Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Fenomena Flexing yang Makin Marak Bagaimana Islam Bertindak?

Topswara.com -- Perilaku pamer kekayaan oleh para pejabat negara kembali menjadi sorotan publik, setelah munculnya kasus penganiayaan dan pamer harta yang dilakukan oleh Mario Dendy Satriyo, anak pejabat Ditjen Pajak bernama Rafael Alun Trisambodo. 

Ketidakwajaran harta dan kekayaan Rafael Alun Trisambodo pertama kali terendus akibat kasus penganiayaan yang dilakukan anaknya, Mario, terhadap David. Sebelum melakukan penganiayaan, Mario memang kerap kali pamer mengendarai kendaraan mewah seperti Rubicon dan motor gede di media sosial. 

Akibatnya, netizen mencurigai ketidakwajaran harta Rafael yang terlalu besar bagi pejabat eselon III.

Berdasarkan LHKPN nya, harta Rafael tembus Rp56,1 miliar per 2021. Jumlah tersebut bahkan jauh di atas Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo sebagai atasan Rafael yang hartanya hanya Rp14,4 miliar. 

Saat ini, Rafael telah dicopot dari jabatannya dan bahkan dipecat secara tidak terhormat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Rafael juga masih menjalani sejumlah pemeriksaan di KPK.

Fakta di atas adalah salah satu gambaran dimana masih banyak oknum pejabat yang menyalahgunakan kekuasaannya demi mencapai kekayaan. 

Hal ini jelas merupakan bentuk pengkhianatan terhadap amanah yang telah diberikan oleh rakyat. sebab seharusnya pejabat itu bekerja bukan untuk memperkaya diri, melainkan memperjuangkan kesejahteraan rakyat. 

Ditengah terpuruknya perekonomian rakyat, mereka justru berlomba lomba menghasilkan kekayaan dan menghamburkan harta hanya untuk adu gaya hidup. Hal tersebut memperlihatkan rusaknya sistem yang ada saat ini.

Tujuan kekuasaan mereka bukan untuk menjalankan amanah rakyat, tetapi untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Mereka tidak perduli keadaan rakyat yang ada di bawah.

Selain itu peran negara dalam mengawasi kinerja pejabat juga terbilang tidak transparan, minimnya pengawasan terhadap harta pejabat, diperoleh darimana dan sesuai atau tidaknya juga masih disepelekan. 

Hukum bagi pelaku korupsi juga kerap membuat rakyat heran, sebab tidak tegas dan tidak memberi efek jerah bagi para pelakunya, jadi wajar saja jika pejabat yang mengambil hak hak rakyat semakin merajalela.

Dalam ajaran Islam ketika kita bekerja bahkan diibaratkan sebagai ibadah untuk mencari rezeki dari Allah untuk memenuhi kebutuhan hidup. 

Bekerja untuk mendapatkan rezeki yang halalan thayyiban termasuk dalam jihad di jalan Allah yang nilainya sama dengan menjalankan rukun Islam. Dengan demikian bekerja merupakan ibadah dan kebutuhan bagi setiap manusia. Bekerja dengan baik dan menjaga amanah dalam pekerjaan adalah wajib dalam Islam. 

Pekerjaan juga dapat dikatakan sebagai amanah, yaitu sesuatu yang dititipkan atau dipercayakan kepada orang lain. Dalam konteks ini, seorang muslim perlu bersungguh-sungguh dalam menjalankan amanah hingga tuntas. Ketika pekerjaan tidak diselesaikan dengan baik, maka sama saja tidak amanah dan memiliki sikap khianat.

Allah berfirman dalam QS Al Anfal: 27:
"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad), dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui."

Memenuhi amanah Allah bukanlah tugas yang mudah. Bahkan langit, bumi dan gunung-gunung pun tidak mampu memikulnya. Sebagaimana juga dijelaskan dalam QS Al Ahzab: 72:

"Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, lalu manusia mengambil amanat itu." (QS Al Ahzab: 72).

Nabi Muhammad SAW selalu mengingatkan umatnya, seperti yang dikatakan dalam sebuah hadis: 
"Jika amanah disia-siakan, tunggulah kehancurannya. Mereka bertanya: apa bentuk penyia-nyiaan itu? Beliau bersabda: jika suatu urusan dipercayakan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya" (HR Bukhari dan Muslim).

Umar bin Khattab sangat memperhatikan pengawasan terhadap para pegawainya, khususnya dalam urusan harta, agar tidak seorang pun dari mereka yang memanfaatkan pekerjaannya untuk memperkaya diri dengan harta umat. 

Pengawasan oleh Umar terhadap para pegawainya mempunyai beberapa mekanisme, pertama, pra pencegahan. Kedua, pasca pengawasan.

Pertama, pra (pencegahan). Penghitungan kekayaan pegawai ketika ditunjuk.

Diriwayatkan bahwa Umar apabila mempekerjakan pegawai, maka Umar mencatat hartanya (Ibnul Jauzi, Manaqib Umar, hlm 145). Tujuan mencatat harta tersebut adalah mengawasi penambahan harta itu dan mengetahui sumber penambahan tersebut. Apa yang dilakukan oleh Umar 14 abad yang lalu di zaman modern saat ini disebut dengan “Penetapan Jaminan Keuangan”, atau di Indonesia disebut dengan LHKPN - Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara.

Melarang para pejabat berdagang/bisnis selama masa jabatannya

Umar tidak memperbolehkan para pejabatnya untuk melakukan perdagangan selama mereka menjabat, seperti suratnya kepada Abu Musa “Jangan sekali-kali engkau berbisnis !”, dan juga ketika Umar menunjuk Syuraih sebagai hakim, Umar berkata “Jangan sampai engkau mendapat keburukan dan jangan sampai mendapat bahaya, jangan membeli dan jangan menjual!”. Umar juga menulis “Perdagangan seorang Amir dalam masa menjabatnya adalah kerugian”.

Kedua, pasca (dalam pengawasan) darimana kamu mendapatkannya ?

Apabila Umar mengetahui bahwa harta salah seorang pejabatnya bertambah dengan tidak wajar seperti sebelum menjabat, maka Umar akan memanggilnya dan memeriksanya “darimana kamu mendapatkannya ?”. Diriwayatkan dari Abu Hurairah -ra- ketika datang dari Bahrain, dia berkata, Umar berkata kepadaku “Wahai musuh Allah dan musuh kitab-Nya, apakah engkau mencuri harta Allah ?” Abu Hurairah berkata: “Aku bukan musuh Allah bukan pula musuh kitab-Nya, tetapi aku musuh orang yang memusuhi keduanya, dan aku tidak mencuri harta Allah”, maka Umar berkata “darimana engkau mengumpulkan 10ribu?” Abu Hurairah berkata: Wahai Amirul Mu’minin, untaku berkembang biak, modalku bertambah dan gajiku bertambah”, maka Amirul mu’minin memerintahkan untuk mengambilnya dan diambillah, lalu Abu Hurairah berkata “Ya Allah, ampunilah Amirul Mu’minin” (Futuh Al Buldan, hlm 112)

Menghitung kekayaan pegawai ketika ditunjuk dan mengawasinya, kemudian mengambil sebagian harta yang bertambah dalam kekayaannya selama berkuasa adalah hal-hal yang pertama kali dilakukan oleh Umar, dan Umar menerapkan strategi tersebut terhadap dirinya sendiri dan keluarganya.

Mengambil kesimpulan dari tanda-tanda luar

Cara ini berdasar pada petunjuk atas jumlah kekayaan, seperti mengambil kesimpulan dari pemasukan dan harga sewa tempat tinggal dari pejabat. 

Diriwayatkan bahwa Umar melihat bangunan yang dibangun dengan batu dan kapur, maka Umar berkata “milik siapa ini ?” Lalu mereka menyebut seorang pegawainya di Bahrain, maka Umar berkata “Dia akan terus mengumpulkan dirham dirham sampai keluar dari tenggorokannya dan harta menimpanya”. Umar menulis surat kepada Amru bin Ash -ra- “Sesungguhnya telah tersebar harta, budak, bejana, dan hewan milikmu, dan itu tidak ada padamu ketika kamu memimpin Mesir”.

Kunjungan mendadak

Umar melakukan kunjungan mendadak kepada beberapa pegawainya tanpa sepengetahuan mereka. Diriwayatkan bahwa ketika Umar pergi ke Syam, dia melakukan kunjungan mendadak kepada beberapa pegawainya di sana. 

Umar keluar bersama Bilal -ra-, maka mereka mulai mendatangi rumah beberapa pegawai. Maka Umar masuk dan melihat harta benda yang ada di dalam rumah mereka serta gaya hidup mereka untuk mengetahui tingkat kelapangan hidup mereka di dunia.

Kerahasiaan

Diriwayatkan bahwa Umar memerintahkan para pegawainya untuk masuk ke Madinah pada siang hari, agar tidak tersembunyi apa yang mereka bawa. Diriwayatkan juga bahwa ketika Umar mengetahui kedatangan beberapa pegawainya, maka dia bersembunyi di jalan untuk melihat pegawai itu tanpa diketahuinya dan melihat yang pegawai tersebut biasa lakukan.

Kerasnya pengawasan Umar terhadap para pegawainya bukan berarti menyangka mereka melakukan pengkhianatan, akan tetapi bersumber dari kuatnya perasaan Umar akan tanggung jawab atas perilaku pegawainya, Umar berkata “siapa saja pegawaiku yang mendzalimi seseorang dan kedzalimannya sampai kepadaku namun aku tidak merubahnya, maka aku telah menzalimi pegawaiku.

Wallahu alam bishsawab.


Oleh: Tri S. S.Si.
Aktivis Muslimah 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar