Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Balada Impor yang Makin Menggila


Topswara.com -- Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan enggan memberikan penjelasan terkait progres perizinan dan proses impor beras dan kerbau yang akan dilakukan pemerintah untuk menjaga stok jelang lebaran. Kata dia, seluruh kuasa impor ada di Bulog. 

Padahal, rencana impor komoditas pangan baik daging kerbau, beras, dan gula lampu hijaunya berada di Kementerian Perdagangan. Pemerintah merencanakan impor daging sapi dan kerbau sebesar 200 ribu ton untuk mengamankan pasokan jelang idul fitri. Tidak hanya itu, pemerintah juga mengimpor Gula Kristal Putih (GKP) sebanyak 991 ribu ton pada tahun ini. 

Sedangkan untuk beras, terakhir stok beras di Bulog hanya sampai 220 ribu ton saja di tengah kebutuhan nasional sebesar 2,5 juta ton. Meski sebentar lagi masa panen tiba dan produksi nasional diperkirakan mencapai 1,3 juta ton, namun pemerintah tetap membuka peluang impor beras ini (republika.co.id, 2/4/2023).

Demikianlah kondisi negara dengan mayoritas penduduk Muslim, kebijakan yang diambil penguasa tidak menyelesaikan masalah. Namun menambah masalah baru dan makin pelik. Rakyatlah yang menjadi korbannya. Ketergantungan impor menjadikan industri dalam negeri tidak berkembang dan menjauhkan dari kemandirian bangsa. 

Impor yang menggila akan terus menggerus kemandirian negeri selama rezim tetap berpegang pada kebijakan ekonomi neolib. Untuk menghentikannya dibutuhkan negara yang punya visi jelas, pemerintah yang berperan sebagai pelayan bukan segelintir pebisnis, serta sistem ekonomi syariah bukan ekonomi yang pro kapitalis. 

Seyogianya jabatan kepemimpinan dijalankan dengan tanggung jawab dan amanah, bukan dijadikan kesempatan meraup keuntungan demi kelompoknya. 

Wahai para penguasa, kekuasaan itu adalah amanah yang akan ditanya pertanggung jawabannya. Jalankan amanah itu sesuai perintahNya, niscaya keselamatan dunia serta akhirat akan didapat. 

Salah urus pemerintah dalam sektor pangan, terlihat pada rendahnya pasokan dalam negeri serta ketidakmampuan pemerintah dalam menjaga kestabilan harga. 

Tentu masih terngiang di benak kita sikap instan pemerintah yang mengatasi kelangkaan bahan pangan melalui kebijakan impor. 

Kasus impor 500 ribu ton beras tahun lalu yang dinilai tidak efektif dan dirasa aneh serta terburu-buru karena justru pada saat itu negeri ini menghadapi masa panen raya, padahal data dari Kementerian Pertanian mengklaim bahwa saat itu kita mengalami surplus beras sebesar 329 ribu ton.

Sejatinya, kebijakan impor hanya menguntungkan segelintir pihak mafia yang bermain di sektor ini dan tidak pernah berpihak pada rakyat, bahkan dampaknya rakyat makin terpuruk.

Namun sayang, kebijakan pemerintah ini beberapa waktu lalu justru berlanjut pada komoditas lainnya seperti bawang putih, garam untuk kebutuhan industri serta gula. Oleh karena itu, slogan swasembada pangan di negeri ini hanyalah jargon pencitraan belaka.

Problem kenaikan harga pangan yang  selalu berulang, adanya mafia pangan dan ketidaksinkronan antara kebijakan impor dengan data kementerian pertanian seperti pada kasus impor beras tahun lalu menunjukkan betapa carut marutnya tata kelola dan data pangan di negeri kita ini. 

Penyebabnya tidak lain adalah karena diterapkannya sistem kapitalisme dimana pihak penyelenggara pemerintah terfokus pada perhitungan untung dan rugi, bukan pada kesejahteraan rakyat.

Sebagai sebuah agama yang sempurna, Islam memiliki konsep dan visi dalam mewujudkan ketahanan pangan. Islam memandang pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang wajib dipenuhi per individu. 

Seorang pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah kelak bila ada satu saja dari rakyatnya yang menderita kelaparan. Syariah Islam juga sangat menaruh perhatian pada upaya untuk meningkatkan produktivitas lahan.

Dalam Islam, tanah-tanah mati yaitu tanah yang tidak tampak adanya bekas-bekas tanah itu diproduktifkan, bisa dihidupkan oleh siapa saja baik dengan cara memagarinya dengan maksud untuk memproduktifkannya atau menanaminya dan tanah itu menjadi milik orang yang menghidupkannya itu. Rasul bersabda; “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya”. (HR. Tirmidzi, Abu Dawud).

Selanjutnya, siapapun yang memiliki tanah baik dari menghidupkan tanah mati atau dari warisan, membeli, hibah, dsb, jika ia telantarkan tiga tahun berturut-turut maka hak kepemilikannya atas tanah itu hilang. 

Selanjutnya tanah yang ditelantarkan pemiliknya tiga tahun berturut-turut itu diambil oleh negara dan didistribusikan kepada individu rakyat yang mampu mengolahnya, tentu dengan memperhatikan keseimbangan ekonomi dan pemerataan secara adil.

Syariah Islam juga menjamin terlaksananya mekanisme pasar yang baik. Negara wajib menghilangkan dan memberantas berbagai distorsi pasar, seperti penimbunan, kanzul mal (QS at-Tawbah [9]: 34), riba, monopoli, dan penipuan. 

Negara juga harus menyediakan informasi ekonomi dan pasar serta membuka akses informasi itu untuk semua orang sehingga akan meminimalkan terjadinya informasi asimetris yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku pasar mengambil keuntungan secara tidak benar.

Dari aspek manajemen rantai pasok pangan, kita dapat belajar dari Rasul SAW yang pada saat itu sudah sangat konsen terhadap persoalan akurasi data produksi. Beliau mengangkat Hudzaifah ibn al-Yaman sebagai katib untuk mencatat hasil produksi Khaybar dan hasil produksi pertanian. 

Sementara itu, kebijakan pengendalian harga dilakukan melalui mekanisme pasar dengan mengendalikan supply and demand bukan dengan kebijakan pematokan harga.

Praktek pengendalian suplai pernah dicontohkan oleh Umar bin al-Khaththab ra. Pada waktu tahun paceklik dan Hijaz dilanda kekeringan, Umar bin al-Khaththab ra menulis surat kepada walinya di Mesir Amru bin al–‘Ash tentang kondisi pangan di Madinah dan memerintahkannya untuk mengirimkan pasokan.

Lalu Amru membalas surat tersebut, “saya akan mengirimkan unta-unta yang penuh muatan bahan makanan, yang “kepalanya” ada di hadapan Anda (di Madinah) dan dan ekornya masih di hadapan saya (Mesir) dan aku lagi mencari jalan untuk mengangkutnya dari laut”.

Demikianlah konsep dan nilai-nilai syariah Islam memberikan kontribusi pada penyelesaian masalah pangan. Konsep tersebut tentu baru dapat dirasakan kemaslahatannya dan menjadi rahmatan lil alamin bila ada institusi negara yang melaksanakannya. 

Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk mengingatkan pemerintah akan kewajiban mereka dalam melayani urusan umat, termasuk persoalan pangan dengan menerapkan syariah yang bersumber dari Allah SWT, pencipta manusia dan seluruh alam raya. Wallahu ‘alam.


Oleh: Tri Setiawati, S.Si
Sahabat Topswara 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar