adalah mantan narapidana korupsi. 

Tentu hal ini menegaskan bahwa partai politik sebagai pengusung bakal calon anggota legislatif (caleg) ternyata masih memberi karpet merah kepada mantan terpidana korupsi. 

Jika mantan narapidana korupsi masih bisa mencalonkan diri sebagai wakil rakyat dimana kelak apabila terpilih, merekalah yang akan menjadi pemimpin masyarakat. Lantas seperti apakah wajah Indonesia sepanjang 2024-2029?

Korupsi Bahaya Laten Demokrasi 

Dalam sistem demokrasi, korupsi sudah menjadi rahasia umum dimana setiap level pemerintahan mulai dari desa hingga negara semua tidak terpisah dari praktek korupsi. 

Hal ini merupakan perkara alami karena pelaksanaan sistem demokrasi membutuhkan mahar politik yang begitu besar sehingga hanya mereka yang memiliki modal besarlah yang akan maju ke dalam ajang pesta besar demokrasi. 

Sebut saja pemilihan umum tahun 2019, Sekretariat Kabinet RI telah merilis besaran anggaran pengadaan pemilu serentak tahun itu yakni sebesar Rp. 25,59 triliun yang dialokasikan untuk penyelenggaraan, pengawasan, hingga kegiatan pendukung seperti keamanan. 

Sementara untuk level pemilihan gubernur (pilgub), beberapa provinsi seperti Bali telah menyepakati bahwa anggaran pilgub disepakati sebesar Rp. 196 miliar. Untuk level daerah, beberapa wilayah menyepakati anggaran sebesar Rp. 35,4 miliar seperti yang terjadi di Sampang, Jawa Timur. Nominal yang begitu besar ini tidak mungkin murni berasal dari anggaran negara Rp. 2.463 triliun dengan defisit anggaran Rp. 598,2 trilun pada tahun 2023 ini. 

Lantas dari mana pintu dana dibuka untuk melaksanakan ajang pesta demokrasi ini? Tentunya dari para pemilik modal atau oligarki kapitalis, baik yang kini berada di kursi singgasana pemerintahan setiap levelnya, atau kapitalis murni yang selama ini berada di balik penguasa untuk membiayai tahun-tahun politik semacam ini. 

Sebut saja mantan napi yang tercatat oleh ICW Susno Duaji dari PKB Dapil Sumatera Selatan II, ia pernah dipenjara akibat korupsi penanganan PT Salmah Arowana Lestari yang notabene merupakan perusahaan budidaya ikan arwana di Pekanbaru dan telah mampu memberikan andil pendapatan daerah dari hasil ekspornya. 

Atau Al Amin Nasution dari PDIP Dapil Jawa Tengah VII, ia pernah dipenjara karena menerima suap dari Sekda Kabupaten Bintan, Kepri dalam rangka proyek alih fungsi hutan lindung. 

Kedua bacaleg dan bacaleg lain, hingga bacapres sekalipun, bisa diteliti bahwa dirinya melibatkan pemilik modal dalam proses pencalonannya sebagai anggota legislatif atau pun sebagai presiden. 

Akibatknya, ada timbal balik politik yang harus dibayar oleh si bacaleg atau capres ketika dirinya telah terpilih. Ia pun akan menggunakan semua yang ada di bawah kuasanya untuk bisa mengembalikan mahar politik pinjaman termasuk membuat kebijakan yang memuluskan kepentingan pemilik modal (biasanya pengusaha). 

Akhirnya politik transaksional pun tidak dapat dihindarkan dan masyarakatlah korban mutlaknya, sebab penguasa hanya akan fokus pada pengembalian utang saat ajang pesta demokrasi daripada mengurusi hajat hidup masyarakat luas. 

Dengan demikian, perhatian dan arah pandang politik pada tahun 2024-2029 tidak akan jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, dimana para penguasa masih menjadi pelayan bagi pemilik modal atau oligarki kapitalis dan bukan untuk melayani kepentingan rakyat. 

Kasus korupsi pun masih akan tetap ada selama masih menggunakan sistem demokrasi yang mahal dan memang secara alami akan mencetak koruptor-koruptor dari “kelas teri” hingga “kelas kakap”. 

Di samping itu, hukum di Indonesia juga sampai hari ini belum mampu memberikan efek jera kepada para pelaku korupsi, hukum masih bisa diperjualbelikan, hingga hukum yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Sulit sekali menemukan keadilan dalam sistem demokrasi.

Bagaimana nasib rakyat?

Sebagaimana yang telah diprediksi, dengan skema politik demokrasi yang ada, masyarakat tetap akan berada dalam posisi tidak menguntungkan. Alih-alih mendapatkan kesejahteraan, masyarakat justru kian disuguhi praktek korupsi yang telah mendarah-daging dalam sistem demokrasi ini. 

Di satu sisi, masyarakat masih saja kesulitan dalam mencari pekerjaan walau pun ia telah melampirkan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) yang mengindikasikan bahwa dirinya “bersih” atau tidak memiliki catatan kriminal. 

Namun di sisi lain, para penjabat yang nantinya akan menjadi penguasa dan memerintah masyarakat justru berasal dari kalangan yang “kotor” SKCK dan mendapatkan kemudahan yang tidak bisa diperoleh masyarakat pada umumnya. 

Sebuah ironi dalam negara demokrasi yang mengatakasnamakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat justru pada hakikatnya adalah dari pengusaha, oleh penguasa, untuk oligarki.

Berbeda halnya dengan sistem Islam, dimana syari’at Islam telah menggariskan bahwa wakil umat adalah individu-individu yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT serta paham betul apa dan abagaimana menjalankan syariat Islam dalam ranah bernegara. 

Syarat iman dan takwa ini mutlak adanya, agar kelak ketika wakil-wakil umat ini terpilih untuk menyambung lidah rakyat, tidak terbersit dalam pikirannya melakukan penyelewengan atau pelanggaran syari’at Islam yang akan mendatangkan murka Allah SWT. 

Islam juga telah memiliki mekanisme untuk memberikan hukum yang mampu memberi efek jera seandainya memang ada individu khilaf melakukan pelanggaran syari’at, semisal hukum potong tangan bagi pelaku korupsi dan sanksi sosial yang akan didapat dari hasil hukuman potong tangan tersebut. 

Hukum semacam ini walau terkesan mengerikan, pada hakikatnya mampu berperan ganda, yakni berfungsi sebagai pencegah dan penyembuh pelaku maksiat. 

Orang akan tercegah dari mencuri apa yang bukan menjadi haknya sebab ia tahu akan dipotong tangganya apabila ketahuan, di sisi lain orang yang sudah bermaksiat juga akan sembuh dan bertaubat karena “bekas” kemaksiatannya terlihat sepanjang ia hidup hingga ajal menjemput. 

Khatimah 

Sudah saatnya kita kembali kepada penerapan sistem Islam yang agung setelah melihat dan merasakan segunung kecacatan sistem demokrasi ini. Rakyat hanya akan mengalami kerugian, sementara kekayaan dan kemudahan hidup hanya akan terus diwakilkan oleh para penguasa berselingkuh dengan pengusaha.


Oleh: Prayudisti S. Pandanwangi
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar