Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Tragedi Plumpang: Permasalahan Tata Ruang Kota Menelan Korban Jiwa


Topswara.com -- Peristiwa ledakan Depo Pertamina Plulmapang yang terjadi di Jalan Tanah Merah Bawah, Kelurahan Rawa Badak Selatan, Kecamatan Koja, Jakarta Utara, Jumat (3-3-2023) malam. 

Kemunculan api pertama pada pukul 20.11 WIB, dikabarkan bahwa korban jiwa akibat kebakaran depo Pertamina Plumpang menjadi 21 orang, menurut data Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, yang dibagikan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi DKI Jakarta, Isnawa Adji di Jakarta, Senin. (sinarharapan 14/03/2023).

Lokasi ledakan depo Pertamina dengan pemukiman padat penduduk jaraknya hanya terpisahkan sejauh 28 meter. Jarak ini ditarik dari titik kawasan depo yang hangus terbakar ke titik terdekat perkampungan warga yang juga hangus.

Sementara, jika jarak ini ditarik dari tangki minyak terdekat dari perkampungan warga, jaraknya diperoleh 50 meter. Antara depo dengan rumah-rumah warga pun hanya terpisahkan dengan tembok beton yang memanjang. 

Pakar energi dari Universitas Indonesia Iwa Garniwa menilai kebakaran depo Pertamina Plumpang terjadi lantaran permasalahan mendasar yakni tata ruang yang tumpang tindih.Menurutnya, lokasi depo tersebut seharusnya tidak berbenturan dengan permukiman warga. 

Objek vital tersebut seharusnya berjarak aman sesuai standar yang berlaku. Sementara yang terjadi di lapangan, lokasinya berdekatan dengan lokasi padat permukiman dan objek vital lainnya seperti jaringan listrik PLN dan pelabuhan Pelindo. (www.trenasia.com4/03/23)

Namun seiring dengan berjalannya waktu tempat tersebut mulai di padati oleh penduduk dengan berbagai macam fasilitas yang diberikan mulai dari pembentukan RT/RW, penerbitan KTP, pengaliran air bersih bahkan dikeleluarkannya IMB dan SHGB. 

Padahal dalam Rencana Umum Tata Ruang 1985-2005, posisi Depo Plumpang masih dipertahankan sebagai fasilitas vital nasional. Namun, pada tahun 1998, Pertamina kehilangan banyak lahan sehingga zona pembatas tersebut menipis dari waktu ke waktu. 

Saking padatnya, perkampungan tersebut memang hanya dilewati jalan gang-gang setapak. Berdasarkan video hingga foto yang beredar, setidaknya hanya satu sampai dua mobil yang bisa lewat saat berada di jalan utama pemukiman padat penduduk itu.

Padahal, Menurut Joga, sudah ada aturan untuk jarak Depo Plumpang dengan pemukinam warga yakni  dengan radius 500 meter – 1km tidak boleh ada pemukiman.

Tentunya hal ini mengindikasikan adanya pengabaian yang dilakukan pemerintah selaku otoritas yang memiliki wewenang dalam mengatur tempat tinggal bagi rakyatnya. 

Dimana seharusnya ada larangan yang tegas ketika ada warga yang ingin tinggal diwilayah tersebut sebab hal itu akan membahayakan jiwa mereka. Kemudian sudah selayaknya pemerintah mengarahkan serta memfasilitasi masyarakat agar bisa mendapatka tempat tinggal yang aman dan nyaman.

Kapitalisme Gagal Mengatur Pemukiman Penduduk 

Kebakaran yang terjadi di Depo Plumpang ini adalah kali kedua, sebelumnya kebakaran juga terjadi pada pada 18 Januari 2009. Akibat kebakaran itu, satu orang petugas keamanan meninggal, dan kerugian yang dialami Pertamina sekitar Rp 17 miliar. Setelah peristiwa tersebut, Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta Pertamina segera membebaskan lahan di sekitar depo. 

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga mengusulkan zona penyangga dengan jarak 50 meter antara depo dan permukiman. Meski telah berselang 14 tahun ternyata lahan tersebut masih padat penduduk dan tidak ada pembangunan zona penyangga.

Hal ini menunjukkan pada kita bahwa pemerintah abai terhadap keselamatan publik. Jika saja pemerintah benar-benar peduli terhadap ke amanan masyarakat maka akan segera mengambil langkah cepat dan tepat yakni tidak membiarkan warga untuk tinggal di sekitar fasilitas vital nasional dengan jarak aman yang ditentukan serta segera untuk membangun zona penyangga. 

Sungguh malang kondisi masyarakat di negeri ini. Tidak tampak keseriusan penguasanya sehingga nyawa kembali melayang. Inilah mengapa begitu penting memperhatikan siapa penguasa yang dipilih untuk mengurusi rakyatnya. 

Bukan sekadar memilih penguasa saja tetapi juga memilih sistem yang akan diterapkan oleh penguasa yang terpilih. Kalau penguasanya bukan orang yang bertakwa dan amanah, lalu sistem negaranya bukan Islam, maka keamanan warganya akan terus terabaikan.

Tata Ruang Kota dalam Islam

Dalam Islam, pengelolaan tata ruang sudah di contohkan ketika Nabi menjadi kepala negara di Madinah yakni Ibu kota Negara Islam pertama. Ketika Nabi SAW membangun Madinah al-Munawwarah sebagai pusat pemerintahan negara Islam, baginda SAW telah menetapkan empat unsur pokok dalam tata ruang dan pembangunan kota ini. 

Pertama, masjid jami’, yaitu Masjid Nabawi. Kedua, kediaman sang pemimpin agung, baginda Nabi SAW yang berdekatan dengan Masjid Nabawi. Ketiga, pasar, yang kemudian dikenal dengan suqu an-Nabi (pasar Nabi). Keempat, pemukiman penduduk. 

Urusan tata kota dan pembangunan ini ditangani sendiri oleh Nabi SAW sebelum kemudian diserahkan kepada Umar bin al-Khatthab untuk Madinah, dan kepada Amr bin al-‘Ash untuk Makkah al-Mukarramah.

Dalam perkembangannya kemudian, ketika Umar bin al-Khatthab menjadi khalifah, beliau mendirikan biro khusus yang disebut dengan nama Dar al-Hisbah. Selain biro khusus, Umar juga dibantu dengan para petugas khusus yang menangani urusan tata kota dan pembangunan ini. 

Dalam kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah, al-Mawardi menyatakan, “qadhi hisbah yang  mengepalai dar al-hisbah-berhak untuk melarang orang yang mendirikan bangunan di jalan yang digunakan laluan, sekaligus bisa menginstruksikan kepada mereka untuk menghancurkan bangunan yang mereka dirikan. Sekalipun bangunan tersebut adalah masjid sekalipun.

Karena kepentingan jalan adalah untuk perjalanan, bukan untuk bangunan. Qadhi hisbah juga berhak untuk melarang siapapun meletakkan barang-barang dagangan dan bahan-bahan/alat bangunan di jalan-jalan dan pasar, jika barang dan bahan tersebut bisa memudaratkan orang. 

Dalam hal ini, qadhi hisbah berhak untuk melakukan ijtihad dalam menentukan mana yang mudarat dan mana yang tidak. Karena ini merupakan ijtihad dalam masalah konvensi (kepantasan umum), bukan masalah syar’i.”

Tata ruang dan pembangunan tersebut jelas membutuhkan lahan. Lahan yang dibutuhkan ini adakalanya milik umum, milik negara atau masih menjadi milik pribadi. Untuk daerah-daerah yang baru dibuka, lahan-lahan yang ada di sana umumnya merupakan tanah tak bertuan, sehingga statusnya bisa dinyatakan sebagai milik umum hingga ada yang menghidupkannya.

Oleh karenya jika negara ingin menggunakan lahan dengan status kepemilikian pribadi maka negara wajib meminta izin pada pemilik lahan tersebut. 

Untuk pengelolaah lahan maka kawasan konservasi dan resapan air misalnya dengan berbagai tanaman dan pohon yang ada di dalamnya, tidak boleh dikonversi menjadi pemukiman yang dapat  merusak fungsinya. Jika tata ruang ini dilanggar maka akan merusak wilayah lainnya seperti dapat mengakibatkan banjir.

Begitu pula dengan wilayah Industri yang dibangun oleh daulah Islam juga akan memperhatikan keamanan, keselamatan, kelancaran bagi perindustrian juga bagi masyarakat sekitar.

Di sini, qadhi hisbah dan dar al-hisbah bisa melakukan tindakan paksa, jika penggunaan lahan-lahan milik umum atau adanya pelanggaran pembangunan yang dilakukan oleh individu yang dapat membahayakan kepentingan publik, seperti meluapnya air sungai, ledakan di perindustrian, banjir rob air laut maupun banjir kiriman yang semuanya terjadi akibat penggunaan lahan yang tidak sebagaimana mestinya. 

Bangunan rumah, bahkan masjid atau fasilitas umum lainnya bisa dirobohkan untuk menjaga agar lahan tersebut tetap dipertahankan sebagaimana fungsi dan peruntukannya. 


Oleh: Cut Nyak Dien
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar