Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Akankah RUU Perampasan Aset Mengentaskan Korupsi?


Topswara.com -- Korupsi terus menggurita di negeri ini. Sudah tidak terkira kerugian negara akibat korupsi yang terus terjadi. Kekayaan negara yang sebagian besar didapatkan dari pajak, yang dibayarkan rakyat, sering masuk ke kantong pribadi penguasa. 

Akibatnya kerugian negara ditaksir mencapai Rp. 30 miliar. Kasus terbaru yang tengah menjadi perbincangan ialah transaksi janggal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) di Kementerian Keuangan di mana negara merugi sebanyak Rp. 349 Triliun (cnnindonesia.com 21/3/2023). 

Kasus tersebut mendorong beberapa pihak mengusulkan pembahasan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana. Dengan klaim dapat memaksimalisasikan proses pengembalian kerugian negara.

Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum Dan Keamanan atau Menkopolhukam Mahfudz MD, bersama dukungan anggota Komisi III DPR Arsul Sani, mengusulkan pembahasan RUU tersebut kepada DPR. 

Ia menilai dengan langkah tersebut kewenangan untuk menyita dan melelang bisa lebih cepat karena dapat dilakukan tanpa menunggu putusan pengadilan yang prosesnya cenderung lama (beritasatu.com 11/4/2023).

Dilansir dari setneg.go.id, sejatinya pada 2003 lalu Indonesia telah menandatangani Konvensi PBB dalam melawan korupsi yang mana itu artinya negara harus mengadakan undang-undang perampasan aset tindak pidana tersebut, namun hingga saat ini belum ada kejelasan. 

Bahkan, sejatinya Indonesia juga telah melakukan ratifikasi dengan mengeluarkan undang-undang Nomor 7 Tahun 2006. (kompas.id 1/4/2023). 

Meski gelora pengesahan RUU Perampasan Aset tengah memanas masih banyak masyarakat yang meragukan efektivitasnya dalam menumpas korupsi. 

Sebagaimana realita yang ada hingga hari ini, dengan berbagai kebijakan nyatanya kasus korupsi terus menjamur, bahkan terus meningkat di kalangan pejabat. Inilah buah dari tatanan sistem demokrasi kapitalisme di mana sosok penguasa yang amanah menjadi sangat langka. 

Bahkan dalam tatanan yang memisahkan antara agama dan kehidupan melahirkan para pemimpin yang liberalis, hedonis, dan kapitalis yang hanya peduli dengan urusan untung rugi.

Kebijakan yang dicanangkan juga hanya didasarkan pada akal manusia yang sejatinya terbatas, lemah, bahkan tidak dipungkiri senantiasa ditunggangi kepentingan hawa nafsu. 

Hal tersebut memberi celah bagi para koruptor untuk memanfaatkan kursi kekuasaannya agar dapat terbebas dari jeratan hukum. Walhasil pemberantasan korupsi dalam tatanan demokrasi kapitalisme bagaikan mimpi disiang bolong. 

Islam sebagai agama yang sempurna dan paripurna telah memiliki mekanisme bernegara yang efektif dalam pencegahan kasus korupsi. Diterapkannya aturan yang bersumber dari Zat Yang Maha Pengatur menjadikan negara berperan terus memupuk penanaman akidah Islam yang shahih dan kuat dibarengi dengan sistem sanksi yang tegas. 

Dari segi personilnya, aparatur negara wajib didasarkan pada profesionalitas dan integritasnya, di mana pemimpin memiliki kepribadian Islam dan kapabel di bidangnya, bukan sebab konektivitas atau nepotisme. 

Negara akan senantiasa memberikan pembinaan melalui arahan dan nasihat kepada para pejabat sebagaimana yang dahulu juga dilakukan oleh Khalifah Umar Bin Khattab. Pemberian gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya juga wajib dipenuhi oleh negara. 

Haram hukumnya para pejabat menerima suap dan hadiah. Hal tersebut sebagaimana hadist Nabi SAW, “Siapa saja yang menjadi pegawai kami dan sudah kami beri gaji maka apa saja ia ambil dari luar itu adalah harta ghulul (korupsi)” (HR. Abu Daud).

Di dalam Islam negara juga harus melakukan perhitungan kekayaan bagi aparat negara pada masa awal menjabat dan akhir jabatannya yang mana hal tersebut juga dilakukan oleh Khalifah Umar Bin Khattab ra. 

Tindak pidana korupsi dapat terselesaikan dalam Islam karena mekanisme yang dijalankan oleh para pejabat semata-mata atas dorongan iman. Kesadaran penuh bahwa amanah dan tanggung jawabnya sebagai pengurus urusan rakyat kelak akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah Subhanahu Wa Ta'ala menjadikannya terus berhati-hati dalam kepemimpinannya. 

Negara dalam Islam juga akan memberikan hukuman yang tegas dan memberikan efek jera bagi pelaku korupsi yang mana hal tersebut masuk kategori takzir yang jenis kadar hukumannya ditentukan oleh hakim atau qadhi'. Wallahua’lam bissawab.


Oleh: Agustin Pratiwi
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar