Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Kesetaraan Gender gagal Memuliakan Perempuan


Topswara.com -- Selama ini, perempuan tercekoki analisis bahwa kekerasan seksual, kemiskinan, diskriminasi layanan publik, dan sebagainya adalah karena belum teradopsinya ide kesetaraan gender oleh para pengambil kebijakan, khususnya laki-laki.

Lambatnya adopsi ide ini pun disinyalir karena adanya faktor budaya dan hukum agama yang menghambat. Ide kesetaraan gender mendikte para muslimah bahwa penyebab buruknya kondisi perempuan adalah pemahaman agama. 

Seperti menempatkan istri lebih rendah dari suami, membatasi gerak perempuan hanya di rumah, melarang perempuan menjadi pemimpin, melarang bekerja untuk mendapat status ekonomi yang baik dan sebagainya. 

Para perempuan khususnya muslimah tidak kunjung mencapai posisi sejajar dengan laki-laki dan bebas berkiprah di publik karena mereka anggap terikat budaya aturan agama.

Hingga hari ini, ide yang datang dari pemikiran liberal tersebut masih mereka jajakan ke tengah muslimah. Tidak sedikit yang mengambilnya sebagai solusi persoalan perempuan. Akibatnya, perjuangan para muslimah makin menjauh dari jalan sahih yang akan mengantarkannya pada posisi hakiki perempuan.

International Women's Day (IWD) atau Hari Perempuan Internasional dirayakan seluruh dunia setiap tanggal 8 Maret. Perempuan berkumpul merayakan pencapaian, mulai dari aspek politik hingga sosial, dengan misi utama untuk menyerukan kesetaraan gender.

Penetapan tanggal perayaan tersebut bermula pada 1908, ketika 15.000 perempuan melakukan aksi demo di New York, AS, menyuarakan hak mereka tentang peningkatan standar upah dan pemangkasan jam kerja. Setahun kemudian, tepatnya 28 Februari 1909, terjadi peristiwa deklarasi oleh Partai Sosialis Amerika yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Nasional Pertama di Amerika Serikat.

Pada 1910, Pemimpin 'Kantor Perempuan' Clara Zetkin mengajukan sebuah gagasan untuk menetapkan Hari Perempuan Internasional yang menyarankan setiap negara merayakan satu hari dalam setahun untuk mendukung aksi tuntutan perempuan. Gagasan itu kemudian diamini Konferensi perempuan dari 17 negara yang beranggotakan total 100 perempuan. Sehingga disepakati 19 Maret 1911 sebagai perayaan pertama Hari Perempuan Internasional di Austria, Jerman, Denmark dan Swiss.

Pergerakan perempuan di Rusia menggelar aksi damai menentang Perang Dunia I pada 8 Maret 1913. Setahun kemudian, perempuan di seantero Eropa menggelar aksi yang sama di tanggal yang sama. Di era Perang Dunia II, 8 Maret pun digunakan negara-negara dari semua benua sebagai penanda momentum advokasi kesetaraan gender. Tanggal 8 Maret kemudian diakui keberadaannya oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1975. Pada 2011, mantan Presiden AS Barack Obama menetapkan Maret sebagai 'Bulan Sejarah Perempuan'.

Perlunya terus merayakan dan memperjuangkan hak perempuan karena aksi tersebut merupakan representasi protes kesetaraan gender yang sampai saat ini masih timpang. 

Secara global, taraf pendidikan, kesehatan, posisi perempuan masih lebih rendah daripada laki-laki. Sementara, angka kekerasan seksual terhadap perempuan semakin bertambah.

Menurut Forum Ekonomi Dunia, perlu 100 tahun lagi untuk membuat kesenjangan antara perempuan dan laki-laki sirna. Ini dibuktikan oleh data di perusahaan Inggris yang menempatkan gaji karyawan perempuan tidak sampai setengah dari gaji laki-laki.

Sejarah panjang sejak dicetuskannya hari perempuan sedunia, tidak membuat perempuan semakin berdaya, hak-hak perempuan seakan hanya sekedar wacana. Solusi kesetaraan gender benarkah mampu memuliakan perempuan?

Mengungkap Cara Pandang Liberal dengan Kesetaraan Gender yang Meracuni Peran Perempuan

Kesetaraan gender merupakan perwujudan cara pandang liberal yang terlahir dari doktrin sekuler Barat. Ide ini muncul akibat penderitaan kaum perempuan yang mengalami ketidakadilan dan perampasan hak-haknya di negara-negara Barat dan Eropa di bawah buruknya sistem sekuler. 

Ideologi Barat yang sekuler menempatkan perempuan sebagai barang, objek eksploitasi laki-laki, pemuas syahwat semata, serta tidak punya hak suara dan pendidikan, hak mengelola hartanya, dan sebagainya.

Kemudian ide ini dipaksakan untuk dianut bagi seluruh perempuan-perempuan di dunia termasuk juga seluruh perempuan di negeri-negeri muslim dengan tujuan untuk menciptakan kesetaraan peran antara kehidupan laki-laki dan perempuan, baik di ranah publik maupun pribadi.

Slogan kesetaraan gender telah menjadi kampanye global yang diusung oleh Perserikatan Bangsa Bangsa. Berbagai macam program dalam bentuk kebijakan-kebijakan, gerakan-gerakan dan konferensi-konferensi tingkat internasional terus digencarkan.

Salah satu contoh, tahun 2020 merupakan peringatan ke-25 Beijing Declaration and Platform for Action (BPfA) atau Deklarasi dan Kerangka Aksi Beijing. BPfA ini hasil dari konferensi dunia keempat PBB terkait Perempuan pada September 1995 di Beijing, Tiongkok. 

Tujuannya adalah untuk meningkatkan hak-hak kaum perempuan dan kehidupan mereka secara global melalui penegakkan ‘Kesetaraan Gender’ di dalam seluruh bidang kehidupan: politik, ekonomi, dan sosial, serta untuk menggabungkan perspektif gender ke dalam seluruh kebijakan, undang-undang, dan program di dalam negara-negara dunia, pada seluruh tingkat masyarakat.

Deklarasi dan Kerangka Aksi Beijing 1995 ini disebut-sebut sebagai landasan penting dalam percepatan pelaksanaan kemajuan perempuan. Deklarasi ini diadopsi oleh 189 negara termasuk mayoritas pemerintahan di dunia Muslim, namun faktanya belum juga mampu menyelesaikan persoalan perempuan di seluruh dunia. 

Tahun 2020 juga menandai empat puluh tahun peringatan Convention on the Elimination of all Form of Discrimination Against Women (CEDAW) atau Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, yaitu sebuah perjanjian yang ditetapkan pada tanggal 18 Desember 1979 oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa. 

CEDAW ini bila ditilik dari sejarahnya juga lahir sebagai bentuk respon terhadap gerakan feminisme internasional yang marak pada saat itu, yang membawakan tema kesetaraan gender.

Pasca-Deklarasi Beijing, PBB merumuskan resolusi mengenai prinsip kesetaraan laki-laki dan perempuan. Jika kita berhitung, taruhlah setelah deklarasi Beijing pada 1995, seharusnya kekerasan terhadap perempuan berkurang setelah 28 tahun berjuang. Mengapa? Sebab, sejak saat itu seluruh negara di dunia mengikrarkan komitmen untuk merumuskan kebijakan berbasis kesetaraan.

Angka partisipasi perempuan di sektor publik, termasuk ranah politik pun meningkat. Angka partisipasi perempuan di parlemen cenderung meningkat meski belum mencapai target yang mereka tetapkan. Namun, di saat angka partisipasi perempuan bertambah angka kekerasan terhadap perempuan yang terdata juga justru terus bertambah.

Logika feminisme yang menganggap bahwa masuknya perempuan ke ranah politik praktis adalah solusi ternyata menuai masalah. Faktanya meski beberapa tokoh perempuan telah menduduki posisi strategis dan angka partisipasi perempuan meningkat, permasalahan perempuan sama sekali tidak menunjukkan penurunan. Angka KDRT tetap tinggi, pelecehan seksual meningkat, dan kekerasan terhadap perempuan pun menanjak.

Komnas Perempuan baru saja merilis Catatan Tahunan  (CATAHU) 2023 yang mencatat laporan dan data kekerasan terhadap perempuan yang diterima dari berbagai lembaga masyarakat dan institusi pemerintah. 

Bersamaan dengan momen peluncuran CATAHU 2023, Komnas Perempuan terus mendorong penghapusan kekerasan terhadap perempuan yang terjadi dalam berbagai bentuk melalui sinergi multi stakeholder di Indonesia.

Kekerasan Perempuan Berdasarkan CATAHU 2023. Dalam CATAHU 2023, terjadi peningkatan pengaduan kepada Komnas Perempuan terkait kekerasan berbasis gender, dari  4.322 kasus pada 2021 menjadi 4.371 kasus pada 2022. Rinciannya, ada 2.098 kasus kekerasan di ranah personal, 1.276 kasus di ranah publik, dan 68 kasus di ranah negara. 

Dari jumlah tersebut, Komnas Perempuan menerima 713 aduan kasus kekerasan di ranah personal yang dilakukan oleh mantan pacar dan  622 aduan yang dilakukan oleh suami, dengan mayoritas berupa kekerasan psikis.

Di ranah publik, kasus tertinggi adalah kasus siber sebanyak 869 kasus, diikuti kekerasan di tempat tinggal sebanyak 136 kasus dan di tempat kerja sebanyak 115 kasus, yang didominasi oleh kekerasan seksual. Di ranah negara, angka tertinggi adalah kasus perempuan berhadapan dengan hukum.

Darurat Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja Indonesia

Secara keseluruhan, survei ILO (Organisasi Perburuhan Internasional)  mengungkap bahwa dunia kerja di Indonesia sedang berada dalam keadaan darurat kekerasan dan pelecehan. 

Sebanyak 70,93 persen dari total 1.173 responden mengaku pernah mengalami salah satu bentuk kekerasan dan pelecehan di dunia kerja, korban tetap didominasi oleh perempuan (656 orang).

Survei tersebut mengungkap sejumlah temuan penting terkait pengalaman pekerja di Indonesia dalam kurun waktu tahun 2020-2022. Sebanyak 70,81 persen pekerja pernah menjadi korban kekerasan dan pelecehan di dunia kerja.

Kemudian 69,35 persen korban mengalami lebih dari satu bentuk kekerasan dan pelecehan. Kekerasan dan pelecehan paling sering dialami korban adalah yang bersifat psikologis (77,40 persen), disusul seksual (50,48 persen).

Faktor ketimpangan relasi kuasa masih sangat berperan, dimana atasan atau rekan kerja senior merupakan pelaku paling sering (54,81 persen). Identitas gender dan difabilitas menjadi faktor kerentanan yang mendasari kekerasan dan pelecehan seksual. Kekerasan dan pelecehan di dunia kerja dapat terjadi di berbagai tempat, tidak hanya di kantor, tetapi juga di luar kantor dan secara daring.

Banyak korban mengalami gangguan kesehatan mental (stres hingga depresi), ingin mengundurkan diri, dan bahkan trauma untuk bekerja lagi. Banyak korban memilih bungkam karena berbagai faktor, seperti minimnya mekanisme anti-kekerasan dan pelecehan yang dimiliki perusahaan atau institusi, hingga takut disalahkan atau dikucilkan (greennetwork.id, 13/03/2023).

Rentetan kasus yang belakangan terjadi bukanlah dalih untuk mendorong keluarnya regulasi berbasis gender. Sebaliknya, ini adalah bukti bahwa apa yang feminisme perjuangkan telah gagal dan tidak mampu menyelesaikan masalah perempuan. 

Kolaborasi feminis dan liberalis yang menawarkan kesetaraan gender telah memunculkan banyak masalah. Frame berpikir sekuler dan kapitalistik yang mengeksploitasi perempuan telah menggerus fitrah perempuan.

Barat akan terus berusaha menjauhkan aturan Islam dalam kehidupan kaum muslim melalui pemikiran-pemikiran menyesatkan. Pemikiran rusak seperti hak asasi perempuan, kesetaraan, dan pemberdayaan perempuan, mereka kampanyekan sebagai jalan kesejahteraan bagi perempuan dan solusi berbagai permasalahannya. 

Padahal sejatinya di negara-negara Barat sendiri saat ini bertumpuk persoalan yang merusak martabat dan kemuliaan perempuan.

Hingga saat ini, yang mereka tuntut di negerinya masing-masing tidak kunjung terpenuhi dengan ideal, hanya sebagian saja. Sekarang, mereka punya hak suara dengan terlibat dalam Pemilu. 

Akan tetapi, mengenai jumlah gaji, kenyamanan di tempat kerja, akses politik, penjagaan dari kekerasan seksual, dan sebagainya masih jadi tuntutan yang belum tuntas. Ide kesetaraan gender yang mereka anut sekian puluh tahun ternyata tidak bisa menyelesaikan masalah perempuan.

Indonesia sebagai negeri berpenduduk muslim terbesar pun mengadopsi sistem demokrasi liberal dan kapitalisme sekuler. Ia pun menjadi wilayah propaganda ide ini. Sama halnya dengan negara penyebarnya, alih-alih menyelesaikan masalah perempuan, yang terjadi justru sebaliknya. 

Segala macam kebijakan dan gerakan yang mengangkat kesetaraan gender pada kenyataannya tidak mampu mengurangi persoalan yang dihadapi perempuan. 

Mulai dari eksploitasi ekonomi, komersialisasi media, kekerasan seksual, penganiayaan, kemiskinan, pendidikan, tiadanya jaminan kesehatan, dan lain-lain bahkan jumlahnya pun terus bertambah. 

Ini yang harus kita evaluasi, sudah seefektif apakah program pemberdayaan perempuan dalam ekonomi dan politik dengan dalih kesetaraan gender guna menyelesaikan persoalan perempuan ini?

Nasib perempuan di berbagai belahan dunia masih tetap sama dengan berbagai macam permasalahan yang semakin memburuk dan mengerikan. Bukankah ini jelas mengisyaratkan kegagalan-kegagalan kesetaraan gender dalam mewujudkan tujuannya memberikan hak-hak perempuan dan pemberdayaan perempuan sehingga perempuan mendapat kemuliaan.

Cara pandang liberal dalam sistem sekuler yang mengedepankan kebebasan berperilaku, dan memisahkan agama dari kehidupan, akankah terus memaksakan kesetaraan gender bagi peran laki-laki dan perempuan? Padahal jelas cara pandang liberal ini menggerogoti peran penting penciptaan seorang perempuan secara fitrahnya.

Klaim kesetaraan gender mampu memenuhi hak-hak kaum perempuan dan pemberdayaan perempuan jauh dari genggaman. Bahkan menjadi racun bagi perempuan-perempuan Muslim khususnya dalam menunaikan peran perempuan sesungguhnya secara fitrah. Yaitu sebagai pencetak generasi peradaban untuk mewujudkan peradaban gemilang.

Inilah upaya mereka secara masif demi mencegah kebangkitan Islam di dunia Muslim sebagai sebuah sistem politik: yakni Khilafah yang berdasarkan metode kenabian, yang akan menantang hegemoni mereka dan mengancam kepentingan mereka di dunia. 

Islam Memuliakan Perempuan

Gencarnya perang pemikiran yang Barat lancarkan telah membuat kaum muslim silau dengan ide liberal yang mereka cangkokkan pada Islam. Tidak sedikit perempuan silau dan mengadopsi ide feminis, terlebih dengan kemunculan gagasan moderasi yang mengaburkan syariat Islam kafah telah membuat kaum muslim kian menjauh dari ajaran-Nya.

Secara historis ide kesetaraan gender lahir dari sistem sekuler liberal yang memandang perempuan lebih rendah dari pada laki-laki. Lahir dari pengalaman historis akan ketidakadilan, penindasan dan ketiadaan hak-hak politik, ekonomi, pendidikan, pelayanan kesehatan yang dihadapi oleh kaum perempuan di negara-negara Barat. Sedangkan di dalam sistem Islam selama 14 abad memimpin dunia, tidak ada sejarah ini.

Surat An-Nur ayat 31 adalah wujud penjagaan kehormatan seorang perempuan.

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”

Mengenai pandangan Islam terhadap hubungan laki-laki dan perempuan tidaklah sekedar hubungan untuk menyatukan naluri melestarikan jenis semata.

Namun juga, melarang aktivitas yang dapat mendorong timbulnya naluri melestarikan jenis yang tidak sesuai dengan hukum syara’. Sebagaimana firman Allah di dalam surat al-Israa ayat 32, “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”

Di dalam kitab An-Nizham Al-Ijtima’I fi Al-Islam, Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani pada bab Pengaturan Hubungan Pria dan Wanita, menjelaskan aturan interaksi pria wanita dalam kehidupan umum. 

Dengan hukum-hukum ini, Islam dapat menjaga interaksi yang mengarah pada hubungan lawan jenis atau hubungan yang bersifat seksual. 

Sehingga interaksi pria dan wanita tetap dalam koridor kerjasama dalam menggapai berbagai kemaslahatan, yang tidak meninggalkan kerusakan, yaitu:
Pertama, Islam memerintahkan untuk menundukkan pandangan. Kedua, Islam memerintahkan kepada kaum wanita untuk mengenakan pakaian syar’i

Ketiga, Islam melarang seorang wanita melakukan safar (perjalanan) dari suatu tempat ke tempat lain selama perjalanan sehari semalam, kecuali jika disertai dengan mahram-nya.

Keempat, Islam melarang pria dan wanita untuk berkhalwat (berdua-duaan), kecuali jika wanita itu disertai mahram-nya.
Kelima, Islam melarang wanita untuk keluar dari rumahnya kecuali seizin suaminya.

Keenam, Islam sangat menjaga agar dalam kehidupan khusus komunitas wanita terpisah dari komunitas pria
Ketujuh, Islam sangat menjaga agar hubungan kerjasama antara pria dan wanita hendaknya bersifat umum dalam urusan-urusan muamalat.

Masih di dalam kitab An-Nizham Al-Ijtima’I fi Al-Islam, Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani pada bab Kedudukan Pria dan Wanita, menjelaskan: Islam datang dengan membawa sejumlah hukum yang berbeda, sebagiannya khusus untuk kaum pria, dan sebagian lainnya khusus untuk kaum wanita.

Dalam konteks ini, Islam membedakan antara pria dan wanita dalam sebagian hukum. Islam memerintahkan agar keduanya, kaum pria dan kaum wanita, ridha terhadap hukum-hukum yang khusus tersebut. Sebaliknya, Islam melarang masing-masing pihak untuk saling iri dan dengki serta untuk mengangankan apa yang telah Allah lebihkan kepada sebagian atas sebagian yang lain.

Allah SWT berfirman: “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bahagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan” (QS an-Nisâ’ [4]: 32).

Dalam sejarah panjang masa kekhilafahan juga mencatat torehan tinta emas kegemilangan peran perempuan. Pada masa Kekhilafahan Ustmaniyah, kurikulum di sekolah perempuan mencakup segala aspek pendidikan akademis maupun rumah tangga. 

Para perempuan Utsmaniyah disiapkan dengan baik untuk mengambil tanggung jawab di rumah. Mereka memiliki pengetahuan dan pengalaman yang diperlukan untuk memainkan peran sebagai istri.

Mohammad Akram, seorang cendikiawan Islam India, membuat proyek kamus biografi ulama hadist perempuan, setelah berpetualang menelusuri kamus biografi, teks-teks klasik, sejarah madrasah dan surat untuk mengambil kutipan yang relevan mengatakan, “Saya pikir akan menemukan mungkin 20 atau 30 perempuan.” Hingga tahun 2007, ia telah menemukan 8000 perempuan luar biasa sejak 1400 tahun silam. (Disarikan dari “A Secret History” oleh Carla Daya diterbitkan majalah NewYork Times, 25 Februari 2007).

Ruth Roded, Dosen senior di Sejarah Islam dan Timur Tengah di Universitas Ibrani Yerusalem menyatakan bahwa dalam dokumen sejarah dinyatakan bahwa proporsi dosen perempuan di banyak perguruan tinggi Islam klasik lebih tinggi daripada proporsi dosen perempuan di universitas-universitas Barat.

Tanpa kesetaraan gender, Islam mampu memuliakan dan memberdayakan perempuan secara maksimal terhadap perannya baik dalam wilayah publik maupun privat. 

Para intelektual muslimah di masa kekhilafahan menjalani kehidupan Islam secara kaffah, menunaikan kewajiban dalam rumah tangga mereka, mengasuh anak-anak mereka, berpartisipasi dalam urusan masyarakat, dakwah amar ma’ruf nahi mungkar, dan melakukan muhasabah terhadap penguasa.  

Syariat Islam telah menggariskan bahwa perempuan harus mendapat perlindungan dan kedudukannya mulia di tengah masyarakat. 

Rasulullah SAW. bersabda, “Innama an-nisa’ saqa’iq ar-rijal (perempuan adalah ‘saudara kandung’ para lelaki).” Di rumah tangga, mereka seperti dua orang sahabat yang saling bekerja sama dalam mendidik generasi. Dalam kehidupan publik, mereka adalah mitra yang bekerja sama membangun masyarakat.

Islam menempatkan tugas utama perempuan sebagai ummun wa rabbatul bayt (ibu dan pengurus rumah suami) yang tugas tersebut merupakan peran mulia dan strategis. 

Peran yang Allah bebankan ini bukan berdasar atas superioritas laki-laki sebab laki-laki pun memiliki tanggung jawab sebagai pemimpin, pelindung, pendidik, juga pencari nafkah keluarga. Keduanya bekerja sama dalam menjalankan kewajiban sebagai bentuk ketaatan kepada syariat Allah Taala.
 
Inilah yang harusnya menjadi tuntunan umat. Hukum-hukum Islam yang agung terbukti menjaga kehormatan perempuan selama masa kejayaan Islam. Kontras dengan kondisi saat ini, perempuan tereksploitasi, fitrahnya sebagai perempuan terenggut, dan kehidupan mereka penuh teror saat harus mengambil peran ganda sebagai penopang ekonomi keluarga.

Kapitalisme sekuler sesungguhnya bertanggung jawab atas kondisi ini. Islamlah solusi hakiki yang akan memuliakan perempuan dengan syariat-Nya dengan negara yang mengambil peran sebagai pengurus rakyatnya. 
Wallahu a’lam bish shawab.


Oleh: Lilis Iyan Nuryanti
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar