Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Lemahnya Sistem Hukum dalam Sistem Sekularisme


Topswara.com -- Pemberian grasi atas pidana mati kasus narkoba yang sudah diajukan sejak tahun 2016 menuai kontroversi. Dengan penetapan hukuman mati yang dianggap melanggar HAM. Indonesia masih menggunakan hukuman mati sebagai salah satu sanksi, sementara dunia internasional justru menolak hukuman mati.

Terpidana mati kasus peredaran narkoba, MU mendapat grasi dari pemerintah pusat. Sebelumnya, MU dijatuhi hukuman mati. Namun dengan grasi yang didapat melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 1/G Tahun 2023, hukuman tersebut berubah menjadi hukuman seumur hidup. Bagaimana pandangan Islam mengenai hal ini? 

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyambut baik keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang memberikan grasi kepada terpidana mati kasus narkoba MU. Menurut ICJR, kebijakan ini merupakan grasi pertama yang diberikan Presiden Jokowi kepada terpidana mati kasus narkotika.

Grasi yang diberikan Presiden Jokowi ini menandakan ada langkah untuk memperbarui politik hukum pidana mati di Indonesia, yang juga selaras dengan KUHP Baru serta komitmen UPR ini.
(jawapos.com 14 April 2023)

Terkait dengan grasi yang diberikan oleh Jokowi tersebut,hal itu disampaikan oleh tim kuasa hukum MU dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat dalam konferensi pers, Kamis (13/4/2023).
Kuasa Hukum MU, Aisyah Humaida Musthafa mengatakan, kabar grasi tersebut diterima langsung dari MU pada 24 Maret 2023.
(Kompas.com,13 April 2023).

Menanggapi grasi tersebut, LBH Masyarakat ikut berkomentar. Menurut LBH Masyarakat, grasi tersebut justru dianggap setengah hati. 
(tempo.co, 16 April 2023).

Mekanisme pelaksanaan sanksi menurut sistem hukum Indonesia cukup berbelit dan membawa ketidakpastian.
Jika diperhatikan sistem sanksi sekularisme demokrasi tidak memiliki batasan yang jelas dan begitu kabur, Contoh nya hukuman mati. 

Selain itu beberapa waktu lalu pengadilan negeri ini menetapkan hukuman mati kepada Eks kepala pivisi profesi dan pengamanan (kadiv propam) polri. 

Kejahatan yang mereka lakukan sangat luar biasa dan harus diberi sanksi seberat-beratnya. Menurut hukum sekularisme demokrasi, sanksi pidana tertinggi adalah hukuman mati. Namun disisi lain hukuman mati dianggap melanggar HAM. Karena dunia internasional menolak sanksi ini. 

Inilah batasan yang tidak jelas dan kabur itu. Hal ini adalah sebuah keniscayaan sebab sekularisme demokrasi sistem yang memisahkan agama dari kehidupan. Dan menjadikan manusia berdaulat atas hukum buatan manusia.

Sudah rahasia umum, di alam demokrasi, hukum rawan untuk dipolitisasi berbagai pihak yang memiliki kepentingan. Kadang pula para korban kejahatan bisa makin terzalimi dengan keputusan hukum yang bisa dengan mudahnya berubah sesuai "permintaan/ pesanan" pihak-pihak tertentu. Hingga beredar pemeo terkait kepanjangan KUHP, yakni "kurang uang, hukum penjara" atau juga "karena uang, habis perkara.

Hukuman mati dalam sistem kapitalisme sering memberikan rasa ketidak adilan. Amnesty International mencatat, dalam banyak kasus, orang-orang dieksekusi setelah dihukum dalam persidangan yang sangat tidak adil, atas dasar bukti yang tidak benar yang didapat dari hasil penyiksaan, ataupun dengan pendampingan hukum yang tidak memadai.

Bahkan, ancaman hukuman mati tidak dapat menyelesaikan masalah utama kejahatan, termasuk narkotika. Di Indonesia, vonis hukuman mati untuk kasus kejahatan terkait narkotika meningkat dari 48 orang (2018) menjadi 80 orang (2019). 

Meski yang divonis mati makin banyak, data Badan Narkotika Nasional menunjukkan jumlah pengguna narkotika sepanjang 2019 justru meningkat 0,03 persen, yakni menjadi 3,6 juta orang dibandingkan tahun sebelumnya.

Kepastian hukum untuk memberikan efek jera atau mencegah kejahatan benar-benar tidak ada. Semuanya bisa dipolitisasi. Apalagi dengan lahirnya KUHP baru yang cenderung pro nilai-nilai kebebasan ala demokrasi. Keputusan-keputusan hukum bisa saja dianulir dengan berbagai macam dalih. 

Misalnya, seseorang yang sudah diputuskan hukuman mati, bisa bebas setelah 10 tahun dengan alasan berperilaku baik. Ini tentu menunjukkan aspek ketidakadilan hukum. Para korban pelaku kriminal sudah banyak mengalami kerugian, tetapi pelakunya tidak mendapatkan hukum setimpal.

Hukum pun bisa ditarik ke sana kemari. Kalau pelakunya memiliki kedudukan atau jabatan penting di dalam politik, hukum cenderung tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Ini adalah fenomena pelaksanaan hukum di alam demokrasi yang akhirnya tidak melahirkan keadilan dan kepastian hukum.

Walaupun kasusnya sudah clear, jelas merugikan banyak pihak, bahkan merugikan negara. Banyak kasus besar yang kemudian mangkrak atau dibiarkan begitu saja, padahal kerugiannya sangat besar bagi pihak-pihak tertentu, terutama rakyat kecil dan negara.

Islam memiliki sistem sanksi yang adil, dan berfungsi sebagai zawajir (pencegahan) dan jawabir (penebus dosa). Penerapan sanksi dalam Islam juga praktis dan tidak berbelit-belit.

Faktanya manusia pernah hidup dalam sistem kehidupan yang menerapkan sistem sanksi secara adil, tegas, tidak tebang pilih. Sehingga manusia hidup penuh dengan kebaikan. Maka ini terjadi pada masa peradaban Islam dibawah naungan khilafah islamiah. 

Khilafah adalah sistem pemerintahan warisan Rasulullah SAW. Semua aturan dalam sistem ini berasal dari hukum syariah termasuk sistem sanksinya.

Pada sistem Islam sanksi atau Uqubat diberikan kepada yang melakukan kejahatan dan kriminal.

Seorang ulama, Syekh Muhammad Ismail dalam kitabnya "Bunga Rampai Islam" Islam menjelaskan bahwa apa yang dimaksud tindak kriminal adalah suatu perbuatan yang tercela menurut hukum Syara'. 

Artinya pelaku telah melanggar hukum syariah alias bermaksiat. Karena bermaksiat tersebut maka wajar pelaku mendapatkan sanksi atas perbuatannya.
Allah SWT telah menetapkan hukum-hukum uqubat yakni (hukum pidana, sanksi dan pelanggaran).

Dalam peraturan Islam sebagai"pencegah (zawajir)"dan sebagai penebus (jawabir) sebagai pencegah karena ia berfungsi mencegah manusia dari tindakan kriminal. Dan sebagai penebus dosa seorang muslim dari azab Allah SWT pada hari kiamat.

Dalam pandangan Islam, keputusan hukum bersifat mengikat bagi pelakunya. Ketika hukum sudah ditetapkan, akan langsung dieksekusi dan tidak perlu menunggu lama. Tidak pula ada banding di dalam keputusan hukum karena hukum yang bersifat mengikat tersebut. 

Sebelum diputuskan, alat bukti sudah diberikan, baik berupa pengakuan maupun bukti-bukti yang ada melalui ijtihad seorang hakim. Keputusan hakim bersifat mengikat karena keputusan hakim adalah hukum syarak atau hasil ijtihad dan kaum muslim wajib terikat dengan hukum syarak tersebut.

Motivasi dalam menjalankan hukum ini adalah bentuk dari ketakwaan yang dengan kesadarannya masyarakat akan menginginkan dihukumi dengan hukum syarak. 

Bagi pelakunya, ini akan memberikan efek jawabir atau penebus bagi dosa-dosa yang ia lakukan. Kelak di akhirat, ia tidak akan dihukum lagi dengan siksaan neraka karena di dunia sudah dihukum dengan hukum Islam.

Bagi masyarakat, tentu pelaksanaan hukum ini akan memberikan efek zawajir, yakni pencegah atau perisai supaya tindakan kriminal ini tidak menyebar atau menjadi wabah yang tentu itu akan merugikan individu, masyarakat, maupun negara. 

Di sinilah multiplier effects atau fungsi dari pelaksanaan hukum pidana di dalam Islam, yaitu sebagai penebus sekaligus mencegah terjadinya kriminal. 

Oleh karena itu, kita akan menemukan di dalam Islam sangat sedikit sekali kasus jarimah. Ini karena tegasnya penerapan hukum Islam tidak memiliki motivasi apa pun selain dalam rangka tunduk dan taat pada syariat-Nya. Wallahualam.


Oleh: Elyarti 
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar