Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pembungkaman Suara Kritis di Tengah Kebebasan Berekspresi


Topswara.com -- Kaum muda berani berkomentar, why not? Mereka sudah sadar akan fakta yang dialami dalam kehidupannya. Bahkan mereka sudah bosan dengan janji yang dilontarkan penguasa yang tak kunjung terealisasi. Baru-baru ini, fyp TikTok dihebohkan dengan beredarnya video anak muda bernama Bima yang mengkritik kampung halamannya yang tidak maju-maju. 

Disinyalir hal itu terjadi karena ada dugaan bahwa pemerintah daerah setempat yang korup. Atas beredarnya video tersebut, Bima dilaporkan ke pihak kepolisian di Bandar Lampung. Adakah yang salah dari kritikan tersebut?

Kritikan Berlandaskan Kenyataan 

Dilansir dari CNN Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung, menyatakan siap memberikan pendampingan hukum terhadap TikTokers, Bima alias Bima Yudho Saputro pemilik akun tiktok @awbimaxreborn yang dituntut karena mengkritik Pemprov Lampung. 

Bima mengaku dihubungi polisi untuk dimintai keterangan bahwa dirinya benar menjadi pelajar di luar negeri, bahkan ia dipanggil oleh Bupati Lampung Timur, Dawam Rahardjo atas komentar yang dibuatnya. Republika.co.id pada Jum'at (14/04/2023). LBH dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung sepakat menilai pelaporan terhadap Bima melanggar kebebasan berekspresi dan berpendapat dalam demokrasi.

Bima, pemuda asal Lampung Timur kerap mengunggah video berisikan kritikan pedas terhadap kampung halamannya yang dinilai tidak maju-maju karena dugaan pemerintah yang korup. Dalam beberapa unggahannya, Bima menyampaikan kekecewaannya terhadap kondisi di Lampung yang menurutnya tidak mengalami kemajuan. 

Atas konten tersebut, Bima diadukan ke Polda Lampung terkait pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Ia dituduh menyampaikan hoaks

Menanggapi hal itu, Direktur LBH Bandar Lampung, Sumaindra Jarwadi menjelaskan kebebasan berperilaku merupakan salah satu Hak Asasi Manusia (HAM) yang dijamin oleh konstitusi. Negara wajib untuk memenuhi dan melindungi hak tersebut. LBH Bandar Lampung juga menyatakan siap menjadi pendamping hukum untuk Bima.

Kebebasan itu tercantum dalam pasal 28 dan pasal 28E ayat (3) UUD RI tahun 1945 yang menyatakan setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Selain itu, kata Sumaindra, jaminan kebebasan berkumpul dan berpendapat juga termaktub dalam Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta Konveksi Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights).

Padahal mengkritik terhadap pengambilan kebijakan sangat diperlukan sebagai evaluasi kinerja, sehingga pemerintah bisa mengambil langkah perbaikan. Terlebih substansi kritik yang disampaikan merupakan fakta yang memang terjadi di Lampung.

Penguasa dalam Sistem Kapitalisme, Antikritik!

Viralnya kritikan rakyat yang direspon dengan pelaporan ke polisi dan ancaman kepada keluarga pengkritik, meski kritikannya sesuai dengan fakta yang terjadi di lapangan menunjukkan adanya penguasa yang antikritik. Realitas ini sebenarnya sudah lama ada di negeri ini. Bersumber dari pengesahan UU ITE yang sering dijadikan alat untuk membungkam pengkritik dan menguatkan arogansi penguasa. 

Janji yang mereka lontarkan lewat visi dan misi ketika pencalonan nyatanya hanya omong kosong. Mereka datang ketika ada maunya. Ketika semuanya sudah mereka dapatkan termasuk jabatan, lantas seketika berubah seakan-akan menutup telinga atas derita rakyat. 

Bahkan yang lebih parah lagi adalah ketika rakyat menyuarakan aspirasi dan mengkritik kebijakan yang mereka tetapkan hanya menguntungkan sebagian orang saja, malah dibungkam dan didiskriminasi. Negara yang katanya menjamin hak kebebasan berpendapat nyatanya hanya sekadar basa-basi. 

Dengan beredarnya video ini, hanya memperlihatkan sedikit kebobrokan yang ada, sebenarnya kita pun sadar bahwa bukan hanya di satu daerah saja yang mengalami berbagai macam masalah, tetapi rata dirasakan di semua daerah. Baik dari segi infrastrukturnya, pendidikan, kehidupan sosial, ekonomi, politik dan lain sebagainya. 

Sebaliknya, ketika Warga Negara Asing (WNA) yang masuk ke negeri ini dan bahkan menguasai negeri ini, pemerintah malah membuka pintu lebar-lebar dan bahkan melakukan hubungan kerjasama. Undang-Undang yang mereka buat bukan untuk kemaslahatan rakyat tapi untuk kepentingan mereka dan para oligarki (pemilik modal). 

Inilah wajah buram dari penguasa dalam sistem sekularisme kapitalisme. Kehadiran mereka bukan untuk mengurus dan melayani urusan rakyat, tetapi mereka ada untuk menindas rakyat. Seharusnya kritikan sangat diperlukan oleh penguasa untuk memperbaiki kinerja selama menjabat, bukan malah membungkam pengkritiknya. 

Sistem sekularisme telah mencetak manusia yang tidak lagi takut kepada amanah dan tanggung jawabnya. 

Di alam demokrasi, sikap anti kritik terhadap penguasa merupakan hal yang wajar terjadi. Demi menjaga image dan popularitas, apa saja bisa mereka lakukan, sekalipun membungkam para rakyat yang mengkritiknya. 

Sekali lagi, mereka seolah-olah merakyat saat butuh suara dari rakyat, seperti rela masuk ke gorong-gorong atau menanam padi di sawah. Setelah hati rakyat didapatkan, rakyat dihempaskan begitu saja, ibarat cinta bertepuk sebelah tangan. Kepemimpinan dibangun hanya dari figuritas dan demi elektabilitas, bukan kualitas yang dipersembahkan untuk rakyat. 

Kritikan Rakyat Dibutuhkan dalam Sistem Islam

Kritik apalagi yang membangun sejatinya sangat dibutuhkan dan merupakan mekanisme kontrol masyarakat. Terlebih bagi penguasa yang mendapatkan amanah untuk mengurus rakyat. 

Pemimpin dalam Islam memandang ketika diberikan amanah mereka akan menjalankan semaksimal mungkin dan sesuai dengan syariat Allah. Pemimpin yakni khalifah paham bahwa amanah ini sangat besar pertanggung jawabannya. 

Khalifah akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang dipimpinnya. Atas kesadarannya ini, membuat pemimpin di dalam sistem Islam tidak berani menyalahgunakan jabatan yang diembannya. Mereka hadir dengan niat yang lurus yaitu untuk mengurus rakyat. 

Dalam Islam, kritik terhadap kebijakan yang ditetapkan oleh penguasa merupakan perintah Allah kepada rakyat. Sebagaimana disebutkan di dalam hadis, Rasulullah SAW bersabda, "jihad yang paling utama adalah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang dzalim" (HR. Abu Dawud). 

Islam mengakomodir adanya kritik dari umat dan memberikan tuntunan mekanisme muhasabah yang benar. Sejarah Islam yang panjang banyak memberikan teladan bagaimana sikap penguasa yang amanah dan memperhatikan kritik umat. 

Di antaranya adalah kritik kebijakan Umar dalam membatasi mahar. Ketika Umar menjadi pemimpin, beliau menetapkan mahar, kemudian datang seorang wanita mengritiknya. Kemudian Umar sejak saat itu tidak lagi membatasi mahar. 

Amanah yang ada di pundaknya merupakan rahmat Allah, sehingga tidak dibiarkan melenceng dari jalan yang Allah ridhoi, termasuk bagi penguasa. Kritik terhadap penguasa merupakan salah satu poin yang menjaga akuntabilitas suatu negara, baik di hadapan rakyat maupun di hadapan Allah. 

Rakyat adalah amanah. Mereka layaknya gembalaan yang wajib dijaga dan dilindungi oleh pengembalanya. Sebagaimana hadits Nabi SAW, "imam (Khalifah) itu pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus (HR. Al-Bukhari dan Ahmad).

Termasuk pengurusan infrastruktur. Infrastruktur identik dengan prasarana yaitu segala sesuatu yang merupakan penunjang utama penyelenggaraan suatu proses. Infrastruktur yang meliputi jalan raya, kereta api, dermaga, bandara, pelabuhan, saluran irigasi dan lain-lain. 

Secara umum, infrastruktur adalah fasilitas umum yang dibutuhkan semua orang dan wajib disediakan oleh negara. Karena ini adalah fasilitas umum maka penggunaannya gratis dan tidak dipungut biaya. Ditambah pembangunan infrastruktur di dalam Islam tidak menghancurkan alam sekitar dan pemukiman warga. 

Terkait infrastruktur bahwa seharusnya penguasa takut tidak memenuhi hak rakyat dalam fasilitas umum, sebagaimana takutnya Umar ra ketika ada hewan yang terjerembab ke dalam lubang jalan. Jadi, bahkan sebelum ada protes atau kritik, penguasa sadar untuk memberikan fasilitas terbaik bagi rakyat karena itu bagian dari amanah. 

Begitulah seharusnya sikap pemimpin ketika dikritik. Selagi kritikan itu tidak melanggar syariat dan mendzolimi rakyat. Rakyat membantu mengingatkan atas kekeliruan dan kelalaian penguasa. 

Pemimpin yang mempunyai sikap seperti ini tidak mungkin lahir dalam sistem sekuler yang tidak memahami kewajiban menjalankan amanah yang ada di pundaknya. Untuk itu, sudah saatnya kita berjuang mengembalikan sistem Islam, yang mampu meriayah umat, dalam hal ini yakni menyediakan infrastruktur sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan rakyat.

Wallahu 'alam bi ash-shawab.


Oleh: Paramita, Amd. Kes.
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar