Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pemukiman Tidak Semestinya Dekat dengan Kawasan Industri


Topswara.com -- Kebakaran hebat terjadi di Depo Pertamina Plumpang, Jalan Tanah Merah Bawah, Kelurahan Rawa Badak Selatan, Kecamatan Koja, Jakarta Utara, Jumat (3-3-2023) malam. Api pertama kali dilaporkan muncul pada pukul 20.11 WIB, berasal dari ledakan pipa bahan bakar minyak (BBM) di area depo.

Beroperasi sejak 1974, Depo Plumpang adalah salah satu objek strategis milik Pertamina yang memasok sekitar 20 persen kebutuhan BBM harian. Namun demikian, perlu kita ketahui bahwa insiden kebakaran di fasilitas Pertamina nyatanya kerap terjadi.

Kebakaran di Depo Plumpang pernah terjadi pada 2009 silam. Sejak itu, berbagai pihak telah memperingatkan akan bahaya menaruh depo BBM di dekat pemukiman warga. Juga peristiwa kebakaran di area Kilang Pertamina di Cilacap, Jawa Tengah, yang setidaknya telah terjadi tujuh kali sejak 1995.

Demikian halnya peristiwa kebakaran tangki penyimpan BBM milik Pertamina di Desa Balongan, Kecamatan Balongan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat pada Maret 2021, yang menyebabkan sejumlah orang luka-luka.

Terlepas bahwa tragedi ini adalah musibah, berulangnya tragedi serupa di sesama fasilitas strategis milik Pertamina menunjukkan bahwa penguasa kurang memperhatikan aspek keselamatan warga. 

Posisi fasilitas seperti ini tidak semestinya dekat dengan pemukiman, apalagi dikelilingi kawasan padat penduduk. Begitu pula sistem peralatan di dalam fasilitas tersebut, aspek eror dan kecelakaan harus diminimalkan sehingga tragedi serupa tidak berulang.

Rawa Badak adalah nama tempat yang cukup populer di dekat Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Menurut sejarah atau asal-usulnya, pada masa lampau, daerah itu berupa rawa-rawa yang luas, kemudian diuruk sehingga tanahnya kering dan layak dibangun rumah bagi warga sekitar. Namun demikian, asal wilayah ini berupa perairan sehingga secara bentang lahan sejatinya tidak layak menjadi permukiman.

Ketika Depo Plumpang dibangun pada 1974 kala kawasan Jakarta tidak sepadat dan seramai sekarang. Bisa dikatakan saat itu kawasan sana masih bersih dari pemukiman, bahkan ada aset tanah yang diklaim sebagai milik Pertamina. 

Jarak pemukiman dengan tembok pembatas depo pun hanya 20 meter. Padahal, ukuran tangki BBM yang makin besar seharusnya diikuti dengan jarak yang juga makin jauh dari rumah warga.

Hanya saja, kita patut mempertanyakan adanya pihak-pihak yang mengizinkan dan memberikan rekomendasi kawasan sekitar depo menjadi pemukiman. Ditambah isu sengketa tanah, persoalan kawasan di luar Depo Plumpang adalah kewenangan pengadilan dan keputusan Pemprov DKI.

Masalah makin rumit ketika kawasan sekitar Depo Plumpang yang berkembang menjadi pemukiman kumuh dan tidak tertata, justru difasilitasi air jalan dan listrik. Tidak heran, kesalahan terbesar dari peristiwa kebakaran Depo Plumpang adalah zona yang seharusnya dilindungi dari pemukiman, tetapi terjadi berbagai pelanggaran fungsi kawasan.

Jika demikian, apa penguasa tidak memperhatikan keselamatan warga jika tempat tinggal mereka dekat dengan depo BBM? Mengapa pembangunan depo tidak disertai sterilisasi kawasan dari pemukiman? Tidakkah realitas di Plumpang menegaskan adanya legalisasi pelanggaran atas kelayakan fungsi kawasan?

Seiring berkembangnya industri, kepadatan penduduk di sekitar Depo Plumpang juga makin meningkat. Bahkan, ada satu RW yang jumlah RT-nya bertambah dari tujuh menjadi sebelas, yang otomatis mereka ini juga harus ber-KTP.

Ini hanya sekelumit fakta yang menunjukkan bahwa ada kesalahan dalam konsep tata kelola kependudukan berdasarkan tempat tinggal. 

Padahal, pengelolaan kependudukan sejatinya tidak cukup hanya dengan memberikan fasilitas KTP pada warga. Ada aspek ekologis yang harus menjadi pertimbangan terkait dengan kelayakan suatu kawasan untuk menjadi permukiman.

Jika memang asalnya daerah rawa sehingga tidak semestinya menjadi pemukiman, tidak tepat pula warga yang membutuhkan pemukiman diberi izin tinggal di daerah tersebut. Kawasan rawa justru harus difungsikan tanpa melenceng dari peran ekologisnya, misalnya menjadi daerah penyangga resapan air saat musim hujan.

Sayangnya, solusi yang ditawarkan penguasa adalah sebatas relokasi yang bahkan sambil mengungkit kembali perihal lahan reklamasi di Teluk Jakarta. Padahal, kita paham, reklamasi ibarat luka sosial yang tertoreh di benak masyarakat Jakarta tersebab kentalnya kepentingan taipan Sembilan Naga dan jejaring oligarki di balik reklamasi tersebut.

Penyebutan reklamasi bersamaan dengan momentum tragedi Plumpang seolah menegaskan ada yang hendak ditunaikan dari keberadaan reklamasi itu sendiri. 

Terlebih, awal Januari 2023 lalu Pejabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono sempat mengungkap akan ada proyek pembangunan jembatan yang menghubungkan pulau-pulau reklamasi di Teluk Jakarta, kendati ia tidak menjelaskan waktu pengerjaannya.

Pemetaan wilayah dan tata ruang kota di suatu negara tentu tidak semestinya hanya berfokus pada kawasan industri dan permukiman. Ada kawasan-kawasan yang juga harus diperhatikan fungsi ekologisnya sehingga musibah kecelakaan maupun bencana alam beserta dampaknya bisa diminimalkan.

Akan tetapi, motivasi terbesar dalam pengelolaan tata ruang dan wilayah tentu harus dilandasi pijakan sahih sehingga tidak membabi buta sekadar bertumpu pada kepentingan kapitalis pengembang. 

Namun, inilah yang justru terjadi dalam penggarapan lahan-lahan di Jakarta. Ini pula salah satu dalih yang menguatkan kepentingan untuk pindah ibu kota ke Kalimantan Timur. Padahal, permasalahan utamanya terletak pada buruknya tata ruang dan kota yang selain meminggirkan fungsi ekologis, juga sangat mengabaikan keselamatan warga.

Di titik inilah pentingnya aspek ideologis untuk menjadi arah pandang dalam pembangunan infrastruktur dan perencanaan tata ruang/kota. Kapitalisme jelas mandul solusi karena jumlah artefak kapitalisasi di Jakarta sudah lebih dari cukup untuk kita saksikan. 

Sungguh, hendaklah kita berkiblat pada penerapan ideologi Islam dalam rangka merencanakan tata ruang/kota, yakni sebagaimana negara islam berhasil memvisualisasikan peradaban gemilang selama 13 abad dengan beragam bangunan peninggalan yang mampu berfungsi hingga jangka panjang.

Kawasan permukiman menurut Islam harus layak sebagai wujud pemenuhan kebutuhan primer manusia. Keselamatan warga harus menjadi target utama penguasa dalam penyelenggaraan suatu pemukiman.

Keberadaan pemukiman tidak semestinya berdekatan dengan kawasan-kawasan industri, pabrik, maupun pertambangan. Sebaliknya, pemukiman sebaiknya berdekatan dengan kawasan peribadatan, pendidikan, ekonomi masyarakat, dan pusat-pusat pemerintahan, baik di pusat maupun pedesaan. Di samping itu, kondisi ini membutuhkan sistem infrastruktur dan transportasi yang memadai, bukan yang pembangunannya hanya demi gengsi dan reputasi.

Wallahu alam bishawab.



Oleh: Eva Lingga Jalal
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar